Sabtu, 21 Januari 2012

Mengkritik Pemerintah Sebagai ‘Mode’


Mengkritik Pemerintah Sebagai ‘Mode’
Ulil Abshar-Abdalla, PEMERHATI DAN PRAKTISI POLITIK,
PENELITI DI FREEDOM INSTITUTE, JAKARTA
Sumber : JARINGNEWS, 20 Januari 2012


The incumbent is on the defensive end. Ini yang membedakan demokrasi dari sistem otoriter.
JAKARTA, Jaringnews.com - Mari kita ingat sejenak era politik yang pernah kita alami cukup lama sebelum datangnya reformasi: era Orde Baru. Saat itu, mengkritik pemerintah membutuhkan keberanian yang luar biasa. Hampir bisa dipastikan, setiap kritik yang ada akan dihadapi dengan 'tangan besi' oleh pemerintah. Para aktivis anti-pemerintah dipenjarakan, media diberedel, dan demo protes terhadap pemerintah merupakan pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang punya nyali besar.

Wartawan yang berani membangkang terhadap kebijakan rezim kontrol informasi akan langsung menghadapi resiko yang berat, mulai dipecat dari tempat bekerja, dicabut haknya untuk menjadi wartawan, atau dijebloskan ke penjara seperti pernah dialami oleh sejumlah aktivis AJI (Aliansi Jurnalis Independen).

Pada saat itu, mengkritik pemerintah adalah tindakan heroik yang memerlukan keberanian besar, karena resiko yang harus dipikul bisa menyangkut urusan hidup-mati. Bangunan perpolitikan saat itu memang ditegakkan atas suatu asumsi bahwa demi melancarkan agenda pembangunan, segala bentuk 'gangguan' harus disingkirkan. Kesejahteraan masyarakat harus dicapai dengan harga apapun, meski dengan cara membungkam hak-hak sipil rakyat untuk menyuarakan pandangan yang berbeda.

Jika mengkritik pemerintah mengandung risiko hidup-mati yang tidak ringan, mendukung pemerintah akan langsung mendapat 'ganjaran politik' yang amat menggiurkan. Kita masih ingat, salah satu strategi yang diterapkan pemerintah saat itu adalah melakukan kooptasi atas semua kekuatan dalam masyarakat, yang potensial menimbulkan gangguan terhadap program pemerintah.

Segala kekuatan 'oposan' harus dijinakkan dengan strategi kooptasi. Itulah corak negara korporatis: negara perusahaan yang hendak mengendalikan seluruh unsur dalam negara agar bisa disetir, persis seperti sebuah pabrik yang mau mengontrol seluruh proses produksi agar kualitas produk yang dihasilkan bisa terjaga.

Itulah zaman otoriter. Zaman itu, alhamdulillah, sudah berlalu. Kita tentu berharap ia tak terulang kembali, meskipun ada beberapa segi positif pada era tersebut, semisal soal pembangunan. Tetapi, secara keseluruhan, praktek bernegara pada era Orba itu tak bisa lagi diulang sekarang. Selain zaman sudah berubah, kita tak bisa lagi membayar harga mahal yang ditimbulkan oleh strategi pemerintah saat itu: menggenjot pembangunan ekonomi seraya menginjak kaki rakyat agar tak protes.

Setelah era reformasi, terjadi perubahan besar. Dulu mengkritik pemerintah akan mengundang risiko dan bahaya yang teramat besar. Hanya segelintir orang 'gila' yang berani melakukannya secara terbuka. Saat ini, ruang untuk mengkritik pemerintah terbuka begitu lebar. Salurannya juga beragam. Kritik bukan terbatas pada orang-orang gila yang mempunyai stok nyawa lebih. Siapa saja, saat ini, bisa melakukan kritik. Bahkan jika seseorang mau melakukan kritik terhadap pemerintah sehari semalam non-stop, misalnya melalui social media (contoh: Twitter dan Facebook), dia bisa melakukannya, tanpa ada yang mengganggu.

Jika pada era Orba dulu kritik pada pemerintah bisa mendatangkan risiko beredel, saat ini keadaannya lain. Media, baik cetak, elektronik, atau online, bisa melakukan kritik non-stop setiap hari, tanpa dihantui oleh mambang (specter) pemberedelan.

Yang menarik, kritik pada pemerintah saat ini justru menjadi semacam 'political fashion', mode politik. Sebagaimana layaknya sebuah mode, di sana ada semacam social pressure yang diam-diam memaksa seseorang untuk mengikutinya. Jika tak mau ikut, anda akan menjadi old-fashioned, ketinggalan zaman. Mengkritik pemerintah kadang dengan cepat melambungkan popularitas seseorang dengan cepat.

Sebaliknya, saat ini mendukung pemerintah dalam hal-hal di mana memang dia layak didukung (bukan dukungan membabi buta), kadang membuat seseorang tak populer. Berkebalikan dengan situasi pada zaman Orba dulu, mendukung pemerintah sekarang justru dianggap jalan menuju ketidakpopuleran. Jika pada zaman Orba dulu, mereka yang mengkritik pemerintah berada pada posisi defensif, karena ditekan dan dimusuhi oleh rezim, saat ini pihak yang berada pada posisi defensif atau bertahan justru mereka yang mendukung pemerintah.

Saat ini, tampaknya kita melihat gejala di mana suara 'kritis' terhadap pemerintah akan lebih cepat mendapatkan perhatian publik ketimbang suara yang 'afirmatif' atau mendukung.

Apakah hal ini merupakan abnormalitas dalam politik? Jawabannya: tidak. Gejala yang lazim kita jumpai dalam semua sistem demokratis adalah pemerintah cenderung berada pada posisi bertahan. The incumbent is on the defensive end. Ini yang membedakan demokrasi dari sistem otoriter. Dalam sistem yang terakhir ini, pemerintah berada pada posisi ofensif atau 'menyerang', sementara pihak-pihak yang melawan ada pada posisi defensif. Ini semua bagian dari proses check-and-balance yang wajar dalam sistem yang terbuka.

Tentu saja, jika kecenderungan semacam ini berlangsung secara kebablasan, kita harus melakukan kritik dan koreksi. Gejala di negeri kita saat ini sudah mirip-mirip seperti di Amerika Serikat. Di AS, ada polarisasi yang hebat antara Partai Demokrat yang berkuasa di sana dan Partai Republik.

Karena polarisasi yang cenderung ekstrem itu, antara lain karena adanya 'culture war' dan polarisasi ideologis yang tajam (misalnya dengan munculnya kelompok yang disebut Tea Party Movement), Partai Republik sebagai partai tak berkuasa cenderung menolak apa saja yang diusulkan oleh pemerintahan Obama.

Partai Republik oleh sejumlah pengamat politik di AS disebut sebagai Party of No, partai tidak. Prinsip yang ia pakai kira-kira: pokoknya tolak dulu segala hal yang dikatakan oleh Obama, urusan lainnya belakangan. Sebab bahasa politik yang negatif tampaknya, menurut sebagian kalangan di partai itu, adalah cara terbaik untuk meraih simpati publik dan membedakan diri dari partai penguasa.

Saat ini, kita juga melihat kecenderungan yang hampir-hampir serupa di sini. Ada beberapa kalangan yang sikapnya adalah menonjolkan apa saja yang menjadi kekurangan pemerintah, sementara beberapa perkembangan positif cenderung diremehkan atau malah diabaikan sama sekali.

Kecenderungan semacam ini, menurut saya, membuat demokrasi menjadi tak sehat. Jika demokrasi terperangkap dalam gejala party-of-no-isme ini, yang timbul bukanlah diskusi yang sehat untuk mencari solusi yang terbaik, tetapi permainan yang sekedar ditujukan untuk menjatuhkan lawan.

Kita tentu tak menghendaki demokrasi semacam ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar