Sandal
Jepit untuk Kita Semua
Seto Mulyadi, KETUA DEWAN PEMBINA KOMNAS PERLINDUNGAN ANAK
Sumber
: KOMPAS, 11 Januari 2012
Kami anak-anak, sayang kepadamu
Pak Polisi dan Bu Polisi Indonesia
Kami anak-anak, bangga kepadamu
Pak Polisi dan Bu Polisi Indonesia.
Ini adalah sebait lagu
anak-anak tentang polisi Indonesia yang saya buat sekitar 25 tahun lalu saat
bersama teman-teman Polisi Lalu Lintas Polda Metro Jaya mencanangkan gerakan
Polisi Sahabat Anak.
Selain dimaksudkan memperkenalkan disiplin
lalu lintas kepada anak-anak TK sejak usia dini, sekaligus juga untuk mengubah
paradigma anak-anak agar tidak takut lagi kepada polisi. Maklum, saat itu
sering terdengar, kalau ada anak dianggap nakal oleh ibunya selalu diancam
dengan kata-kata: ”Awas, kalau nakal, mama panggilkan polisi!”
Selain itu, tentu lagu ini juga dimaksudkan
untuk mengubah paradigma di kalangan anggota kepolisian sendiri agar lebih
ramah terhadap anak-anak. Tidak terkesan galak, garang, dan ditakuti. Waktu itu
kami bersama mencoba mengubah berbagai paradigma keliru tersebut.
Saya bersama para polisi (laki-laki dan
wanita) coba mendongeng di hadapan anak-anak TK, menyanyi bersama, dan bermain
gembira untuk memperkenalkan berbagai rambu lalu lintas yang memang perlu mulai
dikenalkan kepada anak-anak sejak dini. Hasilnya memang cukup memuaskan.
Anak-anak tak takut lagi kepada polisi. Berani bertanya-jawab. Polisi pun
tampak akrab dan bersahabat dengan anak-anak.
Itu terjadi dulu ketika kami bersama-sama
mengampanyekan program Polisi Sahabat Anak di Jakarta. Bagaimana sekarang, 25
tahun kemudian?
Kasus AAL yang dianiaya oleh polisi (dan
kemudian divonis bersalah oleh hakim) telah merusak persahabatan itu dan
mencoreng citra polisi sebagai sahabat anak. Gerakan 1.000 Sandal Jepit yang
merupakan spontanitas reaksi masyarakat yang kecewa atas perlakuan polisi terhadap
anak merupakan sindiran: masihkah anak-anak boleh bangga terhadap polisi
Indonesia? Apalagi kasus-kasus polisi yang bersikap kasar dan melakukan
kekerasan terhadap anak seolah tak habis menjadi pemberitaan media.
Memang tak semua polisi bersikap demikian.
Cukup banyak kita jumpai polisi yang hangat menjalin persahabatan dengan anak.
Secara pribadi, saya pun sering bekerja sama dengan polisi dalam perlindungan
anak. Namun, berbagai kasus kekerasan terhadap anak oleh oknum polisi
akhir-akhir ini memang cukup mencoreng citra polisi dan menimbulkan
keprihatinan kita.
Saat masyarakat berbondong-bondong menyambut
Gerakan 1.000 Sandal Jepit, yang hasilnya diserahkan kepada Kapolri melalui
kantor KPAI, menunjukkan ada sesuatu yang perlu kita koreksi bersama. Ada yang
salah dalam sistem pendidikan kepolisian kita sehingga aparat sering berlaku
keliru terhadap anak-anak. Ada paradigma keliru dalam cara menghadapi anak.
Filosofi
Sandal Jepit
Sandal jepit sering dianggap sebagai benda
yang berharga murah, kumal, berada di bawah, dan kurang dihargai karena selalu
dijepit dan diinjak. Seperti itu pulalah anak-anak yang sering tanpa sadar
diperlakukan oleh sebagian oknum polisi kita.
Bagi polisi, sebetulnya sudah ada pedoman
bahwa dalam menangani berbagai kasus anak yang berkonflik dengan hukum
sebaiknya dilakukan pendekatan kekeluargaan melalui mediasi. Namun, betapa
banyak kasus yang akhirnya menjerumuskan anak terpaksa harus mendekam dalam
tahanan atau penjara.
Pendidikan di Akademi Kepolisian perlu terus
disempurnakan untuk menciptakan polisi-polisi profesional yang memahami hak
asasi manusia, termasuk hak anak. Dengan begitu, semakin banyak pula mereka
yang nantinya akan terampil menjadi polisi sahabat anak, yang dicintai dan dibanggakan
oleh generasi anak-anak di Indonesia.
Kasus AAL di Palu hanyalah salah satu kasus
dari ribuan kasus serupa yang bagaikan fenomena gunung es. Tentu hal ini tak
bisa terus kita biarkan. Anak adalah peniru terbaik di dunia sehingga apabila
anak terus-menerus mendapatkan tindak kekerasan, akhirnya mereka pun akan
menjadi pelaku-pelaku kekerasan di kemudian hari.
Ribuan sandal jepit tidak hanya dialamatkan
untuk polisi, tetapi juga untuk jaksa dan hakim, yang tidak jarang
oknum-oknumnya mengajukan tuntutan ataupun memutuskan perkara tidak berdasarkan
hati nurani. Sebab, selain kepolisian, lembaga lain seperti Kejaksaan Agung,
Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,
juga menerima. Tentu ini dimaksudkan agar beliau-beliau semua yang ada di sana
juga mau mendengarkan suara anak.
Dan, akhirnya, filosofi sandal jepit juga
untuk mengingatkan kita semua agar anak tidak diperlakukan sebagai sandal jepit
yang selalu dijepit dan diinjak-injak. Dalam berbagai pertimbangan, seharusnya
kita senantiasa mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak-anak
di Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar