Investment
Grade, IPO, dan Obligasi BUMN
Sunarsip, CHIEF ECONOMIST
Sumber : REPUBLIKA, 16 Januari 2012
Indonesia
baru saja memperoleh “bonus“ I berupa kenaikan peringkat utang dari Fitch
Ratings. Sejak 15 Desember 2011, per ingkat utang (sovereign) Indonesia untuk
foreign currency long-term senior debt berada pada level BBB(atau level
investment grade).
Di tengah jatuhnya kepercayaan pasar terhadap Eropa dan Amerika Serikat (AS), kenaikan peringkat utang ini jelas memiliki arti penting bagi Indonesia. Semestinya, status investment grade ini dapat mempermudah dana asing (khususnya dana jangka panjang) masuk, baik melalui investasi langsung maupun pasar modal dengan membeli saham atau obligasi yang diterbitkan korporasi di Indonesia.
Kenaikan peringkat Indonesia ini seolah menemukan momentumnya, setidaknya bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pemerintah, seperti disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pembukaan Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 3 Januari, menjanjikan tiga hingga lima BUMN akan mencatatkan sahamnya di BEI melalui initial public offering (IPO). Menurut Menteri BUMN Dahlan Iskan, IPO atas BUMN diperkirakan dilaksanakan pada semester II 2012. Saat ini, terdapat satu BUMN yang hampir dipastikan akan IPO pada 2012, yaitu Semen Baturaja.
Saya memperkirakan, bila tidak ada kendala nonteknis, realisasi IPO BUMN akan dapat memenuhi target. Tidak hanya karena didukung oleh iklim pasar modal kita yang semakin kondusif seiring dengan status investment grade, kinerja BUMN secara keseluruhan juga semakin membaik. Kini, tinggal bagaimana pemerintah mampu mengelola isu-isu nonteknis (seperti politik) terkait dengan rencana IPO BUMN tersebut.
Sebab, belajar dari pengalaman IPO Krakatau Steel dan Garuda Indonesia tahun lalu, bila pemerintah tidak tepat dalam menyusun desain IPO BUMN, situasi ini akan dengan cepat menjadi isu politik yang pada akhirnya dapat mengganggu reputasi IPO BUMN.
Status investment grade juga memberikan momentum baik bagi BUMN yang akan menerbitkan obligasi. Perlu diketahui bahwa salah satu orientasi Kementerian BUMN saat ini adalah mendorong BUMN untuk lebih membuka diri (dalam arti lebih transparan), baik melalui IPO maupun penerbitan obligasi. IPO BUMN terbukti berkontribusi dalam mewujudkan transparansi yang lebih di BUMN. Namun demikian, perlu disadari bahwa tidak semua BUMN dapat didorong untuk melakukan IPO, antara lain, karena karakteristik BUMN tersebut. Menyadari hal itu, Kementerian BUMN akan mendorong BUMN yang belum IPO untuk menerbitkan obligasi.
Saya melihat bahwa langkah Kementerian BUMN yang akan mendorong penerbitan obligasi BUMN merupakan terobosan (break through) positif bagi BUMN menjadi lebih transparan di tengah sensitifnya isu privatisasi BUMN. Seperti kita keta hui, kebijakan privatisasi BUMN hingga saat ini masih menjadi isu yang selalu kontroversial.
Tak terkecuali, BUMN yang di privatisasi melalui IPO. Padahal, banyak yang menyakini IPO me ru pakan metode privatisasi BUMN yang lebih baik diban ding kan metode lainnya. Namun, tetap saja tidak mudah akan menerapkan IPO pada BUMN yang memiliki sensitivitas tinggi.
Sebagai contoh, bila kebijakan privatisasi diterapkan terhadap Pertamina, sekalipun dengan menggunakan metode IPO, saya memperkirakan langkah ini akan menjadi isu yang sangat sensitif bagi para pemangku kepentingan (stakeholders). Pertamina adalah BUMN sektor energi terbesar di Indonesia yang sahamnya dimiliki penuh oleh pemerintah. Pertamina juga telah menjadi simbol bagi Indonesia. Sehingga, memang tidak keliru bila Pertamina telah menjadi semacam miniaturnya Indonesia. Oleh karenanya, juga tidak
sepenuhnya keliru bila ada yang mempersepsikan kebijakan menjual saham Pertamina (sekalipun melalui IPO) itu sama dengan menjual negara.
Pada 2003, Rizal Ramli bersama Tim Indonesia Bang kit/TIB (termasuk saya di dalamnya) pernah melontarkan gagasan untuk meng-IPO-kan Pertamina. Waktu itu, Rizal Ramli dan TIB mengusulkan agar saham Pertamina dilepas sekitar 10 persen melalui IPO.
Gagasan dibuat dalam rangka memperkuat penggalangan sumber pembiayaan pemerintah agar Indonesia bisa secepatnya keluar dari program Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, seperti diprediksi sebelumnya, ide melepas sebagian saham negara di Pertamina ini memang bukan ide populis sehingga pasti akan menimbulkan kontroversi.
Padahal, sebagai perusahaan yang kini sedang melakukan transformasi menjadi national oil world class company, Pertamina dituntut memiliki dan menerapkan governance yang sesuai standar internasional. Dan biasanya, hal itu dapat dilakukan bila perusahaan tersebut menjadi perusahaan publik (go public). Pertanyaannya, bagaimana kita bisa “memaksa” Pertamina dan BUMN yang belum go public lainnya agar mengadopsi standar governance yang berlaku di pasar modal, bila tidak ada kewajiban bagi BUMN terkait agar memublikasi atas segala hal yang terkait dengan kebijakannya (corporate matters)?
Melalui penerbitan obligasi, BUMN nanti akan “dipaksa“ atau “terpaksa“ mengikuti protokol pasar modal (capital market protocol) selayaknya perusahaan yang telah IPO.
Meskipun
BUMN terkait belum merupakan perusahaan terbuka, namun manajemen BUMN selaku
emiten (perusahaan yang menerbitkan obligasi) tetap harus bertanggung jawab
kepada publik atas kinerja perusahaannya, sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan otoritas pasar modal (Bapepam).
Selain itu, penerapan good corporate governance (GCG), capital market protocol, dan asas pertanggungjawaban kepada publik dapat membantu BUMN dalam membentengi diri dari berbagai bentuk intervensi pihak luar yang tidak sejalan dengan kepentingan perusahaan.
Selain itu, penerapan good corporate governance (GCG), capital market protocol, dan asas pertanggungjawaban kepada publik dapat membantu BUMN dalam membentengi diri dari berbagai bentuk intervensi pihak luar yang tidak sejalan dengan kepentingan perusahaan.
Beberapa BUMN nonpublik yang telah menerbitkan obligasi (khususnya global bond) adalah PLN (tahun 2006) dan Pertamina (tahun 2011). Kini, BUMN yang telah menerbitkan obligasi dituntut memiliki sistem akuntabilitas dan pertanggungjawaban yang dipersyaratkan oleh otoritas pasar modal dari negara yang menjadi pasar penerbitan obligasi tersebut. Sebagai misal, se laku perusahaan yang telah menerbitkan obligasi global di Bursa Efek Singapura, Perta mina kini dituntut memenuhi (com ply) ketentuan pasar mo dal yang berlaku di Singapura.
Sejalan dengan meningkatnya kinerja perekonomian Indonesia serta menurunnya tingkat bunga acuan (BI Rate), pada 2008–2011 akumulasi emisi obligasi korporasi (termasuk BUMN) adalah sekitar Rp 118,7 triliun. Saat ini, emiten obligasi BUMN/BUMD/ afiliasi memiliki pangsa pasar (market share) sekitar 45 persen dari total saldo obligasi yang tercatat di BEI.
Pada 2012, BEI telah mencatat rencana penerbitan obli gasi korporasi sekitar Rp 30 triliun. Saya memperkirakan, seiring dengan masih akan berlanjutnya tren BI Rate yang rendah, status Indonesia sebagai investment grade, dan adanya gairah penerbitan obli gasi BUMN ini, realisasi penerbitan pada 2012 diperkirakan akan lebih tinggi.
Kesimpulannya, investment grade yang diperoleh Indonesia akan menjadi momentum bagi BUMN untuk menerbitkan saham (melalui IPO) dan obli gasi. Semestinya juga, dengan status Indonesia yang baru ini, kinerja BUMN kita ke depan juga meningkat dengan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar