Berharap
pada Revisi UU Penyiaran
Teguh
S. Usis, PENGELOLA SAKTI TV NETWORK, SURABAYA
SUMBER : KORAN TEMPO, 15 Maret 2012
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran sudah berusia sepuluh tahun. Secara aturan, sebenarnya undang-undang
tersebut sudah cukup bagus untuk mengatur ranah penyiaran di Tanah Air. Namun
pelaksanaannya di lapangan tidaklah semudah yang dibayangkan.
Salah satu aturan dalam Undang-Undang
Penyiaran yang hingga saat ini belum bisa terwujud adalah siaran sistem
berjaringan. Siaran berjaringan ini secara filosofis dimaksudkan untuk
menghidupkan televisi-televisi lokal yang pertumbuhannya menjamur setelah
diberlakukannya UU Penyiaran dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 76 Tahun
2003 tentang Rencana Induk Kanalisasi Televisi. Dengan siaran berjaringan,
diharapkan televisi-televisi nasional yang berkedudukan di Jakarta menjalin
kemitraan dengan televisi lokal, baik dari sisi pendanaan maupun dari sisi
program tayangan.
Dengan siaran berjaringan, prinsip pembatasan
wilayah siaran menjadi sebuah keniscayaan. Artinya, televisi yang berkedudukan
di Jakarta tak bisa menyiarkan program tayangannya keluar dari wilayah Jakarta.
Ini sesuai dengan semangat Pasal 20 UU Penyiaran, yang secara tegas menyebutkan
bahwa satu saluran siaran hanya dapat bersiaran pada satu wilayah siaran.
Karena itu, dalam UU Penyiaran Nomor 32/2002 tidak dikenal istilah televisi
nasional.
Jika televisi di Jakarta ingin siarannya
sampai di Papua, umpamanya, televisi di Jakarta tersebut harus bermitra dengan
televisi lokal yang ada di Papua. Televisi di Jakarta tidak diperkenankan
menyiarkan secara relay siarannya dari Jakarta, untuk menembus khalayak
pemirsa di Papua. Namun, sampai saat ini, siaran berjaringan masih sebatas
harapan kosong. Padahal, dalam UU Penyiaran Nomor 32/2002, selain pasal 20
tersebut, setidaknya masih ada dua pasal lain--pasal 6 dan pasal 31--yang
mensyaratkan siaran berjaringan. Kendala paling mencolok adalah keengganan
televisi di Jakart menjalin kemitraan dengan televisi lokal.
Sejatinya, dapat dipahami ihwal keengganan
televisi di Jakarta mewujudkan siaran berjaringan. Sebelum UU Penyiaran
diberlakukan, televisi-televisi di Jakarta sudah lebih dulu memancarkan
siarannya menjangkau hampir seluruh pelosok Tanah Air. Investasi untuk membangun
stasiun relay tidaklah kecil. Untuk membeli perangkat transmisi dengan
kekuatan lima kilowatt saja, misalnya, butuh dana tak kurang dari Rp 3 miliar.
Belum lagi dana yang harus disediakan untuk mendirikan menara pemancar, membeli
tanah untuk lokasi pemancar, dan mendirikan bangunan di lokasi pemancar.
Maka, tak mengherankan jika amanat UU
Penyiaran untuk melaksanakan siaran berjaringan ini tak pernah berjalan mulus.
Awalnya, siaran berjaringan ini harus terlaksana selambat-lambatnya pada akhir
2007. Namun keluarlah Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 32
Tahun 2007, yang menunda siaran berjaringan sampai akhir 2009.
Pada Oktober 2009, keluarlah Peraturan
Menkominfo Nomor 43/2009 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Sistem Stasiun
Jaringan. Pasal 15 Peraturan Menkominfo ini dengan tegas menyebutkan, apabila
lembaga penyiaran swasta tidak melaksanakan penyiaran melalui sistem stasiun
jaringan, izin penyelenggaraan penyiaran akan ditinjau kembali.
Lantas, berlakukah kini siaran berjaringan? Eit...,
tunggu dulu. Kondisi dunia penyiaran di Indonesia saat ini belum berubah.
Siaran berjaringan masih sebatas wacana. Yang terus terjadi adalah semakin tak
berdayanya televisi lokal menghadapi persaingan dengan televisi nasional.
Nyaris semua kue iklan kini hanya diperebutkan sepuluh stasiun televisi
nasional di Jakarta. Televisi lokal? Jika masih bisa kebagian remah-remah kue
iklan nasional saja sudah bagus. Akibatnya, tak jarang televisi lokal hanya
mampu menjual iklan seharga Rp 50 ribu untuk spot iklan berdurasi 30 detik.
Bandingkan dengan harga spot iklan tayangan prime time televisi
nasional, yang harganya bisa mencapai Rp 30 juta untuk durasi 30 detik.
Padahal, jika televisi nasional bermitra
menayangkan sebuah program dengan televisi lokal, tentunya televisi lokal akan
kecipratan juga gurihnya kue iklan nasional. Ilustrasinya begini. Sebuah
program--katakanlah program A--diproduksi oleh televisi nasional. Agar program
A bisa dinikmati warga di Padang, misalnya, televisi nasional harus bekerja sama
dengan sebuah televisi lokal di Padang. Melalui pemancar yang dimiliki televisi
lokal di Padang-lah program A dapat ditayangkan. Otomatis televisi lokal di
Padang yang menayangkan program A ini mendapat bagian dari iklan yang dipasang
oleh pemasang iklan di program A.
Harapan Baru
Maka, ketika kini tersiar kabar Undang-Undang
Penyiaran akan direvisi, sebuah harapan patut dipunyai para pengelola televisi
lokal. Harapan itu adalah menegaskan secara detail konsep siaran berjaringan.
Misalnya, dalam UU Penyiaran yang baru, disebutkan secara tegas bahwa televisi
nasional harus bermitra dengan televisi lokal, untuk menyiarkan program
tayangannya. Jika tidak, pemerintah akan memberikan sanksi kepada televisi
nasional.
Sayangnya, dari bocoran draf revisi UU Penyiaran
yang dikeluarkan pemerintah pada 2011, aturan tentang siaran berjaringan ini
belum disebutkan secara detail. Tercatat hanya dua pasal yang mengatur siaran
berjaringan, yakni pasal 6 dan pasal 21. Padahal draf revisi UU Penyiaran
memuat 103 pasal, hampir dua kali lipat dari 68 pasal yang ada pada UU
Penyiaran Nomor 32/2002.
Memang, revisi UU Penyiaran masih belum
final. Komisi II DPR sudah membentuk panitia kerja untuk mendapatkan masukan
dari berbagai pihak. Tak ada salahnya para pengelola televisi lokal terus
mencermati diskusi revisi UU Penyiaran, sembari mengawal agar UU Penyiaran yang
baru nantinya mempunyai keberpihakan kepada televisi lokal.
Mencoba Mandiri
Kendati begitu, tentu tak bisa sepenuhnya
pengelola televisi lokal menggantungkan sepenuhnya harapan kepada revisi UU
Penyiaran. Sudah amat jelas bahwa akan begitu banyak pihak yang mencoba
memasukkan kepentingan mereka dalam UU Penyiaran yang baru. Artinya, pengelola
televisi lokal harus pula bersiap diri untuk kecewa jika pada akhirnya
kepentingan mereka tidak terakomodasi dalam UU Penyiaran yang baru.
Jika itu yang terjadi, lantas apakah televisi
lokal harus kembali deja vu dan mengalami mati suri seperti kondisi saat
ini? Jawaban paling ideal adalah “tidak!”. Jika tak bisa berjaringan dengan
televisi nasional yang ada di Jakarta, toh tak ada salahnya pengelola televisi
lokal mulai menggagas siaran berjaringan di antara sesama televisi lokal. Untuk
itu, Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) bisa berperan lebih banyak untuk
mewujudkan gagasan siaran berjaringan.
Selain itu, pengelola televisi lokal juga
perlu melihat peluang bisnis lain untuk menghidupi televisinya. Jika bergantung
pada pemasukan iklan berupa television commercial (TVC) semata, dapat
dipastikan televisi lokal tidak akan mampu menghidupi dirinya. Lebih dari 80
persen perputaran kue iklan saat ini masih beredar di Jakarta. Artinya, lebih
dari 100 stasiun televisi lokal akan bertarung melawan 10 stasiun televisi
nasional di Jakarta dalam memperebutkan kue iklan berupa TVC. Pertarungan ini
ibarat David versus Goliath. Amat tak seimbang, plus akan menghabiskan energi
yang besar.
Ketimbang televisi lokal harus bersaing
melawan televisi nasional, tak ada salahnya televisi lokal bersiasat dalam
mencari pemasukan. Yang paling gampang adalah menjalin kerja sama dengan
pemerintahan lokal setempat. Sosialisasi program pemerintahan daerah tentu
membutuhkan media. Peluang inilah yang bisa digarap oleh televisi lokal, tanpa
harus mengurangi sikap kritisnya terhadap kebijakan pemerintahan daerah.
Masih cukup banyak cara lain yang bisa
dilakukan televisi lokal agar bisa hidup. Tinggal sekarang bagaimana manajemen
televisi lokal menyusun secara matang konsep bisnis televisi yang akan
dijalankan. Tentunya pula sembari menunggu revisi UU Penyiaran memiliki
keberpihakan kepada televisi lokal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar