|
SEORANG teman
berkata, ''Buat apa menjadi lansia terlalu lama kalau kegunaannya hanya menjadi
orang yang sekadar dimintai doa restu oleh anak-anaknya?'' Rupanya, ungkapan
itu tidak sekadar bercanda. Serius dan ada hal yang menggelitik untuk
direnungkan.
Dunia memang kian ''menua''. Populasi usia tua atau lanjut usia (lansia) kian bertambah secara dramatis sebagai konsekuensi berkembangnya sistem pelayanan kesehatan dan standar hidup. Bayangkan, menurut catatan World Health Organization (WHO), saat ini populasi penduduk dunia yang berusia lebih dari 60 tahun sudah melebihi angka 800 juta (dari 7 miliar penduduk dunia) dan akan mencapai lebih dari 2 miliar (dari proyeksi 9,6 miliar penduduk dunia) sekitar 2050. Artinya, pada saat mendatang, jumlah populasi orang lanjut usia akan jauh melampaui populasi anak-anak. Masalah yang ditimbulkan pun kian runcing. Ada semacam pergerakan ke arah perubahan situasi budaya (the culture change) yang harus diantisipasi.
Karena itulah, tema besar Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang jatuh pada 10 Oktober 2013 hari ini adalah Kesehatan Mental dan Lanjut Usia. Usia yang rentan dirundung masalah kesehatan fisik dan psikososial. Mereka kerap disambangi penyakit kronis semacam jantung, kanker, stroke, alzheimer, atau diabetes yang sesungguhnya berkaitan erat dengan kesehatan mentalnya. Gangguan depresi dan kecemasan (anxiety) paling sering mendatangi mereka. Apalagi, ditambah masalah perubahan sosial dan finansial yang menghantui, tentu saja kualitas hidup mereka merosot drastis.
Tak pelak, akibat lanjutan depresi tentu saja -mengabaikan benar atau salah menurut kaidah nilai-nilai spiritual yang dianut- membuat kelompok usia itu sering berpikir tentang kematian yang tidak proporsional. Mereka ingin mati sebelum ajal kodrati datang. Perilaku bunuh diri (suicidal behavior) pada kelompok tersebut sangat tinggi jika dibanding usia lebih bawah, terutama pada laki-laki.
Isu kehampaan jiwa itu juga menjadi bahan diskusi kelompok profesi yang punya keprihatinan yang sama pada kongres dunia International Association for Suicide Prevention (IASP) di Oslo, Norwegia, akhir September lalu. Dalam pertemuan yang diikuti psikiater, pemerintah, media massa, serta pemangku kepentingan lain tersebut, saya merasakan kejadian bunuh diri menjadi keprihatinan internasional. Sebab, kejadiannya meningkat pesat di seluruh penjuru dunia dan di segala lapisan masyarakat, termasuk kelompok usia lanjut.
Bahkan, seorang ahli ilmu ekonomi politik kelas dunia yang juga mendalami kesehatan masyarakat dari Harvard dan Oxford University, David Stuckler, menggarisbawahi keprihatinan kontemporer. Kini negara-negara yang mengalami krisis ekonomi, kata Stuckler, tidak melakukan stimulus optimal, tapi justru melakukan pengencangan ikat pinggang (austerity) belanja negara. Menciutlah jumlah subsidi, tunjangan kesejahteraan sosial (social welfare), dan biaya kesehatan bagi masyarakat.
Halo, bagaimana dengan Indonesia yang rentan terlanda krisis ekonomi?
Kembali pada kelompok lanjut usia, bagaimana pemerintah dan komunitas berupaya mendukung mereka? Dari sisi kesehatan, sudah ada institusi yang mengurusi, meskipun cakupan kegiatan serta intensitas ketersinambungan programnya masih terbatas. Faktor psikososial juga masih kurang diberdayakan.
Kegiatan atau stimulus yang diberikan pada kelompok lansia masih minimalis, seakan hal itu hanya menjadi urusan keluarga. Dengan komposisi masyarakat yang cenderung kian menjadi sentris kepada keluarga nuklir (keluarga inti: ayah, ibu, dan anak) dibanding keluarga besar, lansia cenderung terisolasi dan kesepian. Di sinilah kelakar pahit teman saya tersebut menjadi kenyataan. Kelompok itu bisa cenderung merasa menjadi ''beban keluarga'', tak ada kegunaan lain selain ''dimintai doa restu'' atau menjadi ''dewan penasihat''. Atau, juga menjaga cucu bila masih kuat. Bila tidak menjalaninya dengan bahagia, ah, betapa kurang bermaknanya hidup menjadi lansia.
Salah satu hal yang harus dikaji ulang, ketika negara kita kena krisis, usia lebih dari 50 tahun cenderung menjadi kelompok yang dikorbankan saat ada pemutusan hubungan kerja (PHK) di suatu perusahaan atau institusi pemerintah dengan program pensiun dini. Padahal, di negara maju, usia pensiun justru diundurkan menjadi 65 tahun, terutama bagi kelompok eksekutif atau yang kompetensinya masih cemerlang dan sulit ditemukan yang sepadan.
Batas usia 56 tahun (ada juga yang 50 tahun) yang dipatok sebagai usia pensiun yang berlaku di negara kita sering memunculkan masalah kesehatan fisik, mental, dan sosial yang datang terlalu dini. Karena itulah, menghadapi usia pensiun yang menjadi keharusan, perlu persiapan bekal dan mental yang teguh. Patokan pensiun yang terlalu muda dan menimbulkan ''lansia dini'' itu perlu direnungkan pengambil kebijakan yang kadangkala tidak bijak(sana).
Apalagi, di sini sangat jarang aktivitas yang bersifat volunteer untuk memanfaatkan kemampuan lansia. Dapatkah kita menginisiasi suatu dukungan bagi mereka secara konkret sehingga memberikan nilai tambah bagi peradaban manusia dengan kehidupan yang bermakna? Menambah bobot kehidupan, bukan hanya tahun-tahun hampa berlalu. Add life, not years! ●
Dunia memang kian ''menua''. Populasi usia tua atau lanjut usia (lansia) kian bertambah secara dramatis sebagai konsekuensi berkembangnya sistem pelayanan kesehatan dan standar hidup. Bayangkan, menurut catatan World Health Organization (WHO), saat ini populasi penduduk dunia yang berusia lebih dari 60 tahun sudah melebihi angka 800 juta (dari 7 miliar penduduk dunia) dan akan mencapai lebih dari 2 miliar (dari proyeksi 9,6 miliar penduduk dunia) sekitar 2050. Artinya, pada saat mendatang, jumlah populasi orang lanjut usia akan jauh melampaui populasi anak-anak. Masalah yang ditimbulkan pun kian runcing. Ada semacam pergerakan ke arah perubahan situasi budaya (the culture change) yang harus diantisipasi.
Karena itulah, tema besar Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang jatuh pada 10 Oktober 2013 hari ini adalah Kesehatan Mental dan Lanjut Usia. Usia yang rentan dirundung masalah kesehatan fisik dan psikososial. Mereka kerap disambangi penyakit kronis semacam jantung, kanker, stroke, alzheimer, atau diabetes yang sesungguhnya berkaitan erat dengan kesehatan mentalnya. Gangguan depresi dan kecemasan (anxiety) paling sering mendatangi mereka. Apalagi, ditambah masalah perubahan sosial dan finansial yang menghantui, tentu saja kualitas hidup mereka merosot drastis.
Tak pelak, akibat lanjutan depresi tentu saja -mengabaikan benar atau salah menurut kaidah nilai-nilai spiritual yang dianut- membuat kelompok usia itu sering berpikir tentang kematian yang tidak proporsional. Mereka ingin mati sebelum ajal kodrati datang. Perilaku bunuh diri (suicidal behavior) pada kelompok tersebut sangat tinggi jika dibanding usia lebih bawah, terutama pada laki-laki.
Isu kehampaan jiwa itu juga menjadi bahan diskusi kelompok profesi yang punya keprihatinan yang sama pada kongres dunia International Association for Suicide Prevention (IASP) di Oslo, Norwegia, akhir September lalu. Dalam pertemuan yang diikuti psikiater, pemerintah, media massa, serta pemangku kepentingan lain tersebut, saya merasakan kejadian bunuh diri menjadi keprihatinan internasional. Sebab, kejadiannya meningkat pesat di seluruh penjuru dunia dan di segala lapisan masyarakat, termasuk kelompok usia lanjut.
Bahkan, seorang ahli ilmu ekonomi politik kelas dunia yang juga mendalami kesehatan masyarakat dari Harvard dan Oxford University, David Stuckler, menggarisbawahi keprihatinan kontemporer. Kini negara-negara yang mengalami krisis ekonomi, kata Stuckler, tidak melakukan stimulus optimal, tapi justru melakukan pengencangan ikat pinggang (austerity) belanja negara. Menciutlah jumlah subsidi, tunjangan kesejahteraan sosial (social welfare), dan biaya kesehatan bagi masyarakat.
Halo, bagaimana dengan Indonesia yang rentan terlanda krisis ekonomi?
Kembali pada kelompok lanjut usia, bagaimana pemerintah dan komunitas berupaya mendukung mereka? Dari sisi kesehatan, sudah ada institusi yang mengurusi, meskipun cakupan kegiatan serta intensitas ketersinambungan programnya masih terbatas. Faktor psikososial juga masih kurang diberdayakan.
Kegiatan atau stimulus yang diberikan pada kelompok lansia masih minimalis, seakan hal itu hanya menjadi urusan keluarga. Dengan komposisi masyarakat yang cenderung kian menjadi sentris kepada keluarga nuklir (keluarga inti: ayah, ibu, dan anak) dibanding keluarga besar, lansia cenderung terisolasi dan kesepian. Di sinilah kelakar pahit teman saya tersebut menjadi kenyataan. Kelompok itu bisa cenderung merasa menjadi ''beban keluarga'', tak ada kegunaan lain selain ''dimintai doa restu'' atau menjadi ''dewan penasihat''. Atau, juga menjaga cucu bila masih kuat. Bila tidak menjalaninya dengan bahagia, ah, betapa kurang bermaknanya hidup menjadi lansia.
Salah satu hal yang harus dikaji ulang, ketika negara kita kena krisis, usia lebih dari 50 tahun cenderung menjadi kelompok yang dikorbankan saat ada pemutusan hubungan kerja (PHK) di suatu perusahaan atau institusi pemerintah dengan program pensiun dini. Padahal, di negara maju, usia pensiun justru diundurkan menjadi 65 tahun, terutama bagi kelompok eksekutif atau yang kompetensinya masih cemerlang dan sulit ditemukan yang sepadan.
Batas usia 56 tahun (ada juga yang 50 tahun) yang dipatok sebagai usia pensiun yang berlaku di negara kita sering memunculkan masalah kesehatan fisik, mental, dan sosial yang datang terlalu dini. Karena itulah, menghadapi usia pensiun yang menjadi keharusan, perlu persiapan bekal dan mental yang teguh. Patokan pensiun yang terlalu muda dan menimbulkan ''lansia dini'' itu perlu direnungkan pengambil kebijakan yang kadangkala tidak bijak(sana).
Apalagi, di sini sangat jarang aktivitas yang bersifat volunteer untuk memanfaatkan kemampuan lansia. Dapatkah kita menginisiasi suatu dukungan bagi mereka secara konkret sehingga memberikan nilai tambah bagi peradaban manusia dengan kehidupan yang bermakna? Menambah bobot kehidupan, bukan hanya tahun-tahun hampa berlalu. Add life, not years! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar