Jumat, 16 Maret 2012

Koruptor dan Keadilan Hukum


Koruptor dan Keadilan Hukum
Nur Kholis Anwar, DIREKTUR CENTER FOR STUDY OF ISLAMIC AND POLITIC (CSIP)
UIN SUNAN KALIJAGA, YOGYAKARTA
SUMBER : SINAR HARAPAN, 15 Maret 2012



Tekad bulat bangsa Indonesia untuk perang melawan korupsi kini tersandera oleh palu hakim.

Dengan terpaksa bangsa Indonesia harus menerima keputusan pahit Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang telah mengabulkan gugatan tujuh terpidana korupsi atas Surat Keputusan (SK) Menhukham soal penghentian sementara (moratorium) pemberian remisi alias potongan masa pemidanaan dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi.

Hakim PTUN memutuskan bahwa SK Menhukham itu sudah tidak berlaku sehingga koruptor tetap berhak mendapatkan remisi.

Sebagai konsekuensinya, tujuh terpidana korupsi tersebut, yaitu Ahmad Hafiz Zawawi, Bobby SH, Suhardiman, dan Hengky Baramuli (ketiganya terpidana kasus cek perjalanan), Hesti Andi tyahyanto serta Agus Widjayanto Legowo (keduanya terpidana kasus korupsi PLTU Sampit), dan Mulyono Subroto dan Ibrahim (terpidana kasus pengadaan alat puskesmas keliling di Natuna, Kepri), harus dibebaskan. PTUN mengantongi dua alasan atas SK yang diajukan oleh Menhukham tersebut.

Pertama, menurut Majelis, SK Menhukham No M.MH-07.PK.01.05.04 tanggal 16 November 2011 itu tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Alasanya, SK tersebut ditetapkan berdasarkan PP No 32 Tahun 1999 yang sudah tidak berlaku.

Kedua, SK tersebut bertentangan dengan asas-asas hukum pemerintahan karena tidak dilakukan berdasarkan prosedur serta ketentuan yang berlaku di bidang pemasyarakatan (Jawa Pos, 8/3).

Pembebasan bersyarat atas tujuh terpidana kasus korupsi tersebut menjadi catatan penting ikwal berjalannya hukum di Indonesia. Penerapan hukum selalu berhadapan dengan dua kendala utama, yaitu kekuasaan dan keadilan.

Baik tekanan kekuasaan maupun desakan keadilan dapat mengancam tercapainya kepastian hukum. Kedua hal itu terlihat jelas atas putusan PTUN yang membebaskan tujuh terpidana korupsi tersebut. Tampak ada proses ketimpangan hukum yang berimbas pada tarik ulur atas proses hukum tersebut.

Jika hal ini terus dibiarkan, hukum di Indonesia kelihatan seperti macan ompong. Kasus ketimpangan hukum seperti ini bukan kali pertamanya terjadi di Indonesia, namun sudah berlangsung sejak Orde Baru.

Terlebih jika proses hukum tersebut ditunggangi kekuasaan, hukum bisa saja berbalik arah. Ini karena kekuasaan sangat mudah untuk menggulingkan hukum dan sebaliknya, hukum tidak bisa berkutik ketika berhadapan dengan kekuasaan.

Dalam kebudayaan nondemokrasi, hukum diketahui kedudukannya, tetapi tidak diakui kedaulatannya: hukum tidak mengendalikan kekuasaan, tetapi kekuasanlah yang mengendalikan hukum dan menjadikannya sarana untuk mengesahkan tindak tanduk politiknya.

Para ahli hukum menyebut rule by law untuk membedakannya dari rule of low di mana kedaulatan hukum dijalankan. Indonesia yang berada dalam kebudayaan demokrasi seharusnya hukumlah yang mengendalikan kekuasaan, bukan sebaliknya.

Akan tetapi fakta di lapangan justru malah sebaliknya. Inilah yang kemudian memosisikan hukum tidak lebih sebagai kepanjangan tangan untuk melanggengkan kekuasaan.

Keadilan Hukum

Sering kali yang tampak dalam pelaksanaan hukum di Indonesia adalah munculnya ketidakadilan hukum. Hukum memihak kepada mereka yang bermodal besar, sedangkan pada rakyat kecil hukum selalu bersifat "angkuh".

Bagi masyarakat secara umum yang awam terhadap hukum, putusan PTNU tersebut tidaklah mencerminkan nilai keadilan hukum sama sekali. Rakyat menginginkan agar koruptor mendapatkan hukuman yang berat, bukan mendapatkan remisi maupun pembebasan bersyarat.

Ignas Kleden (2004) mempertanyakan tentang keadilan hukum yang bersifat substansial dan keadilan hukum yang bersifat prosedural. Menurutnya, keadilan tidak hanya dapat dicapai manakala kita menempuh beberapa prosedur baku yang menjamin bahwa wacana hukum yang dibangun tersebut adalah valid.

Jhon Rowls dalam A Theory Of Justise menunjukkan bahwa keadilan mempunyai suatu yang substansial yang diproporsikan dalam teori dan praktiknya. Kita tidak bisa menerima keadilan sebagai hasil wacana semata yang pada akhirnya akan membawa kita pada apa yang kita alami saat ini, yaitu keadilan disamakan dengan kepastian hukum belaka.

Sementara kepastian hukum disamakan dengan kesesuaian tingkah laku dengan pasal-pasal undang-undang. Legalisme seperti ini juga amat berbahaya karena keadilan menjadi suatu yang semata-mata formal, bentuk yang kehilangan isinya.

Keadilan substansial dalam jebakan esensialisme filosofis berhadapan dengan keadilan prosedural yang menyiapkan legalisme kuat tetapi membawa kita pada suatu kekosongan keadilan.

Perjuangan masyarakat untuk mendapatkan fair trial rupa-rupanya harus dipahami sebagai institusi publik untuk memberikan substansi pada keadilan yang kita cita-citakan. Sementara itu, kepastian hukum yang diperjuangkan oleh para ahli hukum adalah usaha untuk menghindari keadaan ketika keadilan ditentukan semata-mata oleh institusi publik.
Hukum semcam inilah yang menurut Satjipto Rahardjo tidak lebih sebagai hukum formal-positivistik yang saklek dan faktual. Sumber-sumber hukum dari aliran formal-ositivistik ini adalah kekuasaan atau negara.

Hukum bukan semata-mata hanya “rule and logic”, akan tetapi “structure and behavior”. Dalam artian, hukum tidak bisa hanya dipahami secara sempit, dalam perspektif aturan-aturan dan logika, akan tetapi melibatkan stuktur sosial dan prilaku.

Hukuman bagi koruptor tidak bisa disamakan dengan hukuman bagi pencuri ayam ataupun pencuri kambing. Sebagaimana harapan rakyat, hukuman koruptor harus lebih berat dan bahkan ada yang mengusulkan agar dihukum mati. Hal tersebut adalah sebagai upaya untuk menegakkan keadilan hukum sebagaimana tingkat kesalahannya.

Remisi ataupun pembebasan bersyarat bagi koruptor sebenarnya bukanlah langkah tepat untuk menegakkan hukum bagi koruptor. Sebaliknya, justru dengan adanya remisi dan pembebasan bersyarat tersebut, koruptor bisa bernapas panjang. Tidak menutup kemungkinan akan tumbuh koruptor-koruptor baru yang lebih massif di Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar