Rabu, 09 Oktober 2013

Hukuman Gantung bagi Koruptor

Hukuman Gantung bagi Koruptor
Wijaya Kusuma Subroto  Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi 
Universitas Tarumanegara
KORAN SINDO, 09 Oktober 2013


Belakangan ini masalah korupsi kembali hangat dibicarakan. Sepertinya baik pejabat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif negeri ini tidak juga kapok melakukan korupsi. 

Bak halilintar di siang bolong, muncul berita besar dan menghebohkan Indonesia di saat terjadinya perhelatan APEC. Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Muchtar ditangkap beserta anggota DPR Fraksi Golkar Chairunissa yang juga menjabat sebagai bendahara MUI dan seorang politisi anggota DPR Komisi II. Dalam kasus itu juga ditangkap Bupati Gunung Mas Hambit Bintih dalam kasus suap sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas. 

Aksi itu kemudian diikuti penangkapan pengusaha Tubagus Chaery Wardana yang merupakan suami Wali Kota Tangerang dan seorang advokat Susi Tur Andayani yang juga tercatat sebagai calon legislatif Partai PDIP Daerah Pemilihan 3 Lampung. Kasus ini beserta sekian banyak rangkaian kasus lainnya seakan mengingatkan kita mengenai buruknya sistem tata negara kita. Sengkarut sistem pilkada yang ditawarkan pasca-Era Reformasi menjadikan masyarakat terkotak-kotak di dalam kelompok sosial yang saling berlomba untuk merebut kekuasaan dengan pelbagai cara. 

Kalau kita coba melihat dengan jernih, akan kita temukan bahwa kasus-kasus korupsi pada tingkatan penyelenggara negara ini terjadi karena tidak terlepas pada sistem pencalegan maupun sistem pemilihan langsung pilkada yang membutuhkan biaya fantastis. Besarnya biaya menuntut mereka untuk mengembalikan biaya politik yang telah mereka keluarkan plus keuntungan yang harus diraih dengan menduduki posisi legislatif maupun eksekutif. 

Lemahnya sistem hukum kita dan merasuknya bahaya laten korupsi sangat merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan bangsa. Korupsi adalah ”benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Mengapa para koruptor sepertinya tidak jera melakukan korupsi? Ini tentu karena ringannya sanksiyangdimuatdidalam Undang-Undang Tipikor No 20 Tahun 2001 di mana paling tinggi denda maksimal hanya Rp1 miliar. 

Padahal dana yang dicuri para koruptor lebih besar dari itu. Nilai denda yang begitu kecil tidak membuat jera atau takut para koruptor. Sebagai akibatnya, kaum koruptor dengan dana yang diperolehnya berani menyogok hakim yang juga korup untuk memuluskan langkahnya menjadi kaya raya. Politisi korup yang berkelebihan uang juga dengan mudah masuk ke dalam golongan elite yang berkuasa dan sangat dihormati sehingga mereka leluasa melakukan langkah lobi dan memengaruhi pengambil kebijakan untuk mempertahankan kekuasaannya tersebut. 

Karena itu, tidak heran bila Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas beberapa waktu lalu melansir kerugian negara karena korupsi sejak 2004 sampai 2011 mencapai Rp39,3 triliun. Padahal, Indonesia dapat membangun berbagai infrastruktur dan memperbaiki kualitas hidup orang Indonesia jika korupsi dapat ditekan.

Kerugian negara jauh lebih besar jika dimasukkan pula biaya antisipasi dan penanganan kasus korupsi, biaya implisit atau efek beban finansial negara akibat korupsi. Korupsi sangat sukar, bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak walaupun penyadapan dilakukan untuk mencari bukti pendukung tentang terjadi proses penyuapan atau korupsi. 

Realita menunjukkan bahwa reformasi hukum tentang sanksi yang berat bagi pelaku tindak pidana korupsi harus diupayakan agar timbul efek jera kepada para pelaku korupsi. Selain hukuman yang diperberat, perlu ada pembinaan sistem antikorupsi serta transparansi APBN. Misalnya perlu dipublikasikan secara luas, mulai dari jumlah APBN, alokasi penganggarannya, sampai penggunaan anggaran tersebut. 

Dengan demikian, penyalahgunaan anggaran dapat ditekan dan masyarakat dapat mengontrol penggunaan anggaran tersebut. Mengenai sanksi terhadap para koruptor, rasanya kita perlu mencontoh China yang sangat keras dalam menerapkan sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana korupsi. Hukuman mati diterapkan kepada pelaku dalam kasus hukuman mati. 

Kasus terakhir di Pengadilan China misalnya, Senin (8/7), menerapkan hukuman mati kepada mantan Menteri Perkeretaapian China Liu Zhijun karena terbukti melakukan korupsi. Kantor berita China, Xinhua, mengabarkan, Liu Zhijun mendapatkan ”hukuman mati dengan penangguhan selama dua tahun” karena terlibat suap dan penyalahgunaan wewenang. 

Sejalan dengan pembinaan sistem antikorupsi, Pemerintah China dalam sepuluh tahun terakhir ini memang telah memberikan sanksi bahkan mengeksekusi mati sejumlah pejabat setingkat menteri atau pejabat lebih tinggi lagi yang dinilai sudah keterlaluan dalam melakukan korupsi. Selain Liu Zhijun, sejumlah pejabat juga terlebih dahulu dihukum mulai dari pencopotan jabatan. Kalau China berani menerapkan hukuman mati pada koruptor, kenapa kita tidak berani menerapkannya? Tentunya wakil rakyat pada masa yang akan datang harus memikirkan strategi hukuman yang berat dan bisa memberikan efek jera kepada para pelaku korupsi. 

Di Indonesia nilai kejujuran memang masih sangat mahal, bahkan antara perbuatan dan ucapan seringkali tidak sesuai. Dalam kasus Akil Muchtar misalnya, pada Maret 2012 beliau pernah menyatakan wacana memperberat hukuman koruptor dengan memiskinkan dan memotong jari tangan, namun pada kenyataannya yang bersangkutan menjilat ludah sendiri dengan melakukan tindak pidana korupsi. Berbeda dengan budaya malu seperti di Jepang. 

Dalam kasus korupsi di mana Kejaksaan Metropolitan Tokyo menahan Gubernur Tokushima yang didakwa mendapat suap dari seorang konglomerat Jepang dan dalam kasus lain juga menahan Wali Kota Shimozuma Ibaraki. Dua pejabat itu secara sukarela langsung mengundurkan diri dari jabatannya sebagai gubernur dan wali kota. Tampaknya nilai kejujuran dan budaya malu masih sangat kuat melekat dalam kesadaran orang Jepang, termasuk kejujuran untuk mengakui kejahatannya sendiri. 

Berbeda dengan Indonesia, seperti Chairunissa misalnya, justru yang bersangkutan seorang yang terhormat mengemban jabatan selain anggota DPR juga sebagai bendahara MUI. Dia bahkan berpendidikan tinggi, lulusan S-3 dari salah satu universitas terkemuka. Kendati demikian, perbuatannya tidak mencerminkan norma keagamaan dan tidak menjunjung tinggi nilai kejujuran. Seharusnya saat ditetapkan sebagai tersangka yang bersangkutan suka rela mengundurkan diri dari seluruh jabatan yang diembannya. 

Menilik dari komparasi penerapan hukum baik di China dan di Jepang, kita perlu melakukan reformasi hukum secara total dengan cara menumbuhkan budaya malu dan mengedepankan nilai kejujuran di kalangan penyelenggara negara. Hukuman mati dan atau hukuman gantung bagi yang terbukti bersalah melakukan tindakan korupsi perlu diterapkan untuk menimbulkan efek jera para penyelenggara yang mencoba coba untuk melakukan tindak pidana korupsi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar