“Hantu”
Baru dalam Krisis Ekonomi
A
Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik
Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
SUMBER : KOMPAS, 26 Maret 2012
Ketegangan ekonomi global karena utang Yunani
jatuh tempo sedikit mereda, pekan lalu, setelah dana talangan dari Jerman dan
Perancis melalui Dana Moneter Internasional (IMF ) akhirnya cair. Sementara
ini, Yunani selamat dari kebangkrutan. Namun, tekanan terhadap perekonomian
dunia belum berakhir. Perekonomian China melambat signifikan, target pertumbuhan
ekonominya dipangkas menjadi 7,5 persen. Biaya produksi di China terus
meningkat, terutama karena kenaikan upah buruh. Sudah lama para ekonom waswas
terhadap kemungkinan meletusnya gelembung ekonomi di China.
Dalam sebuah diskusi terbatas dengan dua
ekonom top China, Justin Lin dan Huang Yiping, di Sydney (2009), terjadi
perdebatan menarik. Justin Lin adalah ekonom lulusan Universitas Chicago yang
menjadi Kepala Ekonom Bank Dunia pertama yang ”bukan orang bule”. Menurut
Justin, perekonomian China selalu bisa menghindari krisis karena terus-menerus
mendorong proyek infrastruktur, melalui berbagai kegiatan, seperti Olimpiade
Beijing, Asian Games, dan Shanghai Expo.
Belanja infrastruktur China rata-rata 10
persen terhadap produk domestik bruto (PDB), atau ekuivalen 580 miliar dollar
AS. Bandingkan dengan Indonesia yang belanjanya minim, cuma 2 persen terhadap
PDB. Di antara negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi cepat, Indonesia paling
kalang kabut dalam belanja infrastruktur.
Pendapat ini disanggah Huang Yiping, ekonom
Citibank lulusan Australian National University, yang sekarang kembali ke
Beijing. Menurut Huang, tidak ada yang bisa memastikan perekonomian China
baik-baik saja seterusnya. Potensi krisis selalu ada, berasal dari disparitas
ekonomi, baik kota-desa maupun pantai timur terhadap wilayah tengah dan barat.
Adu argumentasi tersebut kini kembali menemukan relevansinya. Untuk pertama
kalinya sejak belasan tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi China diperkirakan
melambat di bawah 8 persen. Meletusnya gelembung ekonomi kini menjadi sebuah
keniscayaan.
Latar belakang itulah yang tampaknya
menginspirasi Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan untuk melahirkan
kebijakan menaikkan uang muka kredit otomotif dan properti. Uang muka kredit
sepeda motor di bank ditetapkan 25 persen, mobil 30 persen, dan perumahan 30
persen. Sedangkan untuk perusahaan multi-pembiayaan, angkanya sedikit lebih
longgar, 5 persen.
Kebijakan ini tepat. Meskipun sebenarnya
belum terjadi gelembung ekonomi, otoritas perbankan dan jasa pembiayaan harus
mulai berjaga-jaga. Gelembung di sektor otomotif adalah kondisi ketika
penjualan otomotif tinggi yang disangga oleh persyaratan bank dan lembaga
pembiayaan yang lunak. Misalnya, uang muka sepeda motor hanya Rp 500.000,
sehingga permintaan kredit motor naik pesat. Jika perekonomian mengalami
guncangan, potensi kredit macet sangat besar.
Kondisi menggelembung di kredit sepeda motor
belum terjadi. Selain itu, karakteristik kredit motor ini juga khas. Jika ada
nasabah yang macet kredit motornya, bank dengan mudah menyita motor tersebut
untuk dilelang. Jumlah sepeda motor kini 65 juta, masih belum jenuh
dibandingkan dengan jumlah penduduk yang sekitar 243 juta orang. Ruang
pertumbuhan masih menganga.
Industri ini masih prospektif. Dengan kelompok
berpendapatan menengah yang kuat (pengeluaran 2-20 dollar AS per orang per
hari) yang mencapai 130 juta orang, ini merupakan pasar yang kuat dan
berpotensi untuk menyerap produk-produk otomotif. Guncangan terhadap kredit
otomotif saya perkirakan hanya beberapa bulan saja, kemudian kembali bergairah.
Dari sisi eksposur, kredit otomotif dan
properti juga belum termasuk membahayakan. Nilai kredit perumahan Rp 95
triliun, otomotif Rp 14 triliun, masih jauh dibandingkan kredit konsumsi total
sebesar Rp 660 triliun. Apalagi jika dibandingkan kredit total yang disalurkan
perbankan Rp 2.160 triliun (Januari 2012). Meski demikian, langkah BI dan
pemerintah untuk berhati-hati sudah tepat.
Kalau ada rasa waswas mengenai kemungkinan
terjadinya krisis, menurut saya terletak pada dinamika harga minyak dunia dan
domestik. Belakangan ini, harga minyak dunia jenis Brent telah mencapai 128
dollar AS per barrel. Ini rekor tertinggi kedua sesudah 147 dollar AS pada Juli
2008, yang membantu memicu krisis ekonomi global.
Bedanya, kenaikan harga minyak pada 2008
disebabkan oleh spekulasi, sedangkan kali ini lebih disebabkan oleh
berkurangnya pasokan. Kombinasi antara sengketa pipa minyak di Sudan selatan
dan gangguan teknis pengeboran di Laut Utara mengurangi pasokan 700.000 barrel
sehari. Sedangkan sanksi Eropa dan sengketa pembayaran oleh China terhadap Iran
telah menekan pasokan 500.000 barrel sehari. Meski Arab Saudi telah menaikkan
produksi menjadi 10 juta barrel sehari, tetap saja harga minyak dunia meroket (The
Economist, 10-16 Maret 2012).
Kenaikan harga ini akan segera memicu inflasi
di seluruh dunia. Menariknya, majalah The
Economist (17-23 Maret 2012) malah menuduh bahwa Bank Sentral Eropa justru ikut
memperunyam situasi ini, melalui kebijakan banjir likuiditas. Hal ini mendorong
investor global untuk mengejar minyak sebagai portofolio favoritnya.
Para pengamat yakin bahwa harga minyak Brent
akan berada di level 120 dollar AS per barrel. Ini ekuivalen dengan harga
minyak mentah Indonesia 105 dollar AS.
Situasi ini berujung pada kesimpulan, bahwa
kenaikan harga minyak merupakan sebuah keniscayaan dan menemukan justifikasinya
di Indonesia.
Sayangnya, rencana kenaikan ini justru
dilakukan pada saat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sedang berada pada
titik yang rendah. Oleh karena itu, solusinya adalah kenaikan harga dilakukan
dengan mencicil, seperti menaikkan Rp 1.000 saja, kemudian Rp 1.000 lagi pada
kesempatan yang tepat, misalnya sesudah Lebaran.
Asas keadilan juga harus dipikirkan. Perlu
dibedakan harga BBM bersubsidi antara sepeda motor dan mobil. Pemilik motor
bisa dianggap merepresentasikan kelompok masyarakat yang rawan krisis daripada
yang bermobil.
Kebijakan publik sebaik apa pun memerlukan
bantuan strategi untuk dieksekusi dengan selamat di lapangan. Jika tidak
dikelola dengan baik, kenaikan harga BBM malah akan menjadi ”hantu” baru dalam
krisis ekonomi Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar