Korupsi
dan Reformasi Birokrasi
Eko Prasojo, KETUA PROGRAM PASCASARJANA ILMU ADMINISTRASI
DAN
GURU BESAR ILMU ADMINISTRASI NEGARA FISIP UI
SUMBER : KOMPAS, 9 Maret 2012
Masyarakat digegerkan kembali oleh korupsi
yang dilakukan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Kasus Gayus dan Bahasyim
belum hilang dari ingatan masyarakat, timbul lagi kasus Dhana.
Meskipun masih harus dibuktikan oleh
pengadilan, indikasi korupsi oleh birokrat muda ini langsung mendapat tanggapan
keras masyarakat. Berbagai upaya reformasi birokrasi dipandang belum mampu
mengubah perilaku dan budaya korup para birokrat. Bagaimana menjelaskan
fenomena Gayus dan Dhana ini? Benarkah reformasi birokrasi belum mampu
menghilangkan korupsi dalam birokrasi?
Korupsi sistemik
Sumber penyakit birokrasi pada dasarnya dapat
diidentifikasi dari dua lokus: internal dan eksternal. Sumber internal berasal
dari kelemahan dan kegagalan sistem yang ada di birokrasi itu sendiri.
Dalam perspektif manajemen sumber daya
manusia, munculnya perilaku menyimpang birokrat biasanya sudah dimulai dari
perekrutan pegawai yang tidak transparan, tak objektif, dan tak profesional.
Perekrutan ini pun tidaklah berdiri sendiri, tetapi terkait dengan subsistem
lain. Misalnya, ketertutupan dalam promosi jabatan dan sistem remunerasi yang
tak terkait kinerja.
Tak hanya itu, sumber internal penyakit
birokrasi juga bisa disebabkan oleh proses bisnis di dalam pemerintahan dan
pelayanan yang memungkinkan birokrat secara individu ataupun bersama mengambil
uang negara dalam jabatan dan wewenangnya. Pokok pangkalnya: celah sistem yang
tak paripurna memungkinkan transaksi antara wajib pajak dan petugas pajak secara
simbiosis mutualisme.
Secara internal, sumber penyebab birokrasi
juga dapat berasal dari lemahnya pelembagaan nilai dan budaya organisasi yang
baik. Problem dasar birokrasi di Indonesia adalah masih berakarnya budaya
kekuasaan dan belum munculnya budaya pelayanan. Kesulitan lain untuk
melembagakan budaya dan nilai birokrasi yang bersih dan melayani juga
disebabkan oleh gaya hidup birokrat yang pada umumnya sudah sangat tinggi.
Persepsi masyarakat terhadap birokrat sudah
telanjur terbentuk: meski gajinya kecil, penghasilan (take home pay) bisa
sangat besar. Ada dua akibat oleh persepsi masyarakat yang demikian. Pertama,
masyarakat berbondong-bondong berusaha untuk jadi PNS dengan cara apa pun,
termasuk membayar harga sebuah formasi. Kedua, timbulnya persepsi umum bahwa
menjadi birokrat harus kaya.
Tuntutan gaya hidup yang makin hedonis dan
konsumtif memaksa kebanyakan birokrat untuk memanfaatkan jabatan wewenangnya.
Budaya korup, kaya secara instan, sikap hidup menerabas, dan kecenderungan
menyalahgunakan wewenang seakan-akan sudah diterima secara umum sebagai sesuatu
yang biasa. Celakanya, selain tidak ada proses pelembagaan untuk menanamkan
budaya bersih dan melayani, sering kali budaya-budaya yang demikian itu
diterima dan dilakukan secara bersama-sama oleh atasan dan bawahan. Gejala ini
semakin kuat jika berada dalam birokrasi yang berkaitan dengan sumber
penerimaan, pemberian izin, dan pengeluaran negara.
Masih secara internal, timbulnya penyakit
dalam birokrasi seperti yang terjadi pada Gayus dan Dhana juga disebabkan
lemahnya sistem pengawasan internal ataupun eksternal. Sistem pengawasan
atasan-bawahan praktis tak mungkin terjadi dalam sistem yang korup secara
bersama-sama. Pengawasan yang diharapkan mampu mendeteksi perilaku menyimpang
tersebut mungkin oleh BPK. Problemnya adalah bagaimana tindak lanjut temuan BPK
terhadap adanya penyimpangan.
Biasanya muncul semangat jiwa korsa untuk
menjaga nama baik kementerian/lembaga dari banyaknya temuan yang bisa
menyebabkan opini disclaimer oleh BPK. Dalam kasus, biasanya dicari jalan untuk
menyembunyikan temuan sedemikian rupa secara institusional agar bisa tertutupi
dan tak terbongkar ke publik.
Beruntunglah Indonesia memiliki PPATK yang
dapat mendeteksi aliran dana melalui transaksi keuangan lewat rekening sehingga
kasus seperti Gayus dan Dhana dapat terungkap dan menjadi bukti awal
penyidikan. Meskipun demikian, rasanya masih banyak transaksi yang mungkin
tidak bisa terdeteksi oleh PPATK.
Secara eksternal, penyakit korupsi dalam
birokrasi bisa disebabkan oleh relasi antarberbagai sistem yang terkait,
misalnya kooptasi dan intervensi politik. Dalam banyak kasus korupsi birokrasi
di daerah, tekanan politik menjadi salah satu sumber penyebab. Hal ini bermula
dari proses pengisian jabatan yang sangat tertutup dan berbasis hubungan
afiliasi.
Faktor eksternal lain adalah budaya
masyarakat yang sangat permisif dan menjadikan suap/gratifikasi dalam proses
pemerintahan dan pelayanan sebagai hal yang biasa. Artinya, terjadi penawaran
dan permintaan antara birokrasi dan masyarakat untuk sebuah pelayanan.
Ke arah Pencegahan
Berbagai kritik dilontarkan terhadap fakta
bahwa reformasi birokrasi, yang saat ini telanjur dipersepsi sebagai tunjangan
kinerja, ternyata belum mampu mengubah kultur dan perilaku korup birokrasi.
Kritik ini benar untuk tiga alasan. Pertama,
reformasi birokrasi memang bukan jalan singkat mengubah budaya dan perilaku
korup para birokrat. Hal ini sama sulitnya mengubah budaya dan perilaku
masyarakat untuk berdisiplin dan tidak memberi suap kepada pejabat birokrasi.
Kedua, persepsi salah yang berkembang di
birokrasi ataupun di masyarakat bahwa reformasi birokrasi adalah identik dengan
tunjangan kinerja. Sebaliknya, reformasi birokrasi adalah perubahan sistemik
dan multidimensi untuk mengubah tidak saja struktur dan proses kerja, tetapi
juga pola pikir, budaya, dan perilaku.
Ketiga, jumlah tunjangan kinerja yang
diberikan melalui kebijakan reformasi birokrasi sangat tidak sebanding dengan
”penerimaan lain-lain” yang diperoleh birokrat untuk memenuhi kebutuhan dan
gaya hidup yang sudah telanjur tinggi.
Meski demikian, masih ada banyak harapan
dalam reformasi birokrasi sebagai cara untuk memperbaiki budaya dan perilaku
birokrat. Untuk sektor-sektor (kementerian dan lembaga) yang ”kering” dan tidak
berhubungan dengan sumber penerimaan, perizinan, dan pengeluaran keuangan
negara, tunjangan kinerja menjadi harapan kenaikan penerimaan PNS. Harus
diakui, tunjangan kinerja ini belum sepenuhnya berkaitan dengan capaian kinerja
individu. Namun, larangan untuk memperoleh honor-honor lain setelah penerapan
tunjangan kinerja telah mengubah pola pikir birokrat bahwa untuk suatu
pekerjaan yang jadi tanggung jawabnya tidak boleh lagi memperoleh honor-honor
tambahan.
Pemerintah sedang menyiapkan dan melaksanakan
reformasi birokrasi yang lebih komprehensif. Perekrutan ke depan akan dilakukan
dengan cara yang lebih profesional berbasis kompetensi. Promosi jabatan akan
dilakukan secara terbuka dan kompetitif. Pengukuran kinerja akan dilakukan
berbasis capaian kinerja individu.
Namun, kunci dari semua itu adalah perbaikan
sistem secara komprehensif. Penegakan sanksi disiplin berat bagi setiap
pelanggaran tak boleh ragu. Temuan BPK atas penyimpangan penggunaan keuangan
negara oleh birokrat tak boleh ditutupi oleh kementerian/lembaga dan pemda.
Saya yakin reformasi birokrasi yang sungguh-sungguh adalah keniscayaan dan akan
menjadi dasar bagi perubahan budaya dan perilaku dalam birokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar