Rabu, 11 Januari 2012

Menakar Sunnah-Syiah


Menakar Sunnah-Syiah
Umar Shahab, KETUA DEWAN SYURA AHLULBAIT INDONESIA (ABI),
 DOSEN ICAS-PARAMADINA, JAKARTA
Sumber : KORAN TEMPO, 11 Januari 2012


Tindak kekerasan atas nama agama kembali terjadi di Indonesia. Kali ini menimpa penganut paham Syiah dari Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Madura. Sedikitnya tiga rumah warga, sebuah musala dan ruang belajar santri di kompleks Pesantren Misbahulhuda di bawah asuhan ustad Tajul Muluk, pada Kamis, 29 Desember tahun lalu, dibakar massa. Bukan hanya itu, sekitar 300-an penganut Syiah dari Desa Karang Gayam yang relatif minus itu dipaksa meninggalkan desa mereka dan hidup dalam pengungsian yang serba terbatas. Mereka ditempatkan di GOR Sampang.

Kekerasan terhadap penganut paham Syiah ini bukan yang pertama kali. Pertengahan Februari 2011, sekelompok orang yang mengatasnamakan pengikut Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) menyerang Pesantren Al-Ma’had al-Islami (YAPI), Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Pada 2000, Pondok Pesantren Al-Hadi, yang berlokasi di Desa Wono Tunggal, Batang, Jawa Tengah, dirusak massa.

Tindakan kekerasan terhadap penganut suatu keyakinan yang berbeda, apa pun alasannya, adalah perbuatan melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia, apalagi dilakukan dengan mengatasnamakan agama karena sudah menyangkut SARA, yang ditentang habis oleh semua ajaran agama, lebih-lebih Islam, yang ajaran pokoknya adalah rahmatan lil alamin. Karena itu, tokoh-tokoh agama Islam dari berbagai organisasi Islam, seperti Muhammadiyah, NU, MUI, PKS, dan Menteri Agama, mengecam keras tindakan kekerasan terhadap penganut paham Syiah di Sampang ini.

Syiah bukan barang baru di Indonesia. Ia sudah ada sejak Islam masuk pertama kali ke Indonesia. Bahkan, menurut M. Yunus Jamil dan A. Hasymi, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra dalam tulisannya Syi’ah di Indonesia: Antara Mitos dan Realitas, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 4, Vol. VI, tahun 1995, bahwa Syiah pernah menjadi kekuatan politik yang tangguh di Nusantara. Kedua penulis itu mengatakan bahwa kekuatan politik Sunni dan Syiah terlibat dalam pergumulan dan pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan di Nusantara sejak awal-awal masa penyebaran Islam di kawasan ini. Menurut mereka, kerajaan Islam yang pertama berdiri di Nusantara adalah kerajaan Peureulak (Perlak), yang konon didirikan pada 225 H/845 M. Pendiri kerajaan ini adalah para pelaut-pedagang muslim asal Persia, Arab, dan Gujarat yang mula-mula datang untuk mengislamkan penduduk setempat. Belakangan, mereka mengangkat seorang Sayyid Maulana Abd a-Aziz Syah, keturunan Arab-Quraisy, yang menganut paham politik Syiah, sebagai sultan Perlak.

Secara kultural, tradisi keagamaan yang menyebar di masyarakat muslim Indonesia, khususnya di kalangan Nahdliyin (NU), jelas tidak dapat dilepaskan dari Syiah. Ajaran-ajaran seperti haul, tahlilan, maulidan, tawasulan, dan marhabanan tegas-tegas merepresentasikan tradisi Syiah, sehingga tidak mengherankan jika Gus Dur menyatakan bahwa NU adalah Syiah kultural.

Dalam hal itu, tradisi-tradisi yang sangat kental bernuansa Syiah masih banyak ditemukan di Indonesia, seperti upacara Tabot di Bengkulu atau Tabuik di Pariaman, Sumatera Barat, untuk memperingati gugurnya Sayidina Husain, putra Ali Ibn Abi Talib, cucu Nabi Muhammad saw, di Padang Karbala pada tahun 61 H. Demikian pula upacara bubur Syura, yang hingga kini terus masih dilakoni oleh banyak penduduk muslim di Nusantara ini, khususnya di wilayah pesisir, dan atau upacara Syuran di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Bahkan penamaan bulan Muharam sebagai bulan Syuro jelas-jelas merupakan wujud perkabungan atas kematian Sayidina Husain.

Tidak ada masalah sebetulnya dengan ajaran Syiah. Meskipun memiliki perbedaan dengan Ahlussunah atau Sunni, kedua-duanya sama-sama Islam, karena memang tidak ada satu pun ajaran dan atau keyakinan Syiah maupun Ahlussunah yang dapat dikategorikan sebagai keluar dari Islam. Itu sebabnya, umat Syiah mengakui saudaranya Sunni sebagai muslim. Dan sebaliknya, umat Sunni juga mengakui Syiah sebagai muslim. 

Bahkan kesepahaman ini mereka tuangkan pada Muktamar Islam Sedunia yang berlangsung di Amman, Oman, pada 27-29 Juli 2005, yang kemudian dikenal sebagai Risalah Amman. Risalah atau Resolusi Amman ini ditandatangani lebih dari 100 ulama besar dari dua kelompok dari berbagai negara, seperti Syekh DR Yusuf al-Qardhawi yang mewakili Qatar, Dr Abdul Aziz bin Utsman al-Tuwayjiri, Arab Saudi, Habib Umar Ibn Hafiz, Yaman, dan Muhammad Ali Taskhiri dari Iran. Dari Indonesia, yang hadir dan ikut menandatangani antara lain Ibu Tuty Alawiyah dan KH Hasyim Muzadi.

Di antara isi kesepahaman itu ialah: “Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlussunnah, yakni mazhab Syafii, Hanafi, Maliki, dan Hambali, dan atau salah satu dari dua mazhab Syiah, yaitu mazhab Ja’fari dan Zaydi, maka dia adalah muslim, yang tidak boleh dikafirkan dan atau dihalalkan darahnya, kehormatannya dan harta bendanya. Demikian juga, sebagaimana ditegaskan dalam fatwa Yang Mulia Syekh al-Azhar, tidak dibenarkan mengkafirkan penganut akidah Asy'ariyyah, pelaku tasawuf murni dan penganut paham Salafi sejati. Juga tidak dibenarkan mengkafirkan golongan Islam mana pun yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya, dan rukun iman, yang menghormati rukun Islam dan tidak mengingkari ajaran-ajaran Islam yang mutlak dan pasti (Risalah Amman, klausul pertama).

Tapi, memang, di antara kedua aliran besar Islam ini terdapat isu-isu sensitif yang dapat menyulut perselisihan di antara keduanya. Pada pihak Syiah, sikap kritis Syiah terhadap Sahabat Nabi, terutama terhadap khalifah Abubakar, Umar, dan Usman, yang dalam pandangan Syiah hanya sahabat biasa, seperti sahabat-sahabat Nabi lainnya, kerap membuat telinga awam Ahlussunnah panas. Isu inilah yang kemudian disulut oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk membenturkan Sunnah-Syiah, seperti yang terjadi di Sampang, Madura. Sementara itu di pihak Sunni, lebih tepatnya kaum Wahabi, sikap kurang hormat mereka kepada imam-imam Syiah yang berasal dari keluarga Nabi, Ahlulbait, yang diyakini oleh kaum Syiah sebagai orang-orang suci.

1 komentar:

  1. Website ini penuh ketidak jujuran. Lihatlan contoh pada paragraf terakhir:

    1. Pandangan Syiah terhadap Abu Bakar, Umar, dan Ustman bukanlah pandangan biasa, melainkan mengkafirkan, mencaci dan melaknat mereka dalam doa-doa Syiah. Makanya orang Islam tersinggung. Kalau cuma dianggap biasa, mana mungkin orang tersinggung?

    2. Mana buktinya umat Islam tidak menghormati Ahlul Bait? Justru Syiah yg mengajarkan bersikap kotor terhadap Ahlul Bait, seperti mengkafirkan dan menghujat Aisyah, istri nabi. Padahal dalam Quran, Allah saja memuliakan Aisyah, dan sahabat2 Nabi lainnya, seperti Abu Bakar, Umar dan Ustman, dll, termasuk Ali.

    Kalau Ali dan Husein tidak pernah mengkafirkan dan menghujat istri2 dan sahabat2 nabi (malah memuliakan), kenapa Syiah melakukannya?

    Perbedaan Syiah dan Islam tidak hanya mengenai Ahlul Bait, tetapi lebih mendasar dari itu, seperti mengubah syahadat, meragukan, mengubah, bahkan menolak Alquran, mengangkat imam2 mereka setinggi-tingginya sehingga pasti benar karena tahu tentang semua ilmu ghaib (ma'sum dan tidak bisa dibantah), mengubah tata cara ibadah Islam, seperti sholat cuma 3 waktu, menyiksa diri sampai berdarah2, bertaqiyya (berbohong) dalam syiar ajarannya, dan masih banyak lagi.

    Ahlulbait orang2 suci? Ini keyakinan dari mana? Yang suci itu hanya Allah. Nabi Muhammad saja saja, manusia paling mulia dan pusat dari AhlulBait sendiri, tidak lepas dari khilaf sehingga langsung ditegur Allah dalam Quran. Kok sampai2 Syiah menganggap ada orang suci? Dasarnya dari mana?

    Budi, saya tidak tau apakah anda benar2 tidak tau tentang ini atau bermaksud membodoh-bodohi pembaca dengan memposting berita seperti ini.

    Saya berhusnuzon anda khilaf dan semoga bersedia memperbaikinya.

    BalasHapus