Senin, 19 Maret 2012

Selamatkan Bank Indonesia!


Selamatkan Bank Indonesia!
Anwar Nasution, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA;
MANTAN DEPUTI GUBERNUR SENIOR
SUMBER : KOMPAS, 19 Maret 2012


Karena terus-menerus merugi sejak beberapa tahun terakhir, Bank Indonesia perlu segera diselamatkan. Ini untuk mencegah erosi modal dasar yang menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 minimal Rp 2 triliun.

Kekurangan modal BI akan mengurangi reputasi maupun kemampuannya melakukan operasi moneter untuk menstabilkan dan memengaruhi pertumbuhan perekonomian nasional. BI juga menciptakan lapangan kerja melalui variabel moneter, seperti tingkat laju inflasi, suku bunga, dan nilai tukar devisa.

Dalam sistem perekonomian yang menggunakan mekanisme pasar, bank sentral memengaruhi stok jumlah beredar beserta variabel ekonomi makro lainnya dengan membeli dan menjual surat-surat berharga berjangka pendek di pasar uang dan modal. Di negara lain, terutama negara maju, biaya operasi moneter untuk memelihara stabilitas dan momentum pertumbuhan ekonomi ditanggung anggaran negara. Di negara-negara itu, SPN atau surat perbendaharaan negara (treasury bills) merupakan surat berharga yang diperjualbelikan bank sentral sebagai instrumen kebijakan.

SPN adalah surat utang negara berjangka pendek, hingga satu tahun, yang diterbitkan Kantor Perbendaharaan Negara untuk mengatur likuiditasnya. SPN menjanjikan balas jasa bunga atau kupon.

Sebaliknya, karena hingga saat ini Kementerian Keuangan belum mengeluarkan SPN dalam jumlah cukup, Bank Indonesia terpaksa menerbitkan surat utang SBI (Sertifikat Bank Indonesia) sebagai peranti utama operasi moneter. SBI adalah surat utang jangka pendek, 1 hingga 12 bulan, dengan balas jasa bunga. Sebetulnya, karena UU memberikan hak monopoli untuk mengedarkan uang, BI tidak perlu berutang. Apa saja yang dinyatakan BI sebagai uang akan berlaku sebagai uang.

Peralihan Mekanisme

Pergeseran pengendalian moneter ke sistem mekanisme pasar berlangsung sejak program Dana Moneter Internasional (IMF) 1997-2003. Program IMF itu menggantikan jangkar kebijakan moneter (anchor of monetary policy) dari tadinya berupa kurs devisa tetap (fixed exchange rate) ke pencapaian tingkat laju inflasi tertentu (inflation targeting).

Sebelum krisis 1997, sasaran kebijakan moneter BI adalah untuk mempertahankan kurs devisa tetap tertentu. Kini, satu-satunya sasaran kebijakan moneter BI adalah mencapai target tingkat laju inflasi yang diumumkan sebelumnya. Untuk mencapai sasaran tersebut, BI menggunakan tingkat suku bunga acuan untuk digunakan industri perbankan serta industri keuangan lainnya dalam menetapkan suku bunga deposito maupun kredit.

Peralihan pengendalian moneter ke sistem pasar memerlukan berbagai persyaratan. Pertama adalah adanya pasar keuangan (uang dan modal) yang luas dan dalam. Dewasa ini, pasar uang dan modal Indonesia masih dangkal dan sempit. Dilihat dari nilai kekayaan ataupun jumlah kantor cabang, industri keuangan Indonesia masih bertumpu pada perbankan. Industri perbankan memberikan kredit jangka pendek untuk modal kerja.

Walaupun telah tumbuh pesat, peranan pasar modal beserta lembaga keuangan lain (dana pensiun serta asuransi) masih jauh tertinggal. Bank Tabungan Pos (BTP) sudah lama mati karena ketidakstabilan politik, keamanan, dan ekonomi selama masa pemerintahan Orde Lama. Hingga saat ini belum ada tanda-tanda untuk membangunnya kembali untuk memobilisasi dana masyarakat dengan biaya relatif murah. Akibatnya, 35 persen dari SBI dan SUN (Surat Utang Negara) yang diperdagangkan di pasar dalam negeri diserap modal asing berjangka pendek yang sangat rawan (volatile). Di Jepang, BTP-nya menyerap sebagian besar SUN sehingga tidak tergantung pemodal asing.

Persyaratan kedua adalah bahwa pasar keuangan hendaknya efektif dan efisien untuk mengurangi biaya transaksi. Pasar seperti itu dapat diciptakan jika ada tertib hukum yang melindungi hak milik pribadi, memaksakan berlakunya kontrak perjanjian dan mencegah transformasi informasi yang asimetris agar tidak terjadi transaksi ”beli kucing dalam karung” karena hanya satu pihak saja yang memiliki informasi pasar secara utuh.

Untuk mengoreksi kegagalan pasar perlu peningkatan kualitas pengaturan serta pengawasan bank dan lembaga keuangan yang baik maupun korporatisasi pemilikan negara pada badan usaha milik negara serta badan usaha milik daerah. Dalam sistem kredit program masa lalu, bankir tidak perlu memperhatikan risiko, sedangkan pengaturan serta pengawasan bank bukanlah hal yang dianggap penting.

Pasar yang efektif dan efisien memerlukan stabilitas pengendalian ekonomi makro agar dunia usaha berkembang. Kasus Citibank (Malinda Dee dan nasabah kartu kreditnya yang disiksa hingga meninggal) atau kasus Bank Century mencerminkan bahwa sistem hukum kita masih perlu perbaikan mendasar.

Persyaratan ketiga adalah adanya lembaga keuangan dan bank yang kokoh sehingga mampu menyerap gejolak pasar. Untuk membangun kembali industri keuangan yang bangkrut akibat krisis, pemerintah telah menyuntikkan SUN guna menguatkan modal perbankan nasional sehingga mampu memenuhi rasio persyaratan modal minimum 8 persen dari rata-rata risiko tertimbang. Dilihat dari rasionya terhadap produk domestik bruto, sebesar 50 persen, rekapitalisasi perbankan Indonesia tersebut termahal dalam sejarah manusia.

Persyaratan keempat adalah adanya instrumen pasar (dengan jumlah cukup) yang dapat digunakan BI untuk mengendalikan besaran moneter. Sebagaimana telah disebutkan di atas, jumlah SPN yang tersedia masih sangat terbatas sehingga BI masih mengandalkan SBI.

BI Perlu Diselamatkan

Seperti halnya bank sentral di negara lain, BI menjalankan berbagai fungsi yang sangat diperlukan bagi penyelenggaraan sistem pembayaran yang sehat dan pemeliharaan stabilitas serta pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebelum dialihkan ke Otoritas Jasa Keuangan, BI juga mengatur dan mengawasi industri perbankan.

Undang-undang memberikan kekuasaan penuh kepada pemerintah untuk memungut pajak dan hak monopoli pada BI untuk mengedarkan mata uang rupiah. Jumlah uang beredar itu dicatat sebagai kewajiban moneter pada neracanya. Dalam sistem yang berlaku saat ini, uang kertas tidak lagi dijamin oleh apa pun, apakah emas atau devisa. Jumlah uang beredar dicatat sebagai kewajiban moneter bank sentral hanya karena mengikuti tradisi masa lalu sewaktu berlakunya standar emas dan mata uang keras seperti poundsterling Inggris dan dollar AS.

BI juga mengadministrasikan kekayaan devisa negara. Sebagai bankir pemerintah, bank sentral menyimpan deposito milik kas negara dan sekaligus memberikan kredit kepadanya. Pada masa pemerintahan Orde Lama, sebagian besar dari defisit anggaran negara dibiayai dengan kredit BI yang dijamin dengan SUN. Pembiayaan defisit APBN seperti ini telah menimbulkan inflasi tinggi (1966: 650 persen) selama masa Orde Lama.

Pembiayaan defisit APBN dengan mencetak uang seperti itu dihentikan pemerintah Orde Baru yang menggantikannya dengan pembelanjaan yang mengandalkan pinjaman dari negara-negara donor yang tergabung dalam IGGI/CGI. Pada masa Orde Baru itu, APBN seperti ini disebut anggaran belanja berimbang. Pinjaman serta bantuan luar negeri disebut sebagai penerimaan pembangunan. Sejak krisis 1997, rekapitalisasi perbankan dan defisit APBN dibiayai dengan penjualan SUN, baik di pasar komersial dalam negeri maupun luar negeri.

Sebagai bankir bagi bank-bank komersial, BI menyimpan deposito mereka dan memberikan berbagai jenis kredit kepada bank-bank tersebut. Sebagian dari deposito bank-bank komersial adalah cadangan minimum yang diwajibkan sebagai suatu persentase tertentu dari jumlah rekening giro yang mereka miliki. Deposito bank-bank komersial pada BI juga termasuk FASBI (Fasilitas BI), yakni likuiditas bank-bank komersial yang diserap BI dalam satu malam.

Untuk hal-hal tertentu, BI dapat menyimpan langsung deposito dunia usaha maupun memberikan kredit langsung kepada mereka tanpa melalui perantaraan bank komersial. Juga sebagaimana telah disebut di muka, sejak awal tahun 1970-an, BI menerbitkan SBI sebagai instrumen dalam melakukan operasi pasar. SBI dan deposito (milik pemerintah, perbankan, dan pihak lain) merupakan kewajiban nonmoneter BI yang benar-benar berupa passiva.

Dengan membeli devisa hasil ekspor dari eksportir, BI menambah jumlah uang beredar dan sekaligus menambah kekayaan devisa. Jumlah uang beredar juga dapat bertambah atau mengalami ekspansi melalui pemberian kredit BI kepada pemerintah, bank komersial, ataupun langsung kepada dunia usaha. Jumlah beredar itu dapat bertambah melalui penambahan stok ataupun pertambahan jumlah deposito bank komersial yang ada di bank sentral untuk menambah kemampuan menciptakan kredit.

Sebaliknya, jumlah uang beredar berkurang jika BI menjual devisa atau menjual SBI serta mengurangi jumlah kredit apakah kepada pemerintah atau perbankan. Uang beredar juga dapat disedot atau mengalami kontraksi dengan meminta badan usaha memindahkan deposito dari bank-bank komersial ke bank sentral.

Pada masa lalu, Menteri Keuangan Prof JB Sumarlin mengurangi jumlah uang primer secara drastis dengan cara memerintahkan beberapa badan usaha milik negara besar memindahkan deposito mereka dari bank-bank negara ke BI.

Kombinasi antara penambahan jumlah uang beredar, melalui pembelian devisa oleh BI—dengan kontraksi moneter melalui penjualan SBI oleh BI dalam jumlah yang sama—disebut operasi sterilisasi. Melalui operasi seperti itu, jumlah tambahan uang primer persis jumlahnya dengan yang disedot sehingga tidak mengubah stok.

Dari pencetakan uang, BI mendapatkan penerimaan yang secara teknis disebut seigniorage berupa selisih nilai nominal uang tersebut dengan ongkos cetaknya. Bank sentral juga mendapatkan balas jasa bunga dari kredit ataupun dari surat berharga yang ditahannya, seperti SUN.

Namun, jumlah kredit bank sentral pada bank-bank komersial telah menurun drastis setelah berakhirnya kredit likuiditas yang membelanjai kredit program. Selain tidak boleh diperjualbelikan, sebagian besar dari SUN yang ditahan BI juga mengandung tingkat suku bunga yang sangat rendah. BI juga terus-menerus merugi akibat dari penguatan nilai tukar rupiah karena menjual valuta asing lebih murah daripada harga pembeliannya.

Beban pembayaran bunga oleh BI meningkat karena pemerintah meminta balas jasa bunga atas deposito yang ditempatkannya di BI sekaligus membayar bunga atas kelebihan cadangan bank komersial yang di BI maupun bunga FASBI. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar