Jumat, 09 Maret 2012

Forbes dan si Kaya Indonesia


Forbes dan si Kaya Indonesia
Ismatillah A Nu’ad, PENELITI PUSAT STUDI ISLAM DAN KENEGARAAN
UNIVERSITAS PARAMADINA, JAKARTA
SUMBER : JAWA POS, 9 Maret 2012



MAJALAH ekonomi terkemuka dunia, Forbes, pada 8 Maret 2012 kembali merilis daftar 1.226 orang kaya sedunia. Terdapat 17 pengusaha asal Indonesia yang masuk. Mereka menggawangi bisnis seperti rokok, pertambangan, batu bara, kelapa sawit, dan agrobisnis. Jika dilihat dari jumlahnya, orang kaya Indonesia lebih banyak daripada negeri tetangga Malaysia yang hanya 10 orang. Singapura menyumbang 40 orang.

Namun, meski orang kaya Indonesia lebih banyak daripada negeri jiran Malaysia, pertumbuhan ekonomi dua negara sangat berbeda jauh. Jika grafik pertumbuhan ekonomi Indonesia bagai kerucut, Malaysia bagai kubus. Artinya, tingkat kesejahteraan masyarakat di Malaysia, begitu juga Singapura, lebih merata dibanding Indonesia. Bayangkan, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih sangat tinggi. Menurut data BPS, jumlah mereka mencapai 30,02 juta jiwa, sedangkan menurut World Bank mencapai 100 juta jiwa pada 2011.

Tidak meratanya tingkat kesejahteraan, apalagi kekayaan, di Indonesia menandakan masih sangat rawannya regulasi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia tak akan bermakna jika hanya dirasakan segelintir orang. Sebagai solusi pemerataan pembangunan dan kesejahteraan, pemerintah harus melakukan perubahan kebijakan perimbangan keuangan daerah. Sebab, selama ini pemerintah hanya menerapkan sistem perimbangan keuangan secara adil, tidak secara merata. Jakarta masih menjadi sentrum pertumbuhan ekonomi, daerah masih sangat minim.

Padahal, menurut laporan World Economic Forum (WEF) bertajuk Global Risk 2012, ada dua risiko terbesar yang berpotensi memberikan dampak mengerikan dalam satu dasawarsa ke depan. Yaitu, ketimpangan fiskal serta disparitas pendapatan yang kronis. Kerawanan tersebut memang tengah dihadapi negara berkembang dan maju, terutama karena krisis global yang sedang menghantam negara-negara maju seperti AS dan Uni Eropa.

Padahal, kesenjangan yang semakin lebar antara kelompok kaya dan miskin akan berdampak negatif bagi kehidupan bernegara. Kriminalitas meningkat, pertikaian antarkelompok semakin sering, kohesi sosial merenggang, serta kegiatan produksi dan aktivitas ekonomi terganggu. Lebih jauh, dampak kesenjangan ekonomi yang meningkat dalam suatu negara akan mengancam keutuhan negara itu, ketidakpercayaan kepada pemerintah berkurang, perdagangan bebas terhambat, manfaat demokrasi akan dipertanyakan, dan sistem penguasaan ekonomi oleh negara secara penuh akan kembali hidup.

Mengurangi tingkat kesenjangan antarkelompok dalam masyarakat dapat dilakukan dengan memperluas lapangan kerja bagi kelompok termiskin, sehingga meningkatkan pendapatan mereka. Hal tersebut bisa dicapai dengan meningkatkan keterampilan pekerja dan membuka lapangan kerja baru bagi tenaga kerja yang belum mempunyai pekerjaan. Investasi pada SDM harus merupakan strategi utama untuk menyediakan pekerja yang berupah cukup baik.

Reformasi pajak perlu diupayakan agar pendapatan dari pajak semakin meningkat dengan cara-cara yang kreatif. Tingkat pajak di beberapa negara mungkin masih bisa ditingkatkan dan upaya menambah pembayar pajak perlu dilakukan. Kebijakan pemotongan pajak perlu dikaji ulang, bila perlu dihapus. Penyediaan infrastruktur yang lebih berkualitas di daerah kurang maju kian mendesak.

Pertumbuhan ekonomi saja kini terbukti tidak menghasilkan pembagian pendapatan yang merata. Penyakit kegagalan pasar harus diatasi dengan kebijakan yang serius. Yang intinya adalah mengusahakan pertumbuhan yang berkualitas, yang memberikan penghasilan yang lebih merata antara kelompok kaya dan miski. Kesenjangan ekonomi yang semakin lebar dapat berimbas ke masalah-masalah lebih besar.

Memang, data BPS 2011 menyatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,1 persen, melebihi pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan pemerintah sebesar 5,8 persen. Selanjutnya, nilai produk domestik bruto (atau bisa disebut nilai semua barang dan jasa yang diproduksi suatu negara pada periode tertentu) naik menjadi Rp 6.422,9 triliun dari Rp 5.603,9 triliun pada 2010. Yang mencengangkan, BPS mencatat pendapatan per kapita 2011 mencapai Rp 30,8 juta (USD 3.542,9). Angka itu naik sekitar Rp 3,7 juta dibanding 2010 sebesar Rp 27,1 juta (USD 3.004,9).

Membanggakan ekonomi di atas kertas masih mendominasi arah kebijakan ekonomi negeri ini. Karena itulah, tiap awal tahun pemerintah rajin menebar harapan. Di atas kertas, ekonomi memang tumbuh. Tapi, tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat tidak berubah signifikan. Hal itu tecermin dari rasio gini, sebuah rasio yang mengukur ketimpangan pendapatan penduduk secara menyeluruh.

Data Indef 2011 menunjukkan, dalam lima tahun terakhir, rasio gini hanya turun 0,012, dari 0,343 pada 2005 menjadi 0,331 pada 2010. Rasio gini membentang mulai nol sampai satu. Nol menunjukkan pemerataan, satu melambangkan ketimpangan. Banyak yang menduga, laporan pertumbuhan ekonomi pemerintah sering di-mark up. Data angka kemiskinan pun kadang-kadang disembunyikan. Akibatnya, realitas pertumbuhan kadang terlihat menjadi semu. Semoga ini tak terjadi lagi pada tahun-tahun mendatang.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar