|
Istilah profiling beberapa waktu terakhir kerap kita dengar dalam upaya
penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi oleh KPK. Profiling membandingkan potensi
pendapatan seseorang dengan harta yang dimilikinya. Ketidaksesuaian antara
profil seorang tersangka korupsi dan harta atau aset yang dimiliki menjadi
salah satu kunci investigasi.
Profiling pertama kali diterapkan
di Indonesia pada Djoko Susilo untuk kasus korupsi simulator SIM di Korlantas
Polri. Majelis Hakim pada kasus itu berpendapat harta kekayaan milik terdakwa
pada 2003- 2010 yang berjumlah Rp 54,625 miliar tidak sesuai dengan penghasilan
terdakwa sebagai anggota Polri. Harta kekayaan terdakwa patut diduga hasil
tindak pidana korupsi.
Secara umum
majelis hakim Tipikor sependapat dengan dakwaan yang dikemukakan jaksa KPK.
Bahwa selama 2010-Maret 2012 Djoko menjabat sebagai Kapolres Bekasi, Kapolres
Metro Jakarta Utara, Dirlantas Polda Metro Jaya, Wadirlantas Babinkam Polri,
Dirlantas Babinkam Polri, dan Kakorlantas, dan Gubernur Akpol.
Djoko
seharusnya hanya memiliki pendapatan sebesar 235 juta plus penghasilan lain
dengan total Rp 1,2 miliar. Namun, selama periode tersebut, menurut jaksa KPK,
Djoko membeli aset seperti tanah, bangunan, SPBU, dan kendaraan dengan total Rp
63,7 miliar. Karena itu, jaksa menduga harta kekayaan Djoko ada yang berasal
dari tindak pidana korupsi.
Profiling serupa juga dilakukan
jaksa KPK terhadap terdakwa Lutfi Hasan Ishaq dalam berkas dakwaan kasus dugaan
korupsi kuota impor daging. Jaksa mendasarkan pada Laporan Harta Kekayaan
Pejabat Negara (LHKPN) tahun 2003 saat hendak mencalonkan diri sebagai anggota
DPR, LHI hanya memiliki kekayaan sebesar Rp 381,3 juta. Menurut jaksa KPK,
perolehan harta setelah itu tidak sesuai profil penghasilan terdakwa sebagai
anggota DPR.
Sebagian pihak
menilai ini adalah langkah progresif KPK dan putusan kasus Djoko Susilo dapat
menjadi yurisprudensi. Namun, perlu disadari, preseden ini membawa beberapa
konsekuensi yuridis. Pertama, konstruksi profiling sebenarnya adalah pembalikan beban pembuktian atau
yang dikenal sebagai Omkering van het
Bewijslastatau Reversal Burden of Proof.
Jaksa penuntut
umum yang sebenarnya memiliki kewajiban untuk melakukan pembuktian, membebankan
kewajiban kepada terdakwa untuk membuktikan asal usul harta yang dimilikinya.
Kedua, dengan
melakukan profiling jaksa tidak menguraikan unsur-unsur tindak pidana
yang dilakukan oleh terdakwa. Jaksa hanya menyajikan ketimpangan yang terjadi
antara harta terdakwa dan pendapatan yang sepatutnya diperoleh.
Membebankan
kepada terdakwa agar membuktikan bahwa hartanya bersumber dari perolehan yang
sah tidak berkesesuaian dengan Pasal 66 KUHAP. Ketentuan tersebut menyatakan
bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
Secara
filosofis profiling tidak berangkat dari asas presumption of innocent (praduga
tidak bersalah) yang selama ini digunakan dalam penegakan hukum. Konstruksi ini
secara filosofis lahir dari asas presumption
of guilty, di mana seseorang terlebih dahulu dianggap bersalah kecuali bisa
membuktikan sebaliknya.
Dalam UU
Tipikor konstruksi pembuktian oleh terdakwa merupakan hak dari terdakwa, bukan
kewajiban atas beban pembuktian pidana. Pasal 37 Ayat (1) UU Tipikor
menyatakan, ”Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi”. Oleh karena itu, pembuktian oleh terdakwa pada UU ini
adalah sebuah hak untuk menjawab dakwaan jaksa. Jaksa sebagai penuntut umum
berkewajiban membuktikan dakwaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 37A ayat (3)
UU Tipikor.
Konstruksi berpikir
Sebagai sebuah
konstruksi berpikir, profiling akan banyak membantu penyidik ataupun
jaksa penuntut umum dalam menjalankan tugas. Konstruksi logis ini akan mengukur
kesesuaian profil seseorang dengan keadaan faktualnya dan menuntun seorang
penyidik dan penuntut umum pada alur berpikir yang
benar. Profiling ini tidak hanya untuk mencari kesesuaian antara
harta yang dimiliki dan pendapatan yang patut diperoleh, tetapi juga untuk
mendalami suatu fakta atau keterlibatan seseorang dalam sebuah tindak pidana
korupsi.
Misalkan pada
kasus dugaan korupsi kuota daging impor, profiling dapat dilakukan
saat pemeriksaan saksi. Pada hasil penyadapan KPK terdapat beberapa nama yang
sempat disebut. Dengan profiling penyidik dapat mengukur kapasitas
setiap nama yang disebut dan menjadi petunjuk jaksa mengenai siapa yang mungkin
bermain dalam kasus ini. Tentunya seorang pengusaha lebih memiliki kapasitas
dan probabilitas untuk bermain dalam impor daging daripada seorang lulusan SMK.
Seharusnya
demikianlah profiling dimanfaatkan oleh penyidik ataupun penuntut
umum untuk menuntun pada sebuah konstruksi perkara yang logis.
Penggunaan profiling tidak
tepat bila ditujukan untuk membalikkan beban pembuktian karena jaksa penuntut
umum tidak bisa ”cuci tangan” dari kewajiban tersebut. KUHAP ataupun UU Tipikor
masih mewajibkan jaksa penuntut umum untuk membuktikan sebuah tindakan tindak
pidana. Apalagi prinsip hukum pidana di Indonesia masih menganut asas ”praduga
tidak bersalah” sebagaimana Penjelasan Umum KUHAP butir ke-3 huruf c serta
ketentuan Pasal 8 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.
Penegakan
hukum haruslah dilakukan dengan hukum acara yang berlaku agar memberikan
kepastian hukum karena Indonesia adalah recht staat sebagaimana Pasal
1 Ayat (3) UUD 1945. Di sisi lain, kepatuhan terhadap pelaksanaan hukum acara
merupakan implementasi dari equality
before the law yang merupakan amanat Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar