Jumat, 09 Maret 2012

Masa Depan (Kelas) Demokrasi


Masa Depan (Kelas) Demokrasi
Aurelius Teluma, PENGAJAR PADA OLIFANT ELEMENTARY SCHOOL YOGYAKARTA
SUMBER : KOMPAS, 9 Maret 2012



Setiap Jumat, ada ”pemilu” di semua ruang kelas SD tempat saya mengajar dan belajar. Yang dipilih adalah sang presiden kelas untuk seminggu ke depan. Tak ada kampanye dari para kandidat. Tak ada partai politik. Jadi, tak mungkin ada politik uang! Yang ada hanyalah pertanyaan reflektif kepada semua murid, bahkan kepada dia yang sudah dipilih. Maka, sang presiden kelas tak saja dipilih oleh guru dan teman-temannya, tetapi juga oleh dirinya sendiri. Saya menyebut desain pembelajaran demokrasi di kelas ini dengan ”kelas demokrasi reflektif”.

Caranya? Di akhir pelajaran, setelah merangkum dan mengevaluasi pelajaran hari itu, dilanjutkan mengevaluasi bersama dinamika kelas hari itu dan pekan itu. Para murid duduk melingkar dan diminta menyimpulkan apakah kelas mereka layak mendapatkan dua jempol ke atas untuk kondisi sangat baik, satu jempol ke atas untuk baik, atau malah jempol ke bawah alias jelek.

Jika bagus, mereka dipersilakan menyebutkan hal apa saja yang membuat kelas mereka begitu. Begitu pun sebaliknya. Di sini, yang utama, murid diberanikan untuk mengakui kontribusi masing-masing yang menyebabkan kondisi kelas jadi demikan, lalu meminta maaf kepada para guru dan teman-temannya.

Lalu tibalah saat pemilihan sang presiden kelas. Tentu saja para guru kelas yang mendampingi para murid setiap hari selama sepekan tahu persis siapa saja yang layak menyandang jabatan itu. Maka, para gurulah yang menentukan kandidat sang presiden berdasarkan beberapa kriteria. Kriteria tersebut, antara lain, keunggulan penguasaan materi sepekan oleh si murid, atau ketertiban dalam mengikuti aturan kelas, kejujuran, kemurahan hati, dan aneka keutamaan kemanusiaan lainnya.

Namun, para kandidat harus mendapat pengakuan penuh kesadaran dari semua kelas ataupun si kandidat sendiri. Karena itu, guru koordinator kelas berdiri di tengah lingkaran murid lalu memegang sebuah piala, tanda pengenal ”presiden kelas”, dan menunjukkan sebuah piagam berisi kriteria pemilihan kali itu kepada semua anggota kelas.

Para murid diminta memejamkan mata. Para guru lalu menyebut sekitar tiga atau empat nama murid sebagai kandidat. Para kandidat dipandu ke tengah lingkaran, dengan mata tetap terpejam. Lalu guru koordinator kelas sekali lagi mengumumkan kriteria presiden kelas pekan depan. Misalnya, murah hati kepada teman-temannya.

Guru pun bertanya, dari keempat kandidat yang telah disebutkan, siapa yang paling murah hati. Setelah murid meneriakkan nama teman mereka yang diunggulkan, guru memberi kesempatan kepada beberapa orang untuk menjelaskan alasan memilih si A, B, C, atau D. Dari jawaban itu, guru mengklarifikasi ke calon yang disebut. Terbuka pula sanggahan atau protes dari teman-teman lain atas kesaksian-kesaksian tersebut.

Maka, berdasarkan kesaksian terbanyak akan kemurahan hatinya dan pengakuan si kandidat sendiri, guru pun mengumumkan siapa yang berhak menjadi sang presiden kelas. Tugas presiden kelas terpilih adalah memilih anggota ”kabinet”-nya yang harus segera diumumkan Senin pagi pekan berikutnya.

Kegalauan Seorang Guru

Inilah upaya sekolah memberikan pendidikan berdemokrasi kepada tunas-tunas muda yang bernaung di dalam lembaganya. Maka, betapa galau hati kami para pendidik tunas-tunas tersebut tatkala mencermati fenomena hidup berdemokrasi negeri ini yang penuh narasi destruktif.

Bukan hanya narasi korupsi yang dipertontonkan politisi dan penguasa di pentas politik negeri ini. Daya reflektif yang bermuara pada pengakuan akan peran dan tanggung jawab atas sebuah kelalaian, kecurangan, bahkan kejahatan politik seakan lenyap dari peradaban demokrasi kita. Saling lempar tanggung jawab semakin menjadi adegan yang lazim. Demokrasi pun melangkah tanpa daya reflektif dan koreksi diri. Apalagi, kebesaran hati untuk mengaku salah dan lapang hati mengundurkan diri.

Alangkah baiknya jika para politisi kita mau ”bergabung” kembali ke ruang kelas demokrasi reflektif kami. Tentu saja bukan bermaksud mengajak politisi bersekolah lagi bersama murid-murid kami. Bagaimanapun, desain kelas demokrasi tersebut sangat sederhana dibandingkan dinamika demokrasi dalam konteks bernegara begitu kompleks. Namun, yang sangat berharga dan harus segera ”dibeli” pemuka demokrasi negeri ini adalah semangat, karakter, visi dan misi, refleksivitas, serta sportivitas.

Di atas semuanya, kepentingan terbesar bagi seorang pendidik untuk mengangkat kisah ruang kelas dan kegalauan hati kami ini adalah agar kondisi negatif hidup berdemokrasi negeri ini segera berakhir. Tak lain agar masa depan tunas-tunas muda bangsa yang belajar berdemokrasi reflektif ini tetap hidup dan kian bertumbuh hingga berbuah. Bertumbuh karena berada dalam ruang politik reflektif dan berbuah menjadi para politisi reflektif dan sportif pada saatnya kelak. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar