BI,
Suku Bunga, dan Efisiensi Perbankan
Wijayanto, CO-FOUNDER DAN MANAGING DIRECTOR PARAMADINA PUBLIC POLICY INSTITUTE
Sumber
: SINDO, 4 Januari 2012
Di tengah krisis ekonomi global yang belum
menunjukkan tanda-tanda perbaikan, perekonomian Indonesia tetap tumbuh
meyakinkan dalam beberapa tahun terakhir.
Prestasi ini tak lepas dari peran industri
perbankan sebagai sumber pendanaan utama aktivitas perekonomian. Lima tahun
terakhir kredit perbankan naik rata-rata 23 persen per tahun. Pada saat
bersamaan nilai aset, rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (LDR), kredit
bermasalah (NPL), dan rasio kecukupan modal (CAR) juga menunjukkan tren
menggembirakan. Hal ini menggambarkan kesiapan perbankan untuk terus mendorong
pertumbuhan ekonomi pada tahun mendatang.
Kendati tumbuh cukup meyakinkan, mesin
ekonomi kita diyakini masih bekerja jauh di bawah potensi yang dimiliki.
Akibatnya, kita terancam gagal memanfaatkan krisis global sebagai momentum
mempersempit kesenjangan PDB per kapita dengan negara tetangga, seperti
Thailand, Malaysia, dan Singapura. Banyak faktor penyebab, dan tingginya suku
bunga kredit salah satu faktor penting, sehingga upaya menurunkan suku bunga
kredit merupakan wacana yang mendominasi diskusi para pengambil kebijakan.
Berbagai teori ekonomi dan pengalaman di
lapangan menunjukkan rendahnya suku bunga kredit stimulus yang andal bagi
peningkatan kegiatan ekonomi. Fakta bahwa suku bunga kredit dan net interest
margin (NIM) perbankan kita masih jauh lebih tinggi dari negara tetangga
merupakan alasan kuat untuk menurunkan suku bunga kredit.
Keterbatasan Otoritas BI
Isu utama yang kita hadapi, bagaimana
mendesain mekanisme penurunan suku bunga sehingga di satu sisi mampu memberikan
stimulus bagi perekonomian dan pada saat bersamaan tidak mengganggu harmonisasi
industri perbankan yang beberapa tahun terakhir terjaga dan mampu memperkuat
peran perbankan sebagai motor ekonomi.
BI aktor utama dalam upaya mengatur industri
perbankan meski dalam arsitektur perekonomian modern saat ini, otoritas
tersebut sebenarnya sangat terbatas. Ibarat pengendara sepeda, BI sedang
mengendarai sepeda dengan kedua tangan terlepas dari kemudi. Dalam upaya
menurunkan suku bunga kredit, BI punya berbagai alat, di antaranya giro wajib
minimum, BI Rate, dan CAR. Namun, alat itu lebih berfungsi sebagai pemberi
stimulus atau sinyal, sedangkan kebijakan terkait suku bunga kredit ada di
tangan manajemen bank di mana keputusan sangat dipengaruhi kondisi
masing-masing, keadaan pasar keuangan, dan struktur industri perbankan.
Wacana mengatur bunga kredit ataupun NIM,
apalagi jika dilakukan secara mendadak, berpotensi mengganggu industri
perbankan mengingat kondisi bank di Indonesia sangat beragam, baik nilai aset,
bisnis model, maupun struktur keuangan. Terlepas dari tingginya rata-rata NIM,
tak sedikit bank beroperasi dengan margin sangat tipis sehingga penurunan bunga
kredit akan berdampak negatif bagi kegiatan operasional mereka.
Ada beberapa penyebab tingginya suku bunga
kredit. Salah satunya informasi asimetris akibat rendahnya transparansi dan
kualitas data keuangan perusahaan di Indonesia. Apalagi menerapkan kesepakatan
bisnis bukanlah hal mudah akibat masih lemahnya kepastian hukum. Dorongan
meningkatkan LDR membuat bank dihadapkan pada pilihan memasuki area baru dan
berhubungan dengan klien di luar klien tradisional. Prinsip kehati-hatian yang
diterapkan secara tak langsung mendorong peningkatan alokasi untuk provisi.
Faktor yang lebih penting, struktur industri
keuangan kita yang tak sejalan dengan upaya mewujudkan kompetisi sehat yang
mengarah ke efisiensi. Perbankan, dengan aset sekitar Rp 3.400 triliun seolah
tampil sebagai pemeran utama, sedangkan pasar obligasi korporat dan saham
pemeran pengganti atau figuran. Bank pemain dominan tanpa pesaing setara
sehingga pasar kredit di Indonesia adalah pasar yang bias pada pemberi jasa
(seller market) di mana peningkatan efisiensi sering dilupakan.
Nilai pasar obligasi korporat di Indonesia
kini sekitar Rp 115 triliun, setara 1,8 persen PDB. Selain masih kecil, pasar
ini juga relatif stagnan beberapa tahun terakhir, padahal pasar obligasi
menjanjikan sumber pendanaan efisien bagi perusahaan. Singapura, Malaysia, dan
Thailand memiliki outstanding obligasi korporat 34 persen, 43 persen, dan 13
persen PDB. Ini mengindikasikan besarnya potensi pasar Indonesia belum
tergarap.
Pasar saham di Indonesia juga relatif
stagnan, terlihat dari tak banyaknya perusahaan yang melakukan penerbitan saham
perdana beberapa tahun terakhir. Kenaikan kapitalisasi pasar lebih diakibatkan
peningkatan harga saham. Kapitalisasi saham di BEI kini setara 49 persen PDB,
jauh di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand yang 171 persen, 106 persen,
dan 86 persen PDB. Ini menjelaskan potensi pasar saham sebagai sumber pendanaan
belum dimanfaatkan optimal.
Memanfaatkan
Momentum
Indonesia dipandang dunia sebagai mesin
penggerak ekonomi global di masa mendatang. Untuk mewujudkannya, perlu sektor
riil yang andal dan didukung sektor keuangan kuat dan efisien. Dalam konteks
ini, perbankan tak bisa bermain sendiri, harus bersinergi dengan dua komponen
lain: pasar obligasi dan saham.
Kerja sama BI dan institusi lain, termasuk
BEI, LPS, Dirjen Pajak, dan Bapepam-LK, sangat perlu karena upaya mewujudkan
peran sektor keuangan sebagai intermediari yang efisien tak terbatas pada ruang
lingkup BI semata. Perlu berbagai stimulus fiskal dan kebijakan lintas
institusi untuk mendorong pertumbuhan pasar obligasi dan saham. Kabar gembira
peningkatan peringkat kredit Indonesia harus dikapitalisasi dengan baik. Perlu
disiapkan berbagai alternatif instrumen investasi untuk menampung potensi
aliran dana masuk. Ketika industri keuangan sudah terbangun dengan baik dan efisien,
penurunan suku bunga kredit akan terjadi secara alami. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar