Jumat, 09 Maret 2012

Korupsi dan Reformasi Birokrasi


Korupsi dan Reformasi Birokrasi
Eko Prasojo, KETUA PROGRAM PASCASARJANA ILMU ADMINISTRASI
DAN GURU BESAR ILMU ADMINISTRASI NEGARA FISIP UI
SUMBER : KOMPAS, 9 Maret 2012



Masyarakat digegerkan kembali oleh korupsi yang dilakukan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Kasus Gayus dan Bahasyim belum hilang dari ingatan masyarakat, timbul lagi kasus Dhana.

Meskipun masih harus dibuktikan oleh pengadilan, indikasi korupsi oleh birokrat muda ini langsung mendapat tanggapan keras masyarakat. Berbagai upaya reformasi birokrasi dipandang belum mampu mengubah perilaku dan budaya korup para birokrat. Bagaimana menjelaskan fenomena Gayus dan Dhana ini? Benarkah reformasi birokrasi belum mampu menghilangkan korupsi dalam birokrasi?

Korupsi sistemik

Sumber penyakit birokrasi pada dasarnya dapat diidentifikasi dari dua lokus: internal dan eksternal. Sumber internal berasal dari kelemahan dan kegagalan sistem yang ada di birokrasi itu sendiri.

Dalam perspektif manajemen sumber daya manusia, munculnya perilaku menyimpang birokrat biasanya sudah dimulai dari perekrutan pegawai yang tidak transparan, tak objektif, dan tak profesional. Perekrutan ini pun tidaklah berdiri sendiri, tetapi terkait dengan subsistem lain. Misalnya, ketertutupan dalam promosi jabatan dan sistem remunerasi yang tak terkait kinerja.

Tak hanya itu, sumber internal penyakit birokrasi juga bisa disebabkan oleh proses bisnis di dalam pemerintahan dan pelayanan yang memungkinkan birokrat secara individu ataupun bersama mengambil uang negara dalam jabatan dan wewenangnya. Pokok pangkalnya: celah sistem yang tak paripurna memungkinkan transaksi antara wajib pajak dan petugas pajak secara simbiosis mutualisme.

Secara internal, sumber penyebab birokrasi juga dapat berasal dari lemahnya pelembagaan nilai dan budaya organisasi yang baik. Problem dasar birokrasi di Indonesia adalah masih berakarnya budaya kekuasaan dan belum munculnya budaya pelayanan. Kesulitan lain untuk melembagakan budaya dan nilai birokrasi yang bersih dan melayani juga disebabkan oleh gaya hidup birokrat yang pada umumnya sudah sangat tinggi.

Persepsi masyarakat terhadap birokrat sudah telanjur terbentuk: meski gajinya kecil, penghasilan (take home pay) bisa sangat besar. Ada dua akibat oleh persepsi masyarakat yang demikian. Pertama, masyarakat berbondong-bondong berusaha untuk jadi PNS dengan cara apa pun, termasuk membayar harga sebuah formasi. Kedua, timbulnya persepsi umum bahwa menjadi birokrat harus kaya.

Tuntutan gaya hidup yang makin hedonis dan konsumtif memaksa kebanyakan birokrat untuk memanfaatkan jabatan wewenangnya. Budaya korup, kaya secara instan, sikap hidup menerabas, dan kecenderungan menyalahgunakan wewenang seakan-akan sudah diterima secara umum sebagai sesuatu yang biasa. Celakanya, selain tidak ada proses pelembagaan untuk menanamkan budaya bersih dan melayani, sering kali budaya-budaya yang demikian itu diterima dan dilakukan secara bersama-sama oleh atasan dan bawahan. Gejala ini semakin kuat jika berada dalam birokrasi yang berkaitan dengan sumber penerimaan, pemberian izin, dan pengeluaran negara.

Masih secara internal, timbulnya penyakit dalam birokrasi seperti yang terjadi pada Gayus dan Dhana juga disebabkan lemahnya sistem pengawasan internal ataupun eksternal. Sistem pengawasan atasan-bawahan praktis tak mungkin terjadi dalam sistem yang korup secara bersama-sama. Pengawasan yang diharapkan mampu mendeteksi perilaku menyimpang tersebut mungkin oleh BPK. Problemnya adalah bagaimana tindak lanjut temuan BPK terhadap adanya penyimpangan.

Biasanya muncul semangat jiwa korsa untuk menjaga nama baik kementerian/lembaga dari banyaknya temuan yang bisa menyebabkan opini disclaimer oleh BPK. Dalam kasus, biasanya dicari jalan untuk menyembunyikan temuan sedemikian rupa secara institusional agar bisa tertutupi dan tak terbongkar ke publik.

Beruntunglah Indonesia memiliki PPATK yang dapat mendeteksi aliran dana melalui transaksi keuangan lewat rekening sehingga kasus seperti Gayus dan Dhana dapat terungkap dan menjadi bukti awal penyidikan. Meskipun demikian, rasanya masih banyak transaksi yang mungkin tidak bisa terdeteksi oleh PPATK.

Secara eksternal, penyakit korupsi dalam birokrasi bisa disebabkan oleh relasi antarberbagai sistem yang terkait, misalnya kooptasi dan intervensi politik. Dalam banyak kasus korupsi birokrasi di daerah, tekanan politik menjadi salah satu sumber penyebab. Hal ini bermula dari proses pengisian jabatan yang sangat tertutup dan berbasis hubungan afiliasi.

Faktor eksternal lain adalah budaya masyarakat yang sangat permisif dan menjadikan suap/gratifikasi dalam proses pemerintahan dan pelayanan sebagai hal yang biasa. Artinya, terjadi penawaran dan permintaan antara birokrasi dan masyarakat untuk sebuah pelayanan.

Ke arah Pencegahan

Berbagai kritik dilontarkan terhadap fakta bahwa reformasi birokrasi, yang saat ini telanjur dipersepsi sebagai tunjangan kinerja, ternyata belum mampu mengubah kultur dan perilaku korup birokrasi.

Kritik ini benar untuk tiga alasan. Pertama, reformasi birokrasi memang bukan jalan singkat mengubah budaya dan perilaku korup para birokrat. Hal ini sama sulitnya mengubah budaya dan perilaku masyarakat untuk berdisiplin dan tidak memberi suap kepada pejabat birokrasi.

Kedua, persepsi salah yang berkembang di birokrasi ataupun di masyarakat bahwa reformasi birokrasi adalah identik dengan tunjangan kinerja. Sebaliknya, reformasi birokrasi adalah perubahan sistemik dan multidimensi untuk mengubah tidak saja struktur dan proses kerja, tetapi juga pola pikir, budaya, dan perilaku.

Ketiga, jumlah tunjangan kinerja yang diberikan melalui kebijakan reformasi birokrasi sangat tidak sebanding dengan ”penerimaan lain-lain” yang diperoleh birokrat untuk memenuhi kebutuhan dan gaya hidup yang sudah telanjur tinggi.

Meski demikian, masih ada banyak harapan dalam reformasi birokrasi sebagai cara untuk memperbaiki budaya dan perilaku birokrat. Untuk sektor-sektor (kementerian dan lembaga) yang ”kering” dan tidak berhubungan dengan sumber penerimaan, perizinan, dan pengeluaran keuangan negara, tunjangan kinerja menjadi harapan kenaikan penerimaan PNS. Harus diakui, tunjangan kinerja ini belum sepenuhnya berkaitan dengan capaian kinerja individu. Namun, larangan untuk memperoleh honor-honor lain setelah penerapan tunjangan kinerja telah mengubah pola pikir birokrat bahwa untuk suatu pekerjaan yang jadi tanggung jawabnya tidak boleh lagi memperoleh honor-honor tambahan.

Pemerintah sedang menyiapkan dan melaksanakan reformasi birokrasi yang lebih komprehensif. Perekrutan ke depan akan dilakukan dengan cara yang lebih profesional berbasis kompetensi. Promosi jabatan akan dilakukan secara terbuka dan kompetitif. Pengukuran kinerja akan dilakukan berbasis capaian kinerja individu.

Namun, kunci dari semua itu adalah perbaikan sistem secara komprehensif. Penegakan sanksi disiplin berat bagi setiap pelanggaran tak boleh ragu. Temuan BPK atas penyimpangan penggunaan keuangan negara oleh birokrat tak boleh ditutupi oleh kementerian/lembaga dan pemda. Saya yakin reformasi birokrasi yang sungguh-sungguh adalah keniscayaan dan akan menjadi dasar bagi perubahan budaya dan perilaku dalam birokrasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar