Belajar
dari China
Thee Kian Wie, STAF AHLI PUSAT PENELITIAN EKONOMI (P2E)
LEMBAGA
ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)
SUMBER : KOMPAS, 12 Maret 2012
Seperti diungkapkan dalam sebuah tulisan di
Kompas (3/3/2012), setelah absen lebih dari dua abad, China di era globalisasi
sekarang menjadi pusat aktivitas ekonomi dunia berkat pertumbuhan ekonomi yang
amat pesat.
China kini menjadi kekuatan ekonomi kedua
terbesar sesudah AS setelah pada 2010 melampaui Jepang yang sebelumnya
merupakan ekonomi kedua terbesar di dunia. Setelah Uni Soviet bubar 1991, AS
selama dasawarsa 1990-an sering membual dirinya adalah satu-satunya negara
adidaya (the sole superpower). Namun, dengan pertumbuhan ekonomi China yang
sangat tinggi sehingga menjadi ekonomi kedua terbesar dan dengan tentara
terbesar di dunia yang diperlengkapi persenjataan modern, AS kini jarang
menyebut dirinya ”satu-satunya negara adidaya”.
China telah mengalami pertumbuhan ekonomi
menakjubkan sejak Deng Xiaoping meluncurkan program reformasi ekonomi pada 1979
berupa perubahan dari ekonomi perencanaan (planned economy) menjadi ekonomi
pasar. Sejak itu, pertumbuhan ekonomi China berkisar 8-10 persen setahun selama
hampir 35 tahun yang berarti bahwa produk domestik bruto (PDB) China telah
berlipat ganda setiap dasawarsa.
Berkat program reformasi ini, China yang pada
1978 berpenduduk seperempat dari seluruh penduduk dunia tetapi hanya
menghasilkan 0,5 persen dari produk bruto dunia, pada 30 tahun kemudian
menghasilkan sekitar 7-10 persen dari produk bruto dunia.
Menurut Profesor Deepak Lal dari Universitas
California, Los Angeles, satu faktor penting mengapa pemimpin China berhasil
menempuh kebijakan reformasi ekonomi yang lebih konsisten dan
berkelanjutan—berbeda dengan elite politik India dan Indonesia—adalah karena
mereka telah sepenuhnya merangkul ideologi kapitalisme (kendati dalam pidato
baru-baru ini, Presiden China Hu Jintao menegaskan demokrasi Barat tak cocok
bagi China).
Berkat pertumbuhan ekonomi tinggi, angka
kemiskinan di China turun dari 60 persen (1978) menjadi 7 persen (2007). Hal
ini berarti sejak 1979, kesejahteraan ratusan juta penduduk China yang miskin
dapat ditingkatkan, suatu kinerja yang tiada taranya dalam sejarah ekonomi
dunia.
Kekuatan
Ekonomi China
Menurut perkiraan Profesor Chow, Guru Besar
Ilmu Ekonomi Universitas Princeton, AS, pada 2019, PDB China akan melampaui PDB
AS. Namun, karena penduduknya yang sangat besar—sekitar 1,3 miliar atau hampir
empat kali lipat penduduk AS yang sekitar 330 juta jiwa—tingkat hidup penduduk
China untuk waktu lama masih akan berada jauh di bawah tingkat hidup penduduk
AS, Uni Eropa, dan Jepang.
Namun, kekuatan ekonomi suatu negara lebih
tecermin pada PDB total yang meliputi pula jumlah ekspor dan impor, jumlah
investasi, dan jumlah bantuan luar negeri. Kekuatan ekonomi China tecermin dari
banjir ekspor barang-barang jadi China ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Berkat
ekspornya yang demikian besar melebihi impornya, China dapat mengakumulasi
devisa terbesar di dunia, lebih kurang 3,3 triliun dollar AS.
Sebagian besar cadangan devisa ini
diinvestasikan dalam surat utang (treasury notes) yang diterbitkan Pemerintah
AS untuk menutupi defisit anggarannya yang amat besar. Di sisi lain, Pemerintah
China juga bergantung pada Pemerintah AS karena investasinya dalam obligasi
Pemerintah AS meski investasi ini tak menghasilkan bunga tinggi.
Kekuatan ekonomi China juga tecermin dari
investasi yang besar dalam proyek berorientasi sumber daya alam (SDA) di
mancanegara, termasuk Indonesia, karena China perlu banyak SDA untuk
pertumbuhan ekonomi.
Empat
Masalah Besar
Sistem ekonomi China kini menghadapi empat
masalah besar, yaitu korupsi, ketimpangan dalam pembagian pendapatan dan
kemiskinan di daerah pedesaan, masalah pendidikan dan kesehatan, serta masalah
energi dan kerusakan lingkungan.
Korupsi memang telah menjadi lebih parah
seiring dengan pembangunan di China. Pimpinan Partai Komunis dan pemerintah
pusat China memang telah berusaha keras mengendalikan korupsi, termasuk dengan
menghukum mati pejabat pemerintah yang korup.
Namun, upaya ini kurang berhasil karena tidak
menanggulangi akar dari masalah ini, yaitu mengurangi secara berarti kekuasaan
ekonomi dari politik para pejabat pemerintah.
Selama 15 tahun terakhir, ketimpangan antara
golongan penduduk kaya di daerah perkotaan dan golongan penduduk miskin di
pedesaan terus melebar. Salah satu penyebabnya, pemerintah kurang melakukan
investasi dalam prasarana fisik di daerah pedesaan dibandingkan dengan di
perkotaan.
Hal sama terjadi untuk fasilitas kesehatan
dan pendidikan. Meski Pemerintah China telah memberlakukan pendidikan wajib
sembilan tahun, banyak anak China tak menikmati karena Pemerintah China kurang
mendukung kebijakan ini dengan bantuan finansial, dan lebih menyerahkan
pelaksanaannya kepada pemerintah lokal.
Aspek ketiga dan paling serius dari masalah
kemiskinan di China adalah perlakuan buruk yang dialami petani oleh pejabat
Partai Komunis di daerah pedesaan, misalnya pengambilalihan lahan petani tanpa
kompensasi yang wajar. Pemerintah pusat China tak dapat bertindak keras
terhadap pejabat lokal ini karena mereka dilindungi atasan di pusat.
Persoalan lain yang dihadapi China adalah
terkait lingkungan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), air dan udara di
China, terutama di daerah perkotaan, termasuk yang paling terpolusi di dunia.
Pemerintah China telah mengambil berbagai langkah untuk menanggulangi masalah
polusi ini. Akan tetapi, kebijakan ini kurang berhasil karena implementasinya
sering terhambat oleh pejabat-pejabat di tingkat lokal yang memberikan
prioritas pada pembangunan ekonomi di daerah mereka.
Perbandingan
dengan Indonesia
Indonesia dalam beberapa hal menghadapi
masalah yang sama seperti China. Pertama, korupsi yang parah menggerogoti
birokrasi pemerintah, DPR dan DPRD, dan lembaga penegakan hukum di Indonesia.
Berbeda dengan China, belum satu pun koruptor ditembak mati di Indonesia.
Terkait ketimpangan, meskipun angka
ketimpangan dalam pembagian pendapatan—sebagaimana tecermin pada rasio Gini
yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS)—memperlihatkan bahwa ketimpangan
tidak bertambah parah, angka rasio yang didasarkan pada Survei Sosial-Ekonomi
Nasional dan diperoleh dari angka-angka konsumsi rumah tangga ini kurang atau
tidak memperhitungkan angka-angka konsumsi dari rumah tangga yang berpendapatan
tinggi, yang memang sulit dicacah oleh petugas BPS. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar