Koruptor
dan Keadilan Hukum
Nur
Kholis Anwar, DIREKTUR CENTER FOR STUDY OF ISLAMIC AND
POLITIC (CSIP)
UIN SUNAN KALIJAGA, YOGYAKARTA
SUMBER : SINAR HARAPAN, 15 Maret 2012
Tekad bulat bangsa Indonesia untuk perang
melawan korupsi kini tersandera oleh palu hakim.
Dengan terpaksa bangsa Indonesia harus
menerima keputusan pahit Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang telah
mengabulkan gugatan tujuh terpidana korupsi atas Surat Keputusan (SK) Menhukham
soal penghentian sementara (moratorium) pemberian remisi alias potongan masa
pemidanaan dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi.
Hakim PTUN memutuskan bahwa SK Menhukham itu
sudah tidak berlaku sehingga koruptor tetap berhak mendapatkan remisi.
Sebagai konsekuensinya, tujuh terpidana
korupsi tersebut, yaitu Ahmad Hafiz Zawawi, Bobby SH, Suhardiman, dan Hengky
Baramuli (ketiganya terpidana kasus cek perjalanan), Hesti Andi tyahyanto serta
Agus Widjayanto Legowo (keduanya terpidana kasus korupsi PLTU Sampit), dan
Mulyono Subroto dan Ibrahim (terpidana kasus pengadaan alat puskesmas keliling
di Natuna, Kepri), harus dibebaskan. PTUN mengantongi dua alasan atas SK yang
diajukan oleh Menhukham tersebut.
Pertama, menurut Majelis, SK Menhukham No
M.MH-07.PK.01.05.04 tanggal 16 November 2011 itu tidak sesuai dengan prosedur
hukum yang berlaku. Alasanya, SK tersebut ditetapkan berdasarkan PP No 32 Tahun
1999 yang sudah tidak berlaku.
Kedua, SK tersebut bertentangan dengan
asas-asas hukum pemerintahan karena tidak dilakukan berdasarkan prosedur serta
ketentuan yang berlaku di bidang pemasyarakatan (Jawa Pos, 8/3).
Pembebasan bersyarat atas tujuh terpidana
kasus korupsi tersebut menjadi catatan penting ikwal berjalannya hukum di
Indonesia. Penerapan hukum selalu berhadapan dengan dua kendala utama, yaitu
kekuasaan dan keadilan.
Baik tekanan kekuasaan maupun desakan
keadilan dapat mengancam tercapainya kepastian hukum. Kedua hal itu terlihat
jelas atas putusan PTUN yang membebaskan tujuh terpidana korupsi tersebut.
Tampak ada proses ketimpangan hukum yang berimbas pada tarik ulur atas proses
hukum tersebut.
Jika hal ini terus dibiarkan, hukum di
Indonesia kelihatan seperti macan ompong. Kasus ketimpangan hukum seperti ini
bukan kali pertamanya terjadi di Indonesia, namun sudah berlangsung sejak Orde
Baru.
Terlebih jika proses hukum tersebut
ditunggangi kekuasaan, hukum bisa saja berbalik arah. Ini karena kekuasaan
sangat mudah untuk menggulingkan hukum dan sebaliknya, hukum tidak bisa
berkutik ketika berhadapan dengan kekuasaan.
Dalam kebudayaan nondemokrasi, hukum
diketahui kedudukannya, tetapi tidak diakui kedaulatannya: hukum tidak
mengendalikan kekuasaan, tetapi kekuasanlah yang mengendalikan hukum dan
menjadikannya sarana untuk mengesahkan tindak tanduk politiknya.
Para ahli hukum menyebut rule by law untuk
membedakannya dari rule of low di mana kedaulatan hukum dijalankan.
Indonesia yang berada dalam kebudayaan demokrasi seharusnya hukumlah yang
mengendalikan kekuasaan, bukan sebaliknya.
Akan tetapi fakta di lapangan justru malah
sebaliknya. Inilah yang kemudian memosisikan hukum tidak lebih sebagai
kepanjangan tangan untuk melanggengkan kekuasaan.
Keadilan Hukum
Sering kali yang tampak dalam pelaksanaan
hukum di Indonesia adalah munculnya ketidakadilan hukum. Hukum memihak kepada
mereka yang bermodal besar, sedangkan pada rakyat kecil hukum selalu bersifat
"angkuh".
Bagi masyarakat secara umum yang awam
terhadap hukum, putusan PTNU tersebut tidaklah mencerminkan nilai keadilan
hukum sama sekali. Rakyat menginginkan agar koruptor mendapatkan hukuman yang
berat, bukan mendapatkan remisi maupun pembebasan bersyarat.
Ignas Kleden (2004) mempertanyakan tentang
keadilan hukum yang bersifat substansial dan keadilan hukum yang bersifat
prosedural. Menurutnya, keadilan tidak hanya dapat dicapai manakala kita menempuh
beberapa prosedur baku yang menjamin bahwa wacana hukum yang dibangun tersebut
adalah valid.
Jhon Rowls dalam A Theory Of Justise
menunjukkan bahwa keadilan mempunyai suatu yang substansial yang diproporsikan
dalam teori dan praktiknya. Kita tidak bisa menerima keadilan sebagai hasil
wacana semata yang pada akhirnya akan membawa kita pada apa yang kita alami
saat ini, yaitu keadilan disamakan dengan kepastian hukum belaka.
Sementara kepastian hukum disamakan dengan
kesesuaian tingkah laku dengan pasal-pasal undang-undang. Legalisme seperti ini
juga amat berbahaya karena keadilan menjadi suatu yang semata-mata formal,
bentuk yang kehilangan isinya.
Keadilan substansial dalam jebakan
esensialisme filosofis berhadapan dengan keadilan prosedural yang menyiapkan
legalisme kuat tetapi membawa kita pada suatu kekosongan keadilan.
Perjuangan masyarakat untuk mendapatkan fair
trial rupa-rupanya harus dipahami sebagai institusi publik untuk memberikan
substansi pada keadilan yang kita cita-citakan. Sementara itu, kepastian hukum
yang diperjuangkan oleh para ahli hukum adalah usaha untuk menghindari keadaan
ketika keadilan ditentukan semata-mata oleh institusi publik.
Hukum semcam inilah yang menurut Satjipto
Rahardjo tidak lebih sebagai hukum formal-positivistik yang saklek dan faktual.
Sumber-sumber hukum dari aliran formal-ositivistik ini adalah kekuasaan atau
negara.
Hukum bukan semata-mata hanya “rule and logic”, akan tetapi “structure and behavior”. Dalam artian,
hukum tidak bisa hanya dipahami secara sempit, dalam perspektif aturan-aturan
dan logika, akan tetapi melibatkan stuktur sosial dan prilaku.
Hukuman bagi koruptor tidak bisa disamakan
dengan hukuman bagi pencuri ayam ataupun pencuri kambing. Sebagaimana harapan
rakyat, hukuman koruptor harus lebih berat dan bahkan ada yang mengusulkan agar
dihukum mati. Hal tersebut adalah sebagai upaya untuk menegakkan keadilan hukum
sebagaimana tingkat kesalahannya.
Remisi ataupun pembebasan bersyarat bagi
koruptor sebenarnya bukanlah langkah tepat untuk menegakkan hukum bagi
koruptor. Sebaliknya, justru dengan adanya remisi dan pembebasan bersyarat
tersebut, koruptor bisa bernapas panjang. Tidak menutup kemungkinan akan tumbuh
koruptor-koruptor baru yang lebih massif di Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar