|
Pada
2013, pemerintah menerima sekitar 65.000 calon pegawai negeri sipil (CPNS)
untuk kementerian/lembaga dan pemerintahan daerah. Namun, untuk formasi saat
ini ada kebijakan khusus yang dikeluarkan pemerintah, di mana terdapat 325
formasi bagi pelamar disabilitas, 140 formasi atlet/pelatih berprestasi, dan
100 formasi untuk putra/putri Papua yang ditempatkan di kementerian/lembaga.
Kebijakan khusus ini patut mendapat perhatian karena ada kemajuan dalam memberikan peluang bagi kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan. Khusus mengenai formasi bagi putra/putri Papua semestinya mendapat perhatian sejak lama. Namun, setidaknya sudah dimulai daripada tidak dilakukan sama sekali.
Formasi 100 orang ini sesungguhnya merupakan langkah mundur karena pada zaman Soeharto (Orde Baru) yang dikenal represif dan otoriter, justru putra/putri asli Papua mendapat 2.000 formasi PNS. Semestinya, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dikenal demokratis mampu melebihi apa yang dilakukan pada masa Orba.
Kebijakan mengenai Papua ini sangat strategis sehingga orang Papua juga merasa memiliki sebagai bagian sah dari republik ini. Bahkan, penulis menganjurkan, agar anak Papua bukan hanya ditempatkan di pemerintah pusat, tapi juga diberikan kesempatan bertugas ke berbagai daerah di Indonesia. Jadi, diperlukan satu program pertukaran pegawai baik secara permanen maupun secara periodik.
Selama ini, yang terjadi justru Papua hanya menjadi sasaran penempatan pegawai dari daerah lain, tapi tidak ada kesempatan yang sama bagi pegawai dari Papua. Akibatnya, secara alamiah melahirkan pandangan kalau Papua hanya dijadikan objek dari berbagai kepentingan.
Berkaitan dengan kebijakan mengenai pegawai daerah, sesungguhnya Otonomi Khusus (Otsus) Papua memberikan kesempatan kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat untuk menetapkan sendiri kebijakan kepegawaian provinsi.
Pijakan Hukum
Ketentuan ini diatur dalam Bab IV Pasal 27 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, yang menyatakan (1) Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan kepegawaian provinsi dengan berpedoman pada norma, standar dan prosedur penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, dalam Ayat (2) dinyatakan, dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak terpenuhi, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dapat menetapkan kebijakan kepegawaian sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan daerah setempat. Ayat (3) pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud Ayat (20) diatur dengan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi).
Ketentuan Pasal 27 ini sesungguhnya memberikan kesempatan kepada pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat untuk mengambil kebijakan yang berkaitan dengan kepegawaian daerah. Bahkan Ayat (2) dan Ayat (3) memberikan kekuatan kepada kedua provinsi di Papua, untuk mengambil kebijakan khusus kepegawaian dengan “toleransi” tertentu. Namun, hal itu harus tetap diatur dengan Perdasi. Dengan ketentuan seperti itu, Provinsi Papua Barat sedang memfinalisasi satu Perdasi mengenai pengangkatan tenaga honorer yang berjumlah sekitar 1.283 orang dengan masa pengabdian antara 2-10 tahun.
Keberadaan tenaga honor ini, tidak lepas dari sejarah pembentukan Provinsi Papua Barat yang diwarnai pro dan kontra. Akibatnya, provinsi baru ini mengalami kesulitan pegawai karena ada keengganan daerah lain melepas pegawai ke Papua Barat. Untuk mengatasi kekurangan itu, terpaksa Pemda Papua Barat menyisiasati dengan merekrut tenaga honor.
Kini, ketika Provinsi Papua Barat mulai berkembang, tapi nasib tenaga honorer tetap tidak berubah karena terbentur berbagai ketentuan perundangan. Untuk itu, DPR Papua Barat setelah mendengarkan aspirasi para tenaga honor berusaha menggagas satu Perdasi untuk menyelesaikan persoalan tenaga kontrak yang berjumlah 1.283 orang.
Perdasi yang masih dalam taraf konsultasi ke pemerintah pusat ini mengatur pengangkatan tenaga honorer secara bertahap, sesuai kebutuhan dan kemampuan keuangan daerah. Tenaga honorer yang akan diangkat berusia maksimal 46 tahun dengan masa kerja 10 tahun lebih; usia 46 tahun dengan masa kerja 7-10 tahun; usia 40 tahun dengan masa kerja 5-7tahun; usia 35 tahun dengan masa kerja 2-5 tahun; usia 35 tahun dengan masa kerja 1-5 tahun. Namun, ada satu poin penting di mana pejabat pembina kepegawaian atau pejabat lainnya tidak bisa lagi mengangkat tenaga honorer.
Kebijakan khusus mengenai kepegawaian ini diakomodasi dalam UU Otsus sebagai bentuk keberpihakan terhadap Papua dan memberikan ruang bagi anak Papua untuk berkiprah dalam bidang pemerintahan. Jadi, Perdasi ini juga merupakan ujian tersendiri dalam upaya implementasi UU Otsus Papua.
Pemerintah pusat tidak perlu khawatir pengangkatan pegawai honorer ini akan membebani anggaran karena royalti dari Freeport, LNG Tangguh, dan sebagainya lebih dari cukup untuk membiayai birokrasi di daerah. Bahkan, mengangkat 5.000 orang honorer sekalipun, daerah masih mampu membiayai jika daerah mengelola royalti. Dalam hal ini, Menteri Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Badan Kepegawaian Negara cukup menangani sisi administratif dengan mencatatkan nomor induk pegawai bagi pegawai honorer.
Keinginan anak Papua untuk menjadi pegawai negeri di Tanah Papua semestinya menjadi sinyal positif bagi masa depan tegaknya negara Indonesia. Itu karena anak Papua masih memiliki harapan yang besar untuk hidup lebih dalam wilayah NKRI. Justru, kita patut khawatir ketika anak Papua sudah enggan untuk menjadi pegawai negeri sipil¸ karena hal itu bisa berarti hilangnya harapan dan mungkin berusaha mencari harapan lain. ●
Kebijakan khusus ini patut mendapat perhatian karena ada kemajuan dalam memberikan peluang bagi kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan. Khusus mengenai formasi bagi putra/putri Papua semestinya mendapat perhatian sejak lama. Namun, setidaknya sudah dimulai daripada tidak dilakukan sama sekali.
Formasi 100 orang ini sesungguhnya merupakan langkah mundur karena pada zaman Soeharto (Orde Baru) yang dikenal represif dan otoriter, justru putra/putri asli Papua mendapat 2.000 formasi PNS. Semestinya, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dikenal demokratis mampu melebihi apa yang dilakukan pada masa Orba.
Kebijakan mengenai Papua ini sangat strategis sehingga orang Papua juga merasa memiliki sebagai bagian sah dari republik ini. Bahkan, penulis menganjurkan, agar anak Papua bukan hanya ditempatkan di pemerintah pusat, tapi juga diberikan kesempatan bertugas ke berbagai daerah di Indonesia. Jadi, diperlukan satu program pertukaran pegawai baik secara permanen maupun secara periodik.
Selama ini, yang terjadi justru Papua hanya menjadi sasaran penempatan pegawai dari daerah lain, tapi tidak ada kesempatan yang sama bagi pegawai dari Papua. Akibatnya, secara alamiah melahirkan pandangan kalau Papua hanya dijadikan objek dari berbagai kepentingan.
Berkaitan dengan kebijakan mengenai pegawai daerah, sesungguhnya Otonomi Khusus (Otsus) Papua memberikan kesempatan kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat untuk menetapkan sendiri kebijakan kepegawaian provinsi.
Pijakan Hukum
Ketentuan ini diatur dalam Bab IV Pasal 27 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, yang menyatakan (1) Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan kepegawaian provinsi dengan berpedoman pada norma, standar dan prosedur penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, dalam Ayat (2) dinyatakan, dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak terpenuhi, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dapat menetapkan kebijakan kepegawaian sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan daerah setempat. Ayat (3) pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud Ayat (20) diatur dengan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi).
Ketentuan Pasal 27 ini sesungguhnya memberikan kesempatan kepada pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat untuk mengambil kebijakan yang berkaitan dengan kepegawaian daerah. Bahkan Ayat (2) dan Ayat (3) memberikan kekuatan kepada kedua provinsi di Papua, untuk mengambil kebijakan khusus kepegawaian dengan “toleransi” tertentu. Namun, hal itu harus tetap diatur dengan Perdasi. Dengan ketentuan seperti itu, Provinsi Papua Barat sedang memfinalisasi satu Perdasi mengenai pengangkatan tenaga honorer yang berjumlah sekitar 1.283 orang dengan masa pengabdian antara 2-10 tahun.
Keberadaan tenaga honor ini, tidak lepas dari sejarah pembentukan Provinsi Papua Barat yang diwarnai pro dan kontra. Akibatnya, provinsi baru ini mengalami kesulitan pegawai karena ada keengganan daerah lain melepas pegawai ke Papua Barat. Untuk mengatasi kekurangan itu, terpaksa Pemda Papua Barat menyisiasati dengan merekrut tenaga honor.
Kini, ketika Provinsi Papua Barat mulai berkembang, tapi nasib tenaga honorer tetap tidak berubah karena terbentur berbagai ketentuan perundangan. Untuk itu, DPR Papua Barat setelah mendengarkan aspirasi para tenaga honor berusaha menggagas satu Perdasi untuk menyelesaikan persoalan tenaga kontrak yang berjumlah 1.283 orang.
Perdasi yang masih dalam taraf konsultasi ke pemerintah pusat ini mengatur pengangkatan tenaga honorer secara bertahap, sesuai kebutuhan dan kemampuan keuangan daerah. Tenaga honorer yang akan diangkat berusia maksimal 46 tahun dengan masa kerja 10 tahun lebih; usia 46 tahun dengan masa kerja 7-10 tahun; usia 40 tahun dengan masa kerja 5-7tahun; usia 35 tahun dengan masa kerja 2-5 tahun; usia 35 tahun dengan masa kerja 1-5 tahun. Namun, ada satu poin penting di mana pejabat pembina kepegawaian atau pejabat lainnya tidak bisa lagi mengangkat tenaga honorer.
Kebijakan khusus mengenai kepegawaian ini diakomodasi dalam UU Otsus sebagai bentuk keberpihakan terhadap Papua dan memberikan ruang bagi anak Papua untuk berkiprah dalam bidang pemerintahan. Jadi, Perdasi ini juga merupakan ujian tersendiri dalam upaya implementasi UU Otsus Papua.
Pemerintah pusat tidak perlu khawatir pengangkatan pegawai honorer ini akan membebani anggaran karena royalti dari Freeport, LNG Tangguh, dan sebagainya lebih dari cukup untuk membiayai birokrasi di daerah. Bahkan, mengangkat 5.000 orang honorer sekalipun, daerah masih mampu membiayai jika daerah mengelola royalti. Dalam hal ini, Menteri Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Badan Kepegawaian Negara cukup menangani sisi administratif dengan mencatatkan nomor induk pegawai bagi pegawai honorer.
Keinginan anak Papua untuk menjadi pegawai negeri di Tanah Papua semestinya menjadi sinyal positif bagi masa depan tegaknya negara Indonesia. Itu karena anak Papua masih memiliki harapan yang besar untuk hidup lebih dalam wilayah NKRI. Justru, kita patut khawatir ketika anak Papua sudah enggan untuk menjadi pegawai negeri sipil¸ karena hal itu bisa berarti hilangnya harapan dan mungkin berusaha mencari harapan lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar