|
ENAM puluh
tahun lalu, sebuah kritik akademis menggegerkan dunia politik Amerika. Kritik
itu dilontarkan pengurus American
Political Science Association, asosiasi dosen ilmu politik paling
terhormat.
Keluhannya:
platform atau program dua partai kami kurang ideologis. Kesimpulan APSA:
”Alternatif usul kebijakan dalam banyak hal dikaburkan dalam platform kedua partai,
dengan akibat sulit diketahui apa yang dikehendaki para pemilih dalam pemilihan
umum”.
Saya teringat
pada kecaman itu ketika Pemerintah AS ditutup, minggu lalu. Delapan ratus ribu
pegawai federal dicuti tanpa gaji berkat kegagalan Kongres meloloskan anggaran
belanja negara untuk tahun fiskal baru mulai 1 Oktober. Kemungkinan besar
krisis ini berlanjut sampai pertengahan Oktober, tatkala Kongres diharuskan
oleh UU untuk menaikkan batas utang negara. Tanpa kenaikan itu, pemerintah akan
pailit, dalam pengertian tidak mampu melunasi semua kewajiban finansialnya.
Mengingat pentingnya peran dollar AS di mancanegara, Indonesia pasti bakal kena
getahnya.
Penyebab utama
krisis ini adalah bahwa politik Amerika kini justru kelewat ideologis.
Persisnya, Partai Republik, salah satu dari dua partai besar kami, tercengkeram
oleh segelintir aktivis kanan. Kelompok ini, yang terdiri hanya sekitar 30
anggota House of Representatives,
Dewan Perwakilan, menjunjung kebebasan individu di atas semua nilai sosial lain
dan tidak bersedia berkompromi dengan kelompok lain. Sejak Pemilu 2012, Dewan
Perwakilan dikuasai Partai Republik (233 dari 435 kursi), sementara Demokrat,
partainya Presiden Obama, mayoritas di Senat.
Kegiatan para
aktivis kanan itu terpicu oleh lolosnya UU Pelayanan Kesehatan Terjangkau, pada
Maret 2010, ketika Dewan Perwakilan masih dikuasai Partai Demokrat. Meyakini
bahwa UU itu, yang mereka juluki Obamacare, ancaman besar terhadap kebebasan
individu, mereka langsung menggalang dukungan. Pada pemilu paruh waktu 2010,
yang hanya menyangkut Dewan Perwakilan dan sepertiga anggota Senat, mereka
menang di Dewan Perwakilan, tapi kalah di Senat.
Pola itu
diteruskan pada Pemilu 2012, ketika Obama dipilih kembali untuk masa jabatan
kedua. Kini Fraksi Partai Republik di Dewan memanfaatkan kekuatannya selaku
mayoritas di badan itu untuk menuntut agar pemerintah tidak membiayai Obamacare
atau setidaknya menunda pelaksanaannya selama satu tahun. Imbalannya,
persetujuan pada anggaran belanja negara dan kenaikan batas utang yang selama
ini mereka blokir. Semua orang tahu, seandainya Obama tunduk tahun ini, ia akan
menghadapi tuntutan yang sama setiap tahun ke depan.
Kenapa 30 orang
berhasil menutup pemerintah dan mengancam kebangkrutan negara? Kegigihan
berdasarkan keyakinan ideologis, yang memang unsur baru dalam politik di AS,
adalah faktor penting. Semua percaya bahwa para aktivis itu mean what they say, betul-betul bersedia
membiarkan kebangkrutan negara demi tercapainya cita-cita mereka. Selain itu,
lebih dari 100 anggota lain di Dewan dari Partai Republik takut kehilangan
kursi pada pemilu berikutnya kalau pencalonan mereka digugat oleh kelompok
paling kanan.
Dalam hal itu,
sejumlah LSM ekstrem kanan, seperti Club
for Growth dan Heritage Foundation,
terkenal mampu dan bersedia mengadakan kampanye negatif terhadap calon-calon
moderat dari Republik. John Boehner, Ketua Dewan Perwakilan dan pemimpin Fraksi
Republik, dianggap tokoh moderat yang enggan menyetujui strategi penutupan
pemerintah, apalagi pembangkrutan negara. Namun, Boehner sadar bahwa ia pasti
ditumbangkan dari kursi Ketua Dewan oleh fraksinya sendiri kalau ia tak tunduk
pada kemauan anggotanya yang paling kanan.
Dari awal masa
krisis ini, Presiden Obama bersitegas bahwa ia tidak bersedia diekstorsi
(begitu istilah dia) oleh Fraksi Republik. Dia mengaku belajar dari pengalaman
dua tahun lalu, ketika tawarannya untuk bernegosiasi ditolak oleh Ketua Boehner.
Lebih pokok, Obama menganggap kenaikan batas utang sebagai kewajiban Kongres
yang tak tertawarkan demi keselamatan bangsa. Dalam hal itu, ia didukung
sebagian besar pengamat dan pemain, termasuk kaum moderat di Partai Republik.
Bagi masyarakat
Indonesia, mungkin ada dua pelajaran yang berguna. Pertama, ada baiknya
bersikap eling lan waspada terhadap Pemerintah AS, mengingat
pengaruhnya terhadap ekonomi Indonesia. Kedua, ada baiknya memikirkan kembali
peran ideologi di negara modern, termasuk Indonesia.
Para pakar
dalam negeri, kiri maupun kanan, suka menyuruh partai-partai politik menjadi
lebih ideologis. Namun tujuan mulia, seperti kemakmuran yang merata, lebih
mungkin tercapai melalui penentuan kebijakan negara secara pragmatis. Pragmatis
dalam pengertian tidak berat sebelah kepada salah satu teori besar seperti
kapitalisme atau sosialisme. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar