|
AWALNYA saya agak enggan
untuk menulis sebuah artikel tentang genosida 65, apalagi dikala banyak artikel
lain menulis hal serupa. Bukan apa-apa, namun seperti yang ditulis oleh kawan
Windu Jusuf dalam artikelnya Enam
Lima dan Kita, beberapa waktu yang
lalu, saya takut kembali terjebak dalam rutinitas ‘komodifikasi’ Peristiwa ’65
dan penekanan yang berlebihan narasi korban, melupakan fakta bahwa rakyat
jelata pernah mencoba menjadi subyek sejarah dalam politik Indonesia.
Namun, ada satu tautan
yang segera menarik perhatian saya dan membuat saya mengernyitkan dahi. Ya,
benar, tautan itu adalah artikel Indonesianis senior R. William Liddle Tantangan Negara Preman, atau yang lebih akrab dikenal sebagai Profesor Liddle
di Kompas, mengenai film The Act of Killing (TAoK)
dan Peristiwa ’65. Setelah membaca artikel tersebut, mengingat konsekuensi yang
bisa dihasilkan darinya dan pentingnya penerangan warisan Peristiwa ’65 bagi
kita, saya memutuskan untuk menulis artikel ini dan sampai pada kesimpulan
berikut: ‘buah pikiran dan sikap yang tercermin dalam tulisan Liddle
mengonfirmasi bahwa beliau adalah seorang apologis Orde Baru (OrBa).’[1]
Membongkar sesat pikir ala OrBa
Setidaknya ada empat topik
yang dapat kita bahas dan bongkar dari tulisan Liddle. Pertama,kejengkelan Liddle atas tafsir dan analisa
sejarah dalam TAoK. Kedua, anjuran
perlunya membaca sejarah ‘alternatif’ dibumbui dengan retorika ‘kejamnya
Komunis’ di berbagai belahan dunia. Ketiga,pembacaan
Liddle atas konteks sejarah seputar Peristiwa ’65 dan terakhir, kritik Liddle atas tafsir ‘negara
preman’ atas politik Indonesia.
Pertama, kita tentu
bertanya-tanya, mengapa Liddle ‘sebagai orang yang sudah lama mengikuti
perkembangan politik Indonesia’ katanya, ‘jengkel pada pembuatnya, baik
mengenai tafsiran sejarah maupun analisa kontemporernya?’ Oya, sebagai catatan tambahan, sebagai seorang
ilmuwan politik dan pengkaji studi Asia Tenggara, posisi teoretik Liddle
pada dasarnya adalah anti-Marxis.[2]
Pertanyaan di atas
berkaitan dan membawa kita ke pertanyaan kedua: tafsir sejarah macam apa yang
dibela Liddle? Liddle menulis mengenai ‘membaca buku-buku sejarah yang lebih
berimbang’ kemudian segera lompat ke lagu lama: kegelisahan elemen-elemen
masyarakat non-komunis, totalitarianisme rejim-rejim Komunis, Komunis sebagai
Atheisme dan seterusnya.
Dari pembacaan tersebut,
perlahan-lahan kita bisa meraba posisi teoretik, politik dan moral Liddle.
Izinkanlah saya mengeksplisitkan berbagai posisi yang sifatnya masih implisit
tersebut.
Pertama-tama, Liddle
memulai dengan mengritik TAoK yang ‘mengimplikasikan’ bahwa Demokrasi
Terpimpin-nya Bung Karno adalah pemerintahan yang ‘sah’ – menurut standarnya
Liddle, tentu saja.
Ada dua kesesatan berpikir yang dilakukan secara bersamaan
di sini: penarikan logika yang terburu-buru dan pengabaian atas konteks
sejarah. Apa pemerintahan yang sah menurut Liddle? Bagaimana dengan
‘pengambilan kekuasaan’ ala Suharto dan Orde Barunya dan cara-caranya untuk
berkuasa dan menindas – apakah itu pemerintahan yang ‘sah’? Tentu kita bisa
berdebat panjang mengenai warisan sejarah macam apa yang ditinggalkan Bung
Karno – namun ini berada di luar pembahasan kita kali ini. Namun, pembacaan
sejarah seperti ini abai dengan fakta sejarah bagaimana berbagai kekuatan
politik rakyat dan juga Bung Karno sendiri, berusaha memperjuangkan visi
politik yang emansipatoris di tengah-tengah imperialisme global – apa
jangan-jangan bagi Liddle sejarah selamanya adalah cerita mengenai orang-orang
besar, elit-elit yang ‘tercerahkan?’
Kemudian, Liddle dalam
pengamatannya atas politik Indonesia semasa studi lapangan untuk penelitian
doktoralnya berujar:
‘Kesan kuat saya:
masyarakat nonkomunis di Siantar dan Simalungun waktu itu merasa teramat
gelisah melihat kemajuan pesat PKI. Sebagai daerah perkebunan, Simalungun
merupakan lahan subur bagi mobilisasi PKI berdasarkan perbenturan kelas. Selain
itu, orang beragama meyakini, PKI adalah partai ateis. Orang terdidik yang
mengikuti perkembangan internasional percaya bahwa Uni Soviet dan RRC adalah
pemerintahan totaliter yang terbukti membunuh jutaan warganya sendiri setelah
partai komunis berkuasa di sana.’
Oke, kita tahu bahwa
berbagai rejim Stalinis di Barat dan di Timur membunuh dan menindas sejumlah
warganya atas nama Sosialisme dan kesetaraan. Hal tersebut tentunya adalah
tragedi kemanusiaan yang patut dikecam. Namun, pembacaan yang lebih cermat atas
berbagai fragmen sejarah menunjukkan bahwa Sosialisme dan ide-ide Kiri tidak
serta merta identik dengan gulag dan tiang
gantungan – bahkan, Stalinisme sesungguhnya adalah penyimpangan dan
pengkhianatan atas Marxisme. Bahkan, Marxisme dan Gerakan Kiri pernah dan masih
menjadi panduan teoretik dan praxis serta harapan bagi berbagai kaum yang lemah
dan tertindas untuk menuju pembebasannya – sebagaimana dapat kita lihat dalam
berbagai Gerakan Pembebasan Nasional, Chile di masa Allende, Gerakan Kiri Baru
di dekade 1960an di berbagai negeri Barat, berbagai Gerakan Rakyat di Amerika
Latin dan Asia Timur, dan masih banyak lagi – termasuk PKI dan berbagai
kelompok dari spektrum politik lain (Nasionalis dan Agama) di Indonesia.
Lagipula, menyebut berbagai tragedi kemanusiaan di bawah rejim-rejim Stalinis
dan totaliter lainnya namun abai terhadap genosida yang terjadi di depan mata
di tanah air sendiri, terdengar seperti pepatah lama: gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan
tampak.
Sehingga, saya jadi bertanya-tanya
apa yang dimaksud Liddle sebagai ‘sejarah yang lebih berimbang?’ Lalu, apa
kriteria yang dimaksud sebagai ‘sejarah yang lebih berimbang?’ Padahal, kita
tahu bahwa historiografi hegemonik seputar Peristiwa ’65 dulunya didominasi
oleh historiografi OrBa yang justru sangat tidak berimbang. Baru-baru ini saja
berbagai pembacaan sejarah yang benar-benar lebih berimbang, seperti TAoK,
bermunculan. Itupun penyebarannya masih terbatas meskipun pelan-pelan meluas.
Jadi kalau begitu, kembali saya menantang Profesor Liddle dengan sebuah
pertanyaan: apa yang dimaksud sebagai ‘sejarah yang lebih berimbang?’ Semoga
saja bukan sejarah G30S versi Orde Baru, yang selain dinodai oleh propaganda
militer dan OrBa, juga telah dimentahkan oleh berbagai hasil penelitian dari
para pengkaji Asia Tenggara mengenai G30S, mulai dari Cornell Paper hingga Dalih Pembunuhan
Massal. Lagipula, propaganda OrBa dalam film ‘Pengkhianatan G30S/PKI’ bukan
hanya menyesatkan namun juga lebay dari sisi
sinematografis: bayangkan pasukan Cakrabirawa yang menembaki berbagai gelas dan
barang-barang pecah belah lainnya secara inefisien dan berlebihan sebelum
mengeksekusi para jenderal.
Ini membawa kita ke
persoalan ketiga, yaitu pembacaan Liddle atas konteks sejarah seputar Peristiwa
’65. Dari berbagai pernyataan Liddle, kita dapat mengidentifikasi sejumlah
pembacaan yang meleset dari konteks dan berpotesi menyesatkan. Konteks kelas
yang dipahami Liddle, misalnya, tidak mengangkat persoalan bagaimana
eksploitasi kapitalis bekerja di banyak perkebunan dan sektor-sektor ekonomi
lain di Sumatera Utara dan berbagai tempat di Indonesia – sampai dengan
sekarang.[3] Kemudian, Liddle juga masih terjebak dalam pola pikir
dikotomis dan simplistis ala OrBa, yang memosisikan Komunis(me) sebagai musuh
bersama dan menyamakan Komunisme dengan Ateisme dan sejumlah ‘isme-isme’ yang
buruk lainnya seperti sinisme dan entah apa lagi, abai dengan kompleksitas
sejarah yang membentuk pola pikir dan pemahaman sejarah yang simplisistis
seperti itu, seakan-akan tidak pernah ada agenda-agenda anti-Kapitalis dan
anti-Kolonialis yang diperjuangkan oleh Sarekat Islam (SI), sosok seperti Haji
Misbach, aliansi Islam dan Komunisme yang muncul di berbagai pemberontakan
petani di masa kolonial seperti di Banten, gagasan aliansi antara Islam,
Komunisme dan Nasionalisme yang diusulkan oleh Tan Malaka dan Soekarno, atau
bagaimana tokoh-tokoh pergerakan nasional dari segala spektrum politik memperoleh
inspirasi ide-ide progresif dari Marxisme dan sejumlah pemikiran Kiri lainnya.
Terakhir, Liddle
mempersoalkan klaim TAoK yang dinilai terlalu bombastis. Untuk persoalan ini,
jujur, pemahaman saya agak terbatas terutama soal detail sejarah dan keanggotaan
berbagai ormas vigilantis yang ada di Nusantara. Yang ingin saya persoalkan
adalah implikasi pembahasan Liddle yang terpaku
pada debat angka dan detail historis dari
premanisme dan sejumlah gejala penyakit predatorisme politik lainnya terkesan mengecilkan dampak persoalan tersebut. Padahal
sejumlah karya ilmiah sudah membahas mengenai akutnya predatorisme
ekonomi-politik yang tertanam di sejarah kita. Sejarawan Hilmar Farid (2005)
misalnya membahas mengenai genosida 65 sebagai upaya ‘akumulasi primitif’ (primitive accumulation) untuk melebarkan jalan bagi
ekspansi kapitalisme OrBa, sosiolog Vedi R. Hadiz (2010) membahas mengenai
pembajakan proses desentralisasi oleh elit-elit predatoris lokal, kemudian
terdapat juga berbagai karya lainnya yang membahas mengenai berbagai
kelompok-kelompok vigilantis yang didukung oleh berbagai elit dan kepentingan
predatoris, dan masih banyak lagi – dan kerap kali berbagai fenomena tersebut
terletak dalam aliansi tidak suci antara negara, kapital dan sektarianisme.
Mungkin Pak Liddle perlu melepaskan kacamata pluralisnya yang terlampau utopis
untuk lebih memahami persoalan-persoalan tersebut secara lebih realistis.
Lalu, selanjutnya?
Sejarah bukanlah persoalan
yang mudah untuk ditafsirkan, apalagi jikalau kita melihat masa lalu dari
kacamata masa kini. Sejarah juga tidaklah monolitik – terdapat berbagai
kompleksitas dalam fragmen-fragmen sejarah. Namun, sejarah juga soal
kejujuran dan juga kemanusiaan. Hanya melalui pembacaan sejarah yang jujur –
yang mengakui dengan lantang fakta genosida 65 dan dampaknya hingga sekarang,
kita bisa merumuskan posisi teoretik dan praxis kita dalam melihat Peristiwa
’65.
Kita tahu ada kompleksitas
sejarah seputar ’65, terutama mengenai konflik antara berbagai kelompok Islam
santri dan PKI (disclaimer: saya juga seorang
Muslim yang lahir dan besar dalam keluarga santri). Namun alih-alih terjebak
dalam pembacaan sejarah ’65 ala OrBa – yang secara tidak langsung kembali
dipromosikan oleh Liddle dalam artikelnya, kita sesungguhnya bisa bergerakmelampaui pembacaan tersebut. Dua tawaran dari
kawan Windu, yaitu mengakui kontribusi elemen Kiri bangsa – termasuk PKI –
dalam memperjuangkan visi politik yang emansipatoris di Indonesia dan menjauhi
komodifikasi Peristiwa ’65 patut dipertimbangkan secara serius. Kemudian,
tawaran dari kawan Airlangga Pribadi dalam artikelnya Kita Adalah
Korban, yang meletakkan baik kelompok
Islam santri dan Kiri sebagai korban dari imperialisme dan kapitalisme
internasional dan menjauhi pandangan yang monolitik dan esensialis atas
kelompok Islam santri dalam persaingan politiknya vis-à-vis PKI, juga merupakan
terobosan atas pembacaan sejarah ’65. Tawaran-tawaran lain yang perlu kita
pikirkan secara serius, apalagi jikalau kita mengaku demokratis, adalah
rehabilitasi atas berbagai hak-hak korban ’65 sebagai warga negara – dan
bukannya sekedar formalitas rekonsiliasi dan permintaan maaf – dan pencabutan
TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang larangan Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Dibandingkan dengan
tawaran-tawaran yang saya sebut di atas, pembacaan sejarah ’65 ala Liddle bukan
hanya ketinggalan zaman, namun saya khawatir juga menyesatkan. Begitu
mengejutkan bahwa rupa-rupanya masih ada seorang ilmuwan, wabil khusus pengkaji Indonesia, yang secara tidak
langsung menyodorkan pembacaan ‘utilitarian’ ala OrBa, yang meskipun implisit,
dapat menjerumuskan kita ke sebuah konsekuensi logis berupa justifikasi atas
pembantaian massal atas kader-kader PKI, orang-orang yang dianggap terkait
dengan PKI dan ormas-ormasnya, serta penumpasan gerakan rakyat.
Oleh karena itu, saya rasa, tidaklah berlebihan jika kita
menyimpulkan bahwa posisi teoretik Liddle adalah seorang apologis OrBa. ●
Kepustakaan:
Farid, H., 2005.
Indonesia’s Original Sin: Mass Killings and Capitalist Expansion,
1965–66. Inter-Asia Cultural Studies, 6(1), pp. 3-16.
Hadiz, V. R.,
2010. Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia. Palo
Alto: Stanford University Press.
Winters, J. A.,
2011. Oligarchy. New York: Cambridge University Press.
[1] Pelabelan seperti in bukan yang
pertama kalinya, bukannya tidak berdasar dan bukan sekedar gosip dunia
akademik. Sebagai contoh misalnya, silahkan cek buku karya Jeffrey Winters
(2011, hlm. 140), Oligarchy, di mana Winters
membahas posisi teoretik Liddle yang berargumen bahwa terintegrasinya Indonesia
ke dalam kapitalisme global adalah berkat ‘manajemen politik yang handal dari
Presiden Suharto’ (‘the skillful political management of President
Suharto’) dan karenanya menganjurkan ‘apresiasi terhadap Suharto
sebagai seorang politisi’ (‘appreciation of Suharto the
politician’) dan mengeluh bahwa ‘pengkaji asing dan berbagai
pengamat politik Indonesia tidak terlalu tertarik untuk menghargai sang
presiden atas pencapaiannya’ (‘foreign specialists and other
observers of Indonesian politics have not been inclined to give the president
much credit for his achivements’).
[2] Untuk pembahasan yang jernih
mengenai persoalan ini, silahkan merujuk ke artikel kawan Airlangga Pribadi di
tautan ini http://indoprogress.com/menuju-demokrasi-bermutu-zonder-lamunan/ Berkaca dari posisi anti-Marxis
Liddle, mungkin juga kita bisa menarik kesimpulan bahwa implikasi praxis dari posisi teoretik Liddle yang anti-Marxis adalah anti-Gerakan
Rakyat.
[3] Lihat tulisan kawan Windu Jusuf
yang membahas mengenai hal ini dihttp://indoprogress.com/lkip/?p=55 dan film Globalization Tapes yang merupakan proyek awal
Joshua Oppenheimer sebelum mengerjakan proyek film TAoK di http://www.youtube.com/watch?v=Xo2OOIMkYOE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar