Senin, 12 Maret 2012

Subsidi BBM dan Keadilan Sosial


Subsidi BBM dan Keadilan Sosial
Anas Urbaningrum, KETUA UMUM DPP PARTAI DEMOKRAT
Sumber : SINDO, 12 Maret 2012




Pemerintah berencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Keputusan ini mudah dilihat sebagai kebijakan yang tidak populis.Namun,jika kita dapat melihatnya dengan jernih, inilah pilihan realistis di tengah meroketnya harga minyak dunia.
Kebijakan itu harus diambil untuk menjaga kesehatan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), stabilitas perekonomian nasional, dan keberlangsungan program pembangunan.Untuk kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak ini, marilah kita kesampingkan kepentingan kelompok atau persaingan politik.

Semua pihak harus mengedepankan kepentingan nasional. Pada periode pertama pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga terpaksa menaikkan harga BBM akibat kenaikan harga minyak dunia.Namun kemudian, ketika situasi kondusif dan harga minyak dunia turun, Presiden SBY juga yang menurunkan harga BBM. Semua presiden Indonesia pernah menaikkan harga BBM, baru Presiden SBY yang pernah menurunkan harga BBM.

Esensi Keadilan

Suatu kebijakan publik pasti tidak bisa menyenangkan semua pihak. Apalagi, bagi pihak-pihak yang memang sejak awal tidak jernih melihat isu ini atau bersikap asal menentang kebijakan pemerintah. Membuat pilihan kebijakan merupakan tugas penting seorang pemimpin. Segala dilema dan kontroversi harus dilalui demi keyakinan mengenai apa yang terbaik bagi bangsa dan negara.

Kita percaya bahwa kenaikan harga BBM merupakan keputusan yang telah dipikirkan masak-masak oleh Presiden SBY dan jajaran pemerintahannya. Konsep dasar yang harus sama-sama dipahami adalah: harga BBM naik karena subsidi dikurangi. Subsidi harus dikurangi karena meroketnya harga minyak dunia yang membuat subsidi membengkak sehingga membebani anggaran. Subsidi yang membengkak menyempitkan ruang anggaran negara untuk membiayai program pembangunan yang lain.

Oleh karena itu, untuk menjaga kesehatan APBN, stabilitas perekonomian nasional dan keberlangsungan program pembangunan, harus dipilih alokasi anggaran yang cermat. Inilah titik awal apabila kita ingin membahas kebijakan harga BBM.Bukan soal populis atau tidak, atau siapa yang diuntungkan dari kebijakan ini, tapi tentang pilihan realistis yang harus diambil. Lagi-lagi ini soal pilihan, soal alokasi sumber daya APBN yang terbatas untuk membiayai berjalannya pembangunan nasional. Mengurangi subsidi BBM berarti meminta kepada rakyat untuk membayar harga BBM mendekati harga sebenarnya.

Dengan menyadari bahwa tidak semua rakyat mampu membeli harga BBM yang mendekati harga “riil” tersebut, dan untuk melindungi kelompok miskin yang terimbas oleh efek pengganda (multiplier) naiknya harga BBM, pemerintah wajib menjalankan sejumlah kebijakan afirmatif, baik berupa bantuan tunai maupun perlindungan kesejahteraan lainnya. Sementara, bagi yang mampu, dipersilakan membayar harga BBM mendekati harga “riil” itu, sehingga anggaran yang semula untuk subsidi BBM kepada mereka, dapat digunakan bagi program pembangunan yang lain.

Sederhana, jelas dan realistis, jika kita mau melihat masalah ini secara jujur dan melepaskan agenda politik sempit masing-masing. Rakyat miskin tidak boleh diperlakukan sama dengan orang kaya dalam suatu pertarungan laissez faire capitalism. Sebaliknya, orang miskin jangan sampai terampas haknya karena anggaran negara yang dinikmati orang kaya melalui subsidi BBM. Inilah esensi keadilan dalam kebijakan harga BBM yang harus ditempatkan sebagai perspektif dalam melihat masalah ini. Jika rakyat miskin diperlakukan sama dengan orang yang mampu dan berpunya, malah itu tidak adil.

Perlindungan

Pemerintah wajib melindungi rakyatnya dengan cara memilih kebijakan yang adil di tengah terbatasnya sumber daya, dalam hal ini anggaran negara. Jika BBM dinaikkan, harus ada kebijakan afirmatif untuk melindungi rakyat miskin, baik melalui bantuan tunai, bantuan bahan makanan, asuransi kesehatan, atau beasiswa. Presiden SBY telah memerintahkan sejumlah program bantuan untuk dijalankan. Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp150.000 selama sembilan bulan dengan sasaran 18,5 juta rumah tangga atau setara 74 juta jiwa.

Program bantuan beras untuk keluarga miskin (raskin) selama 13 bulan untuk 17,5 juta rumah tangga dan tambahan satu bulan untuk 18,5 juta rumah tangga sasaran. Ada juga bantuan transportasi untuk angkutan umum. Di bidang pendidikan, ada bantuan beasiswa tambahan untuk 14 juta siswa dan anggaran untuk bantuan siswa miskin ditingkatkan dari Rp 3,8 triliun menjadi Rp 9,1 triliun. Dari segi jumlah,jumlah penerima bantuan SD naik dari 3,5 juta menjadi 9,7 juta siswa, SMP naik dari 1,29 juta menjadi 2,6 juta siswa, SMA naik dari 505 ribu menjadi 694 ribu siswa, SMK dari 617 ribu menjadi 754 ribu siswa, dan mahasiswa naik dari 80 ribu menjadi 92 ribu mahasiswa.

Program tersebut juga menjadi garis perjuangan partaipartai pendukung pemerintah. Khusus di bidang pendidikan, siswa dan mahasiswa dari keluarga kurang mampu harus dibantu dan dijamin tidak terganggu studinya.Program-program itu masih bisa dilengkapi dengan pasar murah dan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan lainnya yang berasal dari inisiatif BUMN maupun swasta. Mungkin ada yang tidak setuju dengan program bantuan seperti itu.Mungkin ada juga yang menuduh itu sebagai “suap” untuk rakyat,semacam politik uang, atau memicu rakyat jadi pengemis.

Mari kita diskusikan dengan kepala dingin, bagaimana solusi dan program yang terbaik untuk melindungi rakyat miskin.Tidak perlu kita menghabiskan energi untuk debat semantik dan peristilahan. Yang paling penting adalah apakah program-program dimaksud bermanfaat atau tidak. Saya percaya program-program itu bermanfaat dan bisa menjadi jaring pengaman sosial serta memastikan keadilan sosial tetap terjaga. Setiap kebijakan publik,sesulit dan sepahit apa pun, tidak boleh diceraikan dari komitmen untuk membela dan melindungi saudara kita yang belum beruntung.

Kalau rakyat miskin tidak dibela dan dilindungi khusus lewat kebijakan Pemerintah, maka tak ada kekuatan yang mampu melindungi mereka.Saya yakin programprogram bantuan untuk rakyat akan direspons secara positif dan didukung oleh rakyat, baik kalangan berada maupun kalangan rakyat miskin sendiri. Yang aneh adalah yang tidak setuju dengan program bantuan untuk rakyat miskin itu. Kita sudah tidak butuh kritik tanpa solusi atau sikap asal oposisi atas setiap kebijakan pemerintah.

Sepahit-pahitnya kritik, sepanjang konstruktif, adalah vitamin yang dibutuhkan untuk memperbaiki keadaan. Tentu saja, pada saat yang sama, pemerintah harus terus meningkatkan efisiensi anggaran dengan cermat.Yang bukan prioritas bisa dialihkan untuk menambah anggaran untuk rakyat miskin. Siapa tahu harga minyak dunia kembali turun. Hanya Tuhan yang tahu. Kalau dunia kembali aman dan damai, mungkin harga minyak bisa turun lagi. Jika harga minyak dunia turun, ada dua skenario yang bisa dijalankan Presiden SBY.

Pertama, bisa saja harga BBM bisa kembali diturunkan seperti periode pertama Presiden SBY. Atau, kedua, jika harga BBM tidak diturunkan, alokasi anggarannya bisa untuk menambah dan memperluas program-program khusus bantuan untuk rakyat miskin.Yang terpenting,keadilan harus menjadi tolok ukur utama dalam kebijakan harga BBM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar