Anas
yang Lelah…
Syafiq
Basri Assegaff, Dosen Komunikasi di
Universitas Paramadina
SUMBER : KOMPAS, 26 Maret 2012
Sebagaimana diketahui, pernyataan-pernyataan Anas itu juga menjadi berita di media arus utama. ”Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas,” katanya.
Kita menyimak bahwa pernyataan Anas itu berkait dengan tuduhan bekas Bendahara Umum Partai Demokrat (PD) M Nazaruddin, yang menyebut Anas menggelontorkan uang 7 juta dollar AS untuk memenangi pertarungan sebagai ketua umum dalam rapat koordinasi nasional PD di Bandung. Uang itu, kata Nazaruddin, diperoleh Anas dari proyek Hambalang.
Capeknya Anas itu bisa dimengerti, tetapi sementara pihak menganggap sikap Anas itu terlambat. Seharusnya sejak namanya disebut-sebut oleh Nazaruddin, sekitar sembilan bulan lalu, Anas segera menyampaikan sikap tegasnya itu. Bukan sekarang, setelah namanya terlalu sering jadi ”bulan-bulanan”.
Bagaimanapun, orang memang boleh berpendapat apa saja. Tetapi kita mencatat bahwa sejatinya yang dilakukan Anas lewat pernyataannya itu adalah upaya yang berani dan tegas untuk menunjukkan bahwa ia bersih sehingga KPK ”tidak usah repot-repot memeriksanya”.
Tetapi kita juga berharap bahwa Anas menindaklanjuti pernyataannya itu dengan membuka lebar-lebar pintu transparansi. Maksudnya, membawa bukti- bukti dan menjelaskan semuanya secara gamblang di pengadilan. Sebagai Ketua Umum PD, yang kini sedang turun popularitasnya, sebenarnya inilah saat yang baik bagi Anas untuk memulihkan kepercayaan publik itu.
Anas tentu sadar bahwa kepercayaan publik kini jadi taruhan besar bagi dirinya dan bagi PD sendiri. Kepercayaan itu, meminjam Anthony Giddens, adalah ”kepercayaan bisa diandalkannya seseorang” dalam kaitannya dengan beberapa kejadian atau hasil yang diharapkan dari tindakannya karena kita melekatkan kebaikan (integritas) atau cinta kepada yang bersangkutan.
Bagi pemilih ”rasional” maupun ”emosional”, yang mudah dirayu kampanye politisi di media, kepercayaan kepada seorang pemimpin partai tetap jadi faktor utama bagi reputasi dirinya dan partai yang dipimpinnya. Kepercayaan itulah, baik kepada tokoh tertentu maupun kepada ”sistem yang abstrak” seperti ”mesin partai”, yang membantu publik dalam berurusan dengan ketidakpastian. Kepercayaan juga faktor penting dalam mengalkulasikan risiko sehingga seorang pemilih yang bingung dalam bilik suara, misalnya, akan mengambil risiko mencontreng seseorang atau sebuah partai yang ia percaya.
Jujurlah
Sejauh ini memang kita tidak bisa menyimpulkan kepercayaan publik kepada Anas benar-benar menurun, karena ia sama sekali belum diperiksa, apalagi terbukti melakukan tindak pidana. Namun, toh Anas tetap perlu menindaklanjuti sikap tegasnya itu.
Sesuai dengan anjuran para ahli komunikasi, lebih dari 90 persen audiens mengatakan, jika pimpinan ingin membangun kembali kepercayaan, trust, maka yang paling perlu dilakukan adalah bersikap terbuka dan benar- benar jujur dalam semua praktik usahanya. Selain itu, mereka mesti berkomunikasi secara jernih, efektif, dan langsung.
Kelak, setelah kepercayaan dikantongi kembali, untuk memeliharanya sekitar 50-60 persen audiens mengharapkan adanya hal-hal berikut ini: munculnya pertanggungjawaban dan akuntabilitas; berpegang teguh kepada nilai moral dan etika; serta melanjutkan komunikasi yang terbuka dan sering berkomunikasi dengan pemangku kepentingan.
Sebagaimana yang disebutkan Anas di Twitter-nya, ia memang tidak perlu gusar atau marah. Kalau kesal atau capek, ya, wajar. Tetapi, seorang pemimpin mesti bertindak kalem, sabar, dan penuh humor. Mungkin perlu berkaca kepada (almarhum) Gus Dur, yang dikenal sebagai pemimpin yang tenang dalam menghadapi berbagai isu.
Untunglah tampaknya Anas bukan pemimpin yang ”berkuping tipis”. Sebab, kalau betul begitu, maka pasti ia lebih penat lagi. Khususnya dalam tekanan roda pemberitaan yang terus-menerus dalam siklus 24 jam. Apalagi gaduhnya informasi yang berseliweran di media sosial sekarang ini, sikap dan tindakan ”berkepala dingin” justru makin diperlukan apabila hendak berkomunikasi secara efektif.
Karena ”telanjur” berani mengambil risiko itu, sekaligus saja Bung Anas: Anda tunjukkan sebuah keberanian yang patriotik, tapi tetap santun. Sebab sudah jadi rumus bahwa biasanya sikap ”berani” bergandengan tangan dengan ”kebenaran”, kejujuran, dan kebaikan; sedangkan perasaan ”takut” memilih bergamit dengan tindakan ”salah”.
Ketahuilah, kebenaran yang membuat seseorang ”bebas” dari rasa takut dan panik.... ●
Saya tidak tertarik dengan akhir keebenaran formal yang entah kapan selesai, yang pasti pembiaran politik uang dalam pemilihan Anas sebagai Ketua PD saja sudah busuk dan menjijikan dalam proses berdemokrasi, mental politisi muda dan kader-kader partai yang hedonis dan materialistik serta jauh dari idealisme sungguh menyedihkan, nusantara ini menangis.
BalasHapus