Jumat, 16 Maret 2012

Berharap pada Revisi UU Penyiaran


Berharap pada Revisi UU Penyiaran
Teguh S. Usis, PENGELOLA SAKTI TV NETWORK, SURABAYA
SUMBER : KORAN TEMPO, 15 Maret 2012



Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sudah berusia sepuluh tahun. Secara aturan, sebenarnya undang-undang tersebut sudah cukup bagus untuk mengatur ranah penyiaran di Tanah Air. Namun pelaksanaannya di lapangan tidaklah semudah yang dibayangkan.

Salah satu aturan dalam Undang-Undang Penyiaran yang hingga saat ini belum bisa terwujud adalah siaran sistem berjaringan. Siaran berjaringan ini secara filosofis dimaksudkan untuk menghidupkan televisi-televisi lokal yang pertumbuhannya menjamur setelah diberlakukannya UU Penyiaran dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 76 Tahun 2003 tentang Rencana Induk Kanalisasi Televisi. Dengan siaran berjaringan, diharapkan televisi-televisi nasional yang berkedudukan di Jakarta menjalin kemitraan dengan televisi lokal, baik dari sisi pendanaan maupun dari sisi program tayangan.

Dengan siaran berjaringan, prinsip pembatasan wilayah siaran menjadi sebuah keniscayaan. Artinya, televisi yang berkedudukan di Jakarta tak bisa menyiarkan program tayangannya keluar dari wilayah Jakarta. Ini sesuai dengan semangat Pasal 20 UU Penyiaran, yang secara tegas menyebutkan bahwa satu saluran siaran hanya dapat bersiaran pada satu wilayah siaran. Karena itu, dalam UU Penyiaran Nomor 32/2002 tidak dikenal istilah televisi nasional.

Jika televisi di Jakarta ingin siarannya sampai di Papua, umpamanya, televisi di Jakarta tersebut harus bermitra dengan televisi lokal yang ada di Papua. Televisi di Jakarta tidak diperkenankan menyiarkan secara relay siarannya dari Jakarta, untuk menembus khalayak pemirsa di Papua. Namun, sampai saat ini, siaran berjaringan masih sebatas harapan kosong. Padahal, dalam UU Penyiaran Nomor 32/2002, selain pasal 20 tersebut, setidaknya masih ada dua pasal lain--pasal 6 dan pasal 31--yang mensyaratkan siaran berjaringan. Kendala paling mencolok adalah keengganan televisi di Jakart menjalin kemitraan dengan televisi lokal.

Sejatinya, dapat dipahami ihwal keengganan televisi di Jakarta mewujudkan siaran berjaringan. Sebelum UU Penyiaran diberlakukan, televisi-televisi di Jakarta sudah lebih dulu memancarkan siarannya menjangkau hampir seluruh pelosok Tanah Air. Investasi untuk membangun stasiun relay tidaklah kecil. Untuk membeli perangkat transmisi dengan kekuatan lima kilowatt saja, misalnya, butuh dana tak kurang dari Rp 3 miliar. Belum lagi dana yang harus disediakan untuk mendirikan menara pemancar, membeli tanah untuk lokasi pemancar, dan mendirikan bangunan di lokasi pemancar.

Maka, tak mengherankan jika amanat UU Penyiaran untuk melaksanakan siaran berjaringan ini tak pernah berjalan mulus. Awalnya, siaran berjaringan ini harus terlaksana selambat-lambatnya pada akhir 2007. Namun keluarlah Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 32 Tahun 2007, yang menunda siaran berjaringan sampai akhir 2009.

Pada Oktober 2009, keluarlah Peraturan Menkominfo Nomor 43/2009 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Sistem Stasiun Jaringan. Pasal 15 Peraturan Menkominfo ini dengan tegas menyebutkan, apabila lembaga penyiaran swasta tidak melaksanakan penyiaran melalui sistem stasiun jaringan, izin penyelenggaraan penyiaran akan ditinjau kembali.

Lantas, berlakukah kini siaran berjaringan? Eit..., tunggu dulu. Kondisi dunia penyiaran di Indonesia saat ini belum berubah. Siaran berjaringan masih sebatas wacana. Yang terus terjadi adalah semakin tak berdayanya televisi lokal menghadapi persaingan dengan televisi nasional. Nyaris semua kue iklan kini hanya diperebutkan sepuluh stasiun televisi nasional di Jakarta. Televisi lokal? Jika masih bisa kebagian remah-remah kue iklan nasional saja sudah bagus. Akibatnya, tak jarang televisi lokal hanya mampu menjual iklan seharga Rp 50 ribu untuk spot iklan berdurasi 30 detik. Bandingkan dengan harga spot iklan tayangan prime time televisi nasional, yang harganya bisa mencapai Rp 30 juta untuk durasi 30 detik.

Padahal, jika televisi nasional bermitra menayangkan sebuah program dengan televisi lokal, tentunya televisi lokal akan kecipratan juga gurihnya kue iklan nasional. Ilustrasinya begini. Sebuah program--katakanlah program A--diproduksi oleh televisi nasional. Agar program A bisa dinikmati warga di Padang, misalnya, televisi nasional harus bekerja sama dengan sebuah televisi lokal di Padang. Melalui pemancar yang dimiliki televisi lokal di Padang-lah program A dapat ditayangkan. Otomatis televisi lokal di Padang yang menayangkan program A ini mendapat bagian dari iklan yang dipasang oleh pemasang iklan di program A.

Harapan Baru

Maka, ketika kini tersiar kabar Undang-Undang Penyiaran akan direvisi, sebuah harapan patut dipunyai para pengelola televisi lokal. Harapan itu adalah menegaskan secara detail konsep siaran berjaringan. Misalnya, dalam UU Penyiaran yang baru, disebutkan secara tegas bahwa televisi nasional harus bermitra dengan televisi lokal, untuk menyiarkan program tayangannya. Jika tidak, pemerintah akan memberikan sanksi kepada televisi nasional.

Sayangnya, dari bocoran draf revisi UU Penyiaran yang dikeluarkan pemerintah pada 2011, aturan tentang siaran berjaringan ini belum disebutkan secara detail. Tercatat hanya dua pasal yang mengatur siaran berjaringan, yakni pasal 6 dan pasal 21. Padahal draf revisi UU Penyiaran memuat 103 pasal, hampir dua kali lipat dari 68 pasal yang ada pada UU Penyiaran Nomor 32/2002.

Memang, revisi UU Penyiaran masih belum final. Komisi II DPR sudah membentuk panitia kerja untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak. Tak ada salahnya para pengelola televisi lokal terus mencermati diskusi revisi UU Penyiaran, sembari mengawal agar UU Penyiaran yang baru nantinya mempunyai keberpihakan kepada televisi lokal.

Mencoba Mandiri

Kendati begitu, tentu tak bisa sepenuhnya pengelola televisi lokal menggantungkan sepenuhnya harapan kepada revisi UU Penyiaran. Sudah amat jelas bahwa akan begitu banyak pihak yang mencoba memasukkan kepentingan mereka dalam UU Penyiaran yang baru. Artinya, pengelola televisi lokal harus pula bersiap diri untuk kecewa jika pada akhirnya kepentingan mereka tidak terakomodasi dalam UU Penyiaran yang baru.

Jika itu yang terjadi, lantas apakah televisi lokal harus kembali deja vu dan mengalami mati suri seperti kondisi saat ini? Jawaban paling ideal adalah “tidak!”. Jika tak bisa berjaringan dengan televisi nasional yang ada di Jakarta, toh tak ada salahnya pengelola televisi lokal mulai menggagas siaran berjaringan di antara sesama televisi lokal. Untuk itu, Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) bisa berperan lebih banyak untuk mewujudkan gagasan siaran berjaringan.

Selain itu, pengelola televisi lokal juga perlu melihat peluang bisnis lain untuk menghidupi televisinya. Jika bergantung pada pemasukan iklan berupa television commercial (TVC) semata, dapat dipastikan televisi lokal tidak akan mampu menghidupi dirinya. Lebih dari 80 persen perputaran kue iklan saat ini masih beredar di Jakarta. Artinya, lebih dari 100 stasiun televisi lokal akan bertarung melawan 10 stasiun televisi nasional di Jakarta dalam memperebutkan kue iklan berupa TVC. Pertarungan ini ibarat David versus Goliath. Amat tak seimbang, plus akan menghabiskan energi yang besar.

Ketimbang televisi lokal harus bersaing melawan televisi nasional, tak ada salahnya televisi lokal bersiasat dalam mencari pemasukan. Yang paling gampang adalah menjalin kerja sama dengan pemerintahan lokal setempat. Sosialisasi program pemerintahan daerah tentu membutuhkan media. Peluang inilah yang bisa digarap oleh televisi lokal, tanpa harus mengurangi sikap kritisnya terhadap kebijakan pemerintahan daerah.

Masih cukup banyak cara lain yang bisa dilakukan televisi lokal agar bisa hidup. Tinggal sekarang bagaimana manajemen televisi lokal menyusun secara matang konsep bisnis televisi yang akan dijalankan. Tentunya pula sembari menunggu revisi UU Penyiaran memiliki keberpihakan kepada televisi lokal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar