Menyirami
Bibit Kebajikan
Gede
Prama,
PENULIS BUKU SIMFONI DALAM DIRI: MENGOLAH KEMARAHAN MENJADI KETEDUHAN ;
FASILITATOR MEDITASI DI BALI UTARA
SUMBER : KORAN TEMPO, 15 Maret 2012
Setelah dihukum beratnya koruptor oleh
pengadilan plus disitanya semua harta pribadi menjadi kekayaan negara, banyak
yang menyebut hal ini sebagai cahaya optimisme dalam pemberantasan korupsi.
Membuat jera koruptor tentu baik, membimbing orang jahat agar baik tentu tidak
keliru. Tapi sejarah panjang lembaga pemasyarakatan (LP), lengkap dengan
hukumannya yang kejam, sudah dicatat sejarah tidak berkontribusi signifikan
dalam menurunkan angka kejahatan. Masyarakat Barat berada jauh di depan dalam
hal ini. Hukumnya rapi, aparatnya relatif lebih bersih. Tapi belum pernah
terdengar angka kejahatan menurun signifikan. Akibatnya, muncul pertanyaan:
tepatkah pendekatan menghukum dalam mengurangi kejahatan?
Sejarah pengetahuan menyimpan banyak
pendekatan, sebagian bahkan saling bertentangan. Ia serupa dengan buku suci.
Semua buku suci menyimpan kontradiksi. Di satu bagian, buku suci memerintahkan:
"cepat minum gula, nanti mati". Di bagian lain, buku suci yang sama
berpesan: "jangan minum gula, nanti mati". Yang mengerti kesehatan
tahu, perintah pertama berlaku untuk mereka yang kadar gula dalam darahnya
masih jauh dari cukup. Perintah kedua untuk manusia sebaliknya. Tugas
berikutnya sederhana, apakah kita hidup dalam putaran waktu yang
"kebanyakan gula", atau sebaliknya "kekurangan gula"? Dari
sini dipetakan, apakah penjahat sebaiknya dihukum sekeras-kerasnya, atau
dididik agar menyirami bibit kebajikan dalam diri?
Saluran televisi National Geographic
pada 6 Maret 2012 secara indah menyiarkan temuan tentang warrior gene.
Persisnya, semacam gen dalam diri manusia yang membuat seseorang demikian
berenerginya, sehingga rawan bergabung dengan kelompok geng, bergerombol
melakukan kekerasan. Hasilnya mengejutkan, mereka dengan gen jenis ini, bila
diperlakukan dengan kekerasan, akan semakin keras. Kesimpulan ini akan semakin
jujur terlihat bila kita bertanya ulang, seberapa persen mantan penghuni LP
yang bisa dibikin baik setelah mendekam di sana bertahun-tahun? Seberapa banyak
yang balik lagi? Membaca pemberitaan media, sebagian penghuni LP tidak hanya
melanjutkan kejahatannya di sana, tapi juga malah bikin ricuh di LP. Bila
demikian keadaannya, melakukan kekerasan terhadap manusia yang punya gen keras
serupa dengan menyiramkan bensin ke api yang sedang terbakar. Jika terus
dilakukan, bukan tidak mungkin kita semua akan terbakar!
Ini membawa konsekuensi luas tidak saja dalam
mengelola LP, tapi juga bagaimana sebaiknya memperlakukan putra-putri kita di
rumah yang bermasalah, bagaimana sekolah sebaiknya "mengorangkan"
anak-anak nakal, bagaimana organisasi menyentuh hati pekerja yang suka melawan.
Belajar dari sejarah panjang di mana hukuman lebih dekat dengan menyiramkan
bensin pada api, mungkin bijaksana merenungkan menyirami bibit kebajikan dalam
diri manusia bermasalah.
Perhatikan nama-nama manusia di semua agama.
Tidak ada nama dengan konotasi buruk, seperti Injak, Pukul, Bunuh. Di samping
itu, semua bayi dibuat oleh sepasang suami-istri yang berpelukan penuh kasih
sayang, bukan pukul-pukulan. Semua ibu yang sedang hamil berbicara baik dengan
anaknya dalam kandungan. Digabung menjadi satu, semua manusia memiliki bibit
kebajikan dalam diri. Cuma, serupa dengan bibit pohon, bila tidak disirami,
suatu waktu akan mati. Untuk itulah, sangat penting menemukan sebanyak mungkin
cara untuk menyirami bibit kebajikan dalam diri. Merenung di atas sejarah panjang
kesembuhan kejiwaan, umumnya manusia di zaman ini hanya mau yang positif,
menendang yang negatif. Padahal bagian diri yang ditendang hanya hilang
sebentar, dan nanti muncul lagi. Dalam bahasa Freud, masuk ke alam bawah sadar.
Dalam terminologi Jung, ia akan menjadi bayangan yang mengikuti. Bila saatnya
tiba, yang ditendang tadi akan muncul lagi sebagai gangguan.
Itu sebabnya, Carl Jung--setelah diperkaya
filosofi Timur--kemudian belajar tidak serakah dengan hal positif, tidak marah
dengan yang negatif. Jung menyebut terapi sebagai the work of reconciliation
of opposites. Memadukan dualitas kemudian mengalami kesembuhan. Sebuah
pendekatan yang mirip meditasi. Urutan langkahnya sederhana: acceptance,
understanding, loving kindness, compassion. Menerima kekurangan sebaik kita
menerima kelebihan, itu langkah pertama. Meminjam penemuan seorang guru
meditasi: accepting without blaming is the true turning point of healing.
Menerima tanpa menyalahkan adalah titik balik kesembuhan. Krusial dalam hal
ini, bagaimana sebaiknya menerima manusia bermasalah sekaligus mengajak mereka
menerima kekurangan hidupnya. Cahaya penerimaan lebih mudah dihidupkan bila
dibangun di atas pengertian bahwa kejahatan tidak berdiri sendiri. Ada jejaring
rumit berupa peradaban yang semakin gelap, keteladanan buruk elite,
ketidakdewasaan orang tua, guru bermasalah, pemberitaan yang berisi terlalu
banyak keburukan, lembaga agama yang mengalami krisis karisma.
Begitu sampai di tahap ini, kemudian
kemarahan terhadap manusia bermasalah digantikan kerinduan untuk berbagi cinta
kasih. Terutama karena manusia yang tadinya kita benci ternyata hanya korban,
bukan aktor dari kerumitan kehidupan. Memarahi korban tidak hanya tak
menyembuhkan, tapi juga memperumit jejaring masalah yang sudah rumit. Korban-korban
ini sesungguhnya tidak membutuhkan kemarahan kita, mereka lebih membutuhkan
kasih sayang (compassion). Makanya, kepada setiap murid meditasi selalu
diberikan obat “sayangi, sayangi, sayangi”. Cara ini tidak hanya menyembuhkan
orang lain, tapi juga menyembuhkan diri ini.
Dari sini bukan berarti kita harus membongkar
jeruji besi LP, membebaskan anak-anak mengunjungi situs pornografi, membiarkan
koruptor melanjutkan kejahatannya. Sebaliknya, kita harus merenungkan
dalam-dalam bahwa manusia jahat tidak berdiri sendiri. Kemudian mengajak mereka
menoleh ke dalam, ke bibit kebajikan yang tersedia di dalam, menyiraminya
dengan penerimaan, pengertian, cinta, dan kasih sayang, adalah pekerjaan rumah
kita bersama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar