Rabu, 14 Maret 2012

Telepolitics dan Gelembung Politik Elektoral


Telepolitics dan Gelembung Politik Elektoral
Burhanuddin Muhtadi, PENGAJAR FISIP UIN JAKARTA,
PENELITI LEMBAGA SURVEI INDONESIA (LSI)    
SUMBER : SINDO, 14 Maret 2012



Survei itu ibarat ramalan cuaca politik pada saat pengumpulan data dilakukan. Dalam survei mutakhir yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), cuaca politik sangat tidak bersahabat dengan Partai Demokrat.

Sembilan bulan terakhir partai pemenang pemilu ini dihantam badai akibat skandal Nazaruddin.Tak heran jika elektabilitas Demokrat berada di titik terendah dibandingkan perolehan pada Pemilu 2009 sekitar 20,8%. Meski demikian, perolehan suara Demokrat selama tiga bulan terakhir cenderung stagnan. Pada Desember 2011 elektabilitas Demokrat 14%,awal Februari 2012 13,7%, dan awal Maret 2012 13,4%.

Dalam survei terakhir, ada dua partai yang mengalami kenaikan: Golkar 17,7% dan Nasional Demokrat (NasDem) 5,9%. Partai-partai lain cenderung stagnan, bahkan turun: PDIP 13,6%, PKB 5,3%, PPP 5,3%,PKS 4,2%,Gerindra 3,7%, PAN 2,7%, dan Hanura 0,9%. Kenaikan Golkar dan NasDem lebih karena keberhasilan menarik pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) yang sebelumnya di kisaran 29%, namun pada survei terakhir undecided voters berkurang menjadi 23,4%. Partai-partai selain Golkar dan NasDem cenderung tidak berubah dibanding survei Februari 2012.

Swing Voters

Dengan memakai simulasi daftar nama dan gambar 38 partai nasional dan gambar dua partai baru NasDem dan Nasrep, NasDem mengambil ceruk pemilih 29 partai yang tidak lolos parliamentary threshold. Pada Pemilu 2009 suara yang diperoleh partaipartai kecil mencapai 18% lebih.Survei LSI menunjukkan total suara partai-partai kecil hanya 3,5%.

Di tengah minimnya pergerakan elektoral partai-partai kecil dan kekuatan media yang dimiliki Nas- Dem,partai baru ini sukses meraup ceruk pemilih partaipartai kecil dan pemilih yang tidak memiliki keterikatan dengan partai mana pun. Tapi, Golkar dan Nas- Dem jangan terlalu cepat gembira dulu.Politik elektoral di Indonesia sangatlah dinamis dan fluktuatif akibat besarnya proporsi pemilih mengambang (swing voters). Karakteristik pemilih cair ini ada dua. Pertama, pemilih yang memiliki tidak partyID. Hanya 20% pemilih yang punya partyID atau merasa dekat dengan partaipartai.

Maka itu,volatilitas dukungan partai sangat rentan. Mayoritas responden menyatakan kurang atau sama sekali tidak siap memilih 54,9%. Mereka mengambang, mungkin menunggu waktu, menunggu partai atau calon yang lebih meyakinkan, atau mungkin tidak akan memilih. Kedua, pemilih yang belum menentukan pilihan yang berkisar antara 20–30%. Jumlah ini potensial mengubah peta kekuatan partai secara drastis. Jika tidak ada alternatif yang kredibel,bukan tidak mungkin pemilih ini akan golput.

Selain itu,pemilih yang sudah menentukan pilihan juga masih banyak yang bisa pindah ke lain partai.Pemilih yang tidak setia ini yang mengakibatkan dinamika politik elektoral kita mirip gelembung (bubble politics). Setiap pemilu pemenangnya berbeda.Pada 1999 PDIP muncul sebagai jawara,lalu disusul Golkar yang unggul pada 2004, dan terakhir Demokrat tampil sebagai pemenang pada 2009.

Revolusi Media

Secara teoritik, kontinuitas atau stabilitas partai politik dapat terjadi bila pemilih mengidentikkan diri dengan partai.Bila hanya sedikit yang memiliki partyID, dukungan pada partai lemah dan bergejolak (Campbell dkk, 1960). Gejala makin besarnya pemilih mengambang yang tak terikat partai bertemu dengan makin menurunnya peran partai dibanding media massa dalam menjangkau pemilih.

Inilah yang membuat NasDem, yang memiliki keunggulan akses terhadap media melalui iklan-iklan politiknya, akhirnya muncul sebagai kekuatan elektoral baru yang patut diperhitungkan. Fenomena ini, menurut Michael Bauman (2007), disebut telepolitics, yakni bergesernya peran partai dan munculnya dominasi media, terutama televisi, dalam memersuasi pemilih.Televisi mampu menyelinap ke ruang domestik keluarga dan memerantarai hubungan yang lebih bersifat impersonal.

Berbeda dengan pertemuan-pertemuan politik konvensional yang mensyaratkan kehadiran seseorang,interaksi melalui televisi lebih bersifat one-way traffic communication, lebih praktis, dan tidak merepotkan pemilih. Sejak 2008 LSI menemukan gejala di atas yang disebut ”revolusi diam”(silent revolution) melalui observasi sistematik terhadap memori dan intensitas pemilih terhadap iklaniklan partai dan dampak elektoralnya terhadap elektabilitas partai. Kompetisi antarpartai di Indonesia makin dipengaruhi televisi sebagai medium utama penyebaran informasi politik dan alat persuasi paling masif.

Organisasi partai makin lama makin kehilangan relevansi sebagai saluran sosialisasi politik. Meski demikian, peran media melalui iklan di televisi yang makin besar dalam memerantarai hubungan partai dengan pemilih bisa berimplikasi etis.Kamera bisa mengonstruksi citra menjadi realita. Melalui apa yang oleh kalangan televisi disebut “the illusion of presence,”kamera berpretensi memermak wajah asli partai dan politisi.

Menguatnya iklan-iklan politik juga bisa mendorong partai-partai untuk lebih mengedepankan ”serangan udara” ketimbang kerja-kerja konkret di lapangan. Karena itu, perlu ditekankan bahwa kampanye via media massa harus dimaknai sebagai komplemen dari kerjakerja konkret partai yang langsung bisa dirasakan oleh rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar