Selamatkan
Bank Indonesia!
Anwar
Nasution, GURU
BESAR FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA;
MANTAN
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
SUMBER : KOMPAS, 19 Maret 2012
Karena terus-menerus merugi sejak beberapa
tahun terakhir, Bank Indonesia perlu segera diselamatkan. Ini untuk mencegah
erosi modal dasar yang menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
minimal Rp 2 triliun.
Kekurangan modal BI akan mengurangi reputasi
maupun kemampuannya melakukan operasi moneter untuk menstabilkan dan
memengaruhi pertumbuhan perekonomian nasional. BI juga menciptakan lapangan
kerja melalui variabel moneter, seperti tingkat laju inflasi, suku bunga, dan
nilai tukar devisa.
Dalam sistem perekonomian yang menggunakan
mekanisme pasar, bank sentral memengaruhi stok jumlah beredar beserta variabel
ekonomi makro lainnya dengan membeli dan menjual surat-surat berharga berjangka
pendek di pasar uang dan modal. Di negara lain, terutama negara maju, biaya
operasi moneter untuk memelihara stabilitas dan momentum pertumbuhan ekonomi
ditanggung anggaran negara. Di negara-negara itu, SPN atau surat perbendaharaan
negara (treasury bills) merupakan surat berharga yang diperjualbelikan bank
sentral sebagai instrumen kebijakan.
SPN adalah surat utang negara berjangka
pendek, hingga satu tahun, yang diterbitkan Kantor Perbendaharaan Negara untuk
mengatur likuiditasnya. SPN menjanjikan balas jasa bunga atau kupon.
Sebaliknya, karena hingga saat ini
Kementerian Keuangan belum mengeluarkan SPN dalam jumlah cukup, Bank Indonesia
terpaksa menerbitkan surat utang SBI (Sertifikat Bank Indonesia) sebagai
peranti utama operasi moneter. SBI adalah surat utang jangka pendek, 1 hingga
12 bulan, dengan balas jasa bunga. Sebetulnya, karena UU memberikan hak
monopoli untuk mengedarkan uang, BI tidak perlu berutang. Apa saja yang
dinyatakan BI sebagai uang akan berlaku sebagai uang.
Peralihan Mekanisme
Pergeseran pengendalian moneter ke sistem
mekanisme pasar berlangsung sejak program Dana Moneter Internasional (IMF)
1997-2003. Program IMF itu menggantikan jangkar kebijakan moneter (anchor of monetary policy) dari tadinya
berupa kurs devisa tetap (fixed exchange
rate) ke pencapaian tingkat laju inflasi tertentu (inflation targeting).
Sebelum krisis 1997, sasaran kebijakan
moneter BI adalah untuk mempertahankan kurs devisa tetap tertentu. Kini,
satu-satunya sasaran kebijakan moneter BI adalah mencapai target tingkat laju
inflasi yang diumumkan sebelumnya. Untuk mencapai sasaran tersebut, BI
menggunakan tingkat suku bunga acuan untuk digunakan industri perbankan serta
industri keuangan lainnya dalam menetapkan suku bunga deposito maupun kredit.
Peralihan pengendalian moneter ke sistem
pasar memerlukan berbagai persyaratan. Pertama adalah adanya pasar keuangan
(uang dan modal) yang luas dan dalam. Dewasa ini, pasar uang dan modal
Indonesia masih dangkal dan sempit. Dilihat dari nilai kekayaan ataupun jumlah
kantor cabang, industri keuangan Indonesia masih bertumpu pada perbankan.
Industri perbankan memberikan kredit jangka pendek untuk modal kerja.
Walaupun telah tumbuh pesat, peranan pasar
modal beserta lembaga keuangan lain (dana pensiun serta asuransi) masih jauh
tertinggal. Bank Tabungan Pos (BTP) sudah lama mati karena ketidakstabilan
politik, keamanan, dan ekonomi selama masa pemerintahan Orde Lama. Hingga saat
ini belum ada tanda-tanda untuk membangunnya kembali untuk memobilisasi dana
masyarakat dengan biaya relatif murah. Akibatnya, 35 persen dari SBI dan SUN
(Surat Utang Negara) yang diperdagangkan di pasar dalam negeri diserap modal
asing berjangka pendek yang sangat rawan (volatile). Di Jepang, BTP-nya
menyerap sebagian besar SUN sehingga tidak tergantung pemodal asing.
Persyaratan kedua adalah bahwa pasar keuangan
hendaknya efektif dan efisien untuk mengurangi biaya transaksi. Pasar seperti itu
dapat diciptakan jika ada tertib hukum yang melindungi hak milik pribadi,
memaksakan berlakunya kontrak perjanjian dan mencegah transformasi informasi
yang asimetris agar tidak terjadi transaksi ”beli kucing dalam karung” karena
hanya satu pihak saja yang memiliki informasi pasar secara utuh.
Untuk mengoreksi kegagalan pasar perlu
peningkatan kualitas pengaturan serta pengawasan bank dan lembaga keuangan yang
baik maupun korporatisasi pemilikan negara pada badan usaha milik negara serta
badan usaha milik daerah. Dalam sistem kredit program masa lalu, bankir tidak
perlu memperhatikan risiko, sedangkan pengaturan serta pengawasan bank bukanlah
hal yang dianggap penting.
Pasar yang efektif dan efisien memerlukan
stabilitas pengendalian ekonomi makro agar dunia usaha berkembang. Kasus
Citibank (Malinda Dee dan nasabah kartu kreditnya yang disiksa hingga
meninggal) atau kasus Bank Century mencerminkan bahwa sistem hukum kita masih
perlu perbaikan mendasar.
Persyaratan ketiga adalah adanya lembaga
keuangan dan bank yang kokoh sehingga mampu menyerap gejolak pasar. Untuk
membangun kembali industri keuangan yang bangkrut akibat krisis, pemerintah
telah menyuntikkan SUN guna menguatkan modal perbankan nasional sehingga mampu
memenuhi rasio persyaratan modal minimum 8 persen dari rata-rata risiko
tertimbang. Dilihat dari rasionya terhadap produk domestik bruto, sebesar 50
persen, rekapitalisasi perbankan Indonesia tersebut termahal dalam sejarah
manusia.
Persyaratan keempat adalah adanya instrumen
pasar (dengan jumlah cukup) yang dapat digunakan BI untuk mengendalikan besaran
moneter. Sebagaimana telah disebutkan di atas, jumlah SPN yang tersedia masih
sangat terbatas sehingga BI masih mengandalkan SBI.
BI Perlu Diselamatkan
Seperti halnya bank sentral di negara lain,
BI menjalankan berbagai fungsi yang sangat diperlukan bagi penyelenggaraan
sistem pembayaran yang sehat dan pemeliharaan stabilitas serta pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Sebelum dialihkan ke Otoritas Jasa Keuangan, BI juga
mengatur dan mengawasi industri perbankan.
Undang-undang memberikan kekuasaan penuh
kepada pemerintah untuk memungut pajak dan hak monopoli pada BI untuk
mengedarkan mata uang rupiah. Jumlah uang beredar itu dicatat sebagai kewajiban
moneter pada neracanya. Dalam sistem yang berlaku saat ini, uang kertas tidak
lagi dijamin oleh apa pun, apakah emas atau devisa. Jumlah uang beredar dicatat
sebagai kewajiban moneter bank sentral hanya karena mengikuti tradisi masa lalu
sewaktu berlakunya standar emas dan mata uang keras seperti poundsterling
Inggris dan dollar AS.
BI juga mengadministrasikan kekayaan devisa
negara. Sebagai bankir pemerintah, bank sentral menyimpan deposito milik kas
negara dan sekaligus memberikan kredit kepadanya. Pada masa pemerintahan Orde
Lama, sebagian besar dari defisit anggaran negara dibiayai dengan kredit BI
yang dijamin dengan SUN. Pembiayaan defisit APBN seperti ini telah menimbulkan
inflasi tinggi (1966: 650 persen) selama masa Orde Lama.
Pembiayaan defisit APBN dengan mencetak uang
seperti itu dihentikan pemerintah Orde Baru yang menggantikannya dengan
pembelanjaan yang mengandalkan pinjaman dari negara-negara donor yang tergabung
dalam IGGI/CGI. Pada masa Orde Baru itu, APBN seperti ini disebut anggaran
belanja berimbang. Pinjaman serta bantuan luar negeri disebut sebagai
penerimaan pembangunan. Sejak krisis 1997, rekapitalisasi perbankan dan defisit
APBN dibiayai dengan penjualan SUN, baik di pasar komersial dalam negeri maupun
luar negeri.
Sebagai bankir bagi bank-bank komersial, BI
menyimpan deposito mereka dan memberikan berbagai jenis kredit kepada bank-bank
tersebut. Sebagian dari deposito bank-bank komersial adalah cadangan minimum
yang diwajibkan sebagai suatu persentase tertentu dari jumlah rekening giro
yang mereka miliki. Deposito bank-bank komersial pada BI juga termasuk FASBI
(Fasilitas BI), yakni likuiditas bank-bank komersial yang diserap BI dalam satu
malam.
Untuk hal-hal tertentu, BI dapat menyimpan
langsung deposito dunia usaha maupun memberikan kredit langsung kepada mereka
tanpa melalui perantaraan bank komersial. Juga sebagaimana telah disebut di
muka, sejak awal tahun 1970-an, BI menerbitkan SBI sebagai instrumen dalam
melakukan operasi pasar. SBI dan deposito (milik pemerintah, perbankan, dan
pihak lain) merupakan kewajiban nonmoneter BI yang benar-benar berupa passiva.
Dengan membeli devisa hasil ekspor dari
eksportir, BI menambah jumlah uang beredar dan sekaligus menambah kekayaan
devisa. Jumlah uang beredar juga dapat bertambah atau mengalami ekspansi
melalui pemberian kredit BI kepada pemerintah, bank komersial, ataupun langsung
kepada dunia usaha. Jumlah beredar itu dapat bertambah melalui penambahan stok
ataupun pertambahan jumlah deposito bank komersial yang ada di bank sentral
untuk menambah kemampuan menciptakan kredit.
Sebaliknya, jumlah uang beredar berkurang
jika BI menjual devisa atau menjual SBI serta mengurangi jumlah kredit apakah
kepada pemerintah atau perbankan. Uang beredar juga dapat disedot atau
mengalami kontraksi dengan meminta badan usaha memindahkan deposito dari bank-bank
komersial ke bank sentral.
Pada masa lalu, Menteri Keuangan Prof JB
Sumarlin mengurangi jumlah uang primer secara drastis dengan cara memerintahkan
beberapa badan usaha milik negara besar memindahkan deposito mereka dari
bank-bank negara ke BI.
Kombinasi antara penambahan jumlah uang
beredar, melalui pembelian devisa oleh BI—dengan kontraksi moneter melalui
penjualan SBI oleh BI dalam jumlah yang sama—disebut operasi sterilisasi.
Melalui operasi seperti itu, jumlah tambahan uang primer persis jumlahnya
dengan yang disedot sehingga tidak mengubah stok.
Dari pencetakan uang, BI mendapatkan
penerimaan yang secara teknis disebut seigniorage berupa selisih nilai nominal
uang tersebut dengan ongkos cetaknya. Bank sentral juga mendapatkan balas jasa
bunga dari kredit ataupun dari surat berharga yang ditahannya, seperti SUN.
Namun, jumlah kredit bank sentral pada
bank-bank komersial telah menurun drastis setelah berakhirnya kredit likuiditas
yang membelanjai kredit program. Selain tidak boleh diperjualbelikan, sebagian
besar dari SUN yang ditahan BI juga mengandung tingkat suku bunga yang sangat
rendah. BI juga terus-menerus merugi akibat dari penguatan nilai tukar rupiah
karena menjual valuta asing lebih murah daripada harga pembeliannya.
Beban pembayaran bunga oleh BI meningkat
karena pemerintah meminta balas jasa bunga atas deposito yang ditempatkannya di
BI sekaligus membayar bunga atas kelebihan cadangan bank komersial yang di BI
maupun bunga FASBI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar