Kamis, 10 Oktober 2013

Enam Lima dan Distorsi Besar ala OrBa

Enam Lima dan Distorsi Besar ala OrBa
Iqra Anugrah  Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik di Northern Illinois University, AS
INDOPROGRESS, 09 Oktober 2013


AWALNYA saya agak enggan untuk menulis sebuah artikel tentang genosida 65, apalagi dikala banyak artikel lain menulis hal serupa. Bukan apa-apa, namun seperti yang ditulis oleh kawan Windu Jusuf dalam artikelnya Enam Lima dan Kita, beberapa waktu yang lalu, saya takut kembali terjebak dalam rutinitas ‘komodifikasi’ Peristiwa ’65 dan penekanan yang berlebihan narasi korban, melupakan fakta bahwa rakyat jelata pernah mencoba menjadi subyek sejarah dalam politik Indonesia.

Namun, ada satu tautan yang segera menarik perhatian saya dan membuat saya mengernyitkan dahi. Ya, benar, tautan itu adalah artikel Indonesianis senior R. William Liddle Tantangan Negara Preman, atau yang lebih akrab dikenal sebagai Profesor Liddle di Kompas, mengenai film The Act of Killing (TAoK) dan Peristiwa ’65. Setelah membaca artikel tersebut, mengingat konsekuensi yang bisa dihasilkan darinya dan pentingnya penerangan warisan Peristiwa ’65 bagi kita, saya memutuskan untuk menulis artikel ini dan sampai pada kesimpulan berikut: ‘buah pikiran dan sikap yang tercermin dalam tulisan Liddle mengonfirmasi bahwa beliau adalah seorang apologis Orde Baru (OrBa).’[1]

Membongkar sesat pikir ala OrBa

Setidaknya ada empat topik yang dapat kita bahas dan bongkar dari tulisan Liddle. Pertama,kejengkelan Liddle atas tafsir dan analisa sejarah dalam TAoK. Kedua, anjuran perlunya membaca sejarah ‘alternatif’ dibumbui dengan retorika ‘kejamnya Komunis’ di berbagai belahan dunia. Ketiga,pembacaan Liddle atas konteks sejarah seputar Peristiwa ’65 dan terakhir, kritik Liddle atas tafsir ‘negara preman’ atas politik Indonesia.

Pertama, kita tentu bertanya-tanya, mengapa Liddle ‘sebagai orang yang sudah lama mengikuti perkembangan politik Indonesia’ katanya, ‘jengkel pada pembuatnya, baik mengenai tafsiran sejarah maupun analisa kontemporernya?’ Oya, sebagai catatan tambahan, sebagai seorang ilmuwan politik dan  pengkaji studi Asia Tenggara, posisi teoretik Liddle pada dasarnya adalah anti-Marxis.[2]

Pertanyaan di atas berkaitan dan membawa kita ke pertanyaan kedua: tafsir sejarah macam apa yang dibela Liddle? Liddle menulis mengenai ‘membaca buku-buku sejarah yang lebih berimbang’ kemudian segera lompat ke lagu lama: kegelisahan elemen-elemen masyarakat non-komunis, totalitarianisme rejim-rejim Komunis, Komunis sebagai Atheisme dan seterusnya.

Dari pembacaan tersebut, perlahan-lahan kita bisa meraba posisi teoretik, politik dan moral Liddle. Izinkanlah saya mengeksplisitkan berbagai posisi yang sifatnya masih implisit tersebut.

Pertama-tama, Liddle memulai dengan mengritik TAoK yang ‘mengimplikasikan’ bahwa Demokrasi Terpimpin-nya Bung Karno adalah pemerintahan yang ‘sah’ – menurut standarnya Liddle, tentu saja. 

Ada dua kesesatan berpikir yang dilakukan secara bersamaan di sini: penarikan logika yang terburu-buru dan pengabaian atas konteks sejarah. Apa pemerintahan yang sah menurut Liddle? Bagaimana dengan ‘pengambilan kekuasaan’ ala Suharto dan Orde Barunya dan cara-caranya untuk berkuasa dan menindas – apakah itu pemerintahan yang ‘sah’? Tentu kita bisa berdebat panjang mengenai warisan sejarah macam apa yang ditinggalkan Bung Karno – namun ini berada di luar pembahasan kita kali ini. Namun, pembacaan sejarah seperti ini abai dengan fakta sejarah bagaimana berbagai kekuatan politik rakyat dan juga Bung Karno sendiri, berusaha memperjuangkan visi politik yang emansipatoris di tengah-tengah imperialisme global – apa jangan-jangan bagi Liddle sejarah selamanya adalah cerita mengenai orang-orang besar, elit-elit yang ‘tercerahkan?’

Kemudian, Liddle dalam pengamatannya atas politik Indonesia semasa studi lapangan untuk penelitian doktoralnya berujar:

‘Kesan kuat saya: masyarakat nonkomunis di Siantar dan Simalungun waktu itu merasa teramat gelisah melihat kemajuan pesat PKI. Sebagai daerah perkebunan, Simalungun merupakan lahan subur bagi mobilisasi PKI berdasarkan perbenturan kelas. Selain itu, orang beragama meyakini, PKI adalah partai ateis. Orang terdidik yang mengikuti perkembangan internasional percaya bahwa Uni Soviet dan RRC adalah pemerintahan totaliter yang terbukti membunuh jutaan warganya sendiri setelah partai komunis berkuasa di sana.’

Oke, kita tahu bahwa berbagai rejim Stalinis di Barat dan di Timur membunuh dan menindas sejumlah warganya atas nama Sosialisme dan kesetaraan. Hal tersebut tentunya adalah tragedi kemanusiaan yang patut dikecam. Namun, pembacaan yang lebih cermat atas berbagai fragmen sejarah menunjukkan bahwa Sosialisme dan ide-ide Kiri tidak serta merta identik dengan gulag dan tiang gantungan – bahkan, Stalinisme sesungguhnya adalah penyimpangan dan pengkhianatan atas Marxisme. Bahkan, Marxisme dan Gerakan Kiri pernah dan masih menjadi panduan teoretik dan praxis serta harapan bagi berbagai kaum yang lemah dan tertindas untuk menuju pembebasannya – sebagaimana dapat kita lihat dalam berbagai Gerakan Pembebasan Nasional, Chile di masa Allende, Gerakan Kiri Baru di dekade 1960an di berbagai negeri Barat, berbagai Gerakan Rakyat di Amerika Latin dan Asia Timur, dan masih banyak lagi – termasuk PKI dan berbagai kelompok dari spektrum politik lain (Nasionalis dan Agama) di Indonesia. 

Lagipula, menyebut berbagai tragedi kemanusiaan di bawah rejim-rejim Stalinis dan totaliter lainnya namun abai terhadap genosida yang terjadi di depan mata di tanah air sendiri, terdengar seperti pepatah lama: gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan tampak.

Sehingga, saya jadi bertanya-tanya apa yang dimaksud Liddle sebagai ‘sejarah yang lebih berimbang?’ Lalu, apa kriteria yang dimaksud sebagai ‘sejarah yang lebih berimbang?’ Padahal, kita tahu bahwa historiografi hegemonik seputar Peristiwa ’65 dulunya didominasi oleh historiografi OrBa yang justru sangat tidak berimbang. Baru-baru ini saja berbagai pembacaan sejarah yang benar-benar lebih berimbang, seperti TAoK, bermunculan. Itupun penyebarannya masih terbatas meskipun pelan-pelan meluas. Jadi kalau begitu, kembali saya menantang Profesor Liddle dengan sebuah pertanyaan: apa yang dimaksud sebagai ‘sejarah yang lebih berimbang?’ Semoga saja bukan sejarah G30S versi Orde Baru, yang selain dinodai oleh propaganda militer dan OrBa, juga telah dimentahkan oleh berbagai hasil penelitian dari para pengkaji Asia Tenggara mengenai G30S, mulai dari Cornell Paper hingga Dalih Pembunuhan Massal. Lagipula, propaganda OrBa dalam film ‘Pengkhianatan G30S/PKI’ bukan hanya menyesatkan namun juga lebay dari sisi sinematografis: bayangkan pasukan Cakrabirawa yang menembaki berbagai gelas dan barang-barang pecah belah lainnya secara inefisien dan berlebihan sebelum mengeksekusi para jenderal.

Ini membawa kita ke persoalan ketiga, yaitu pembacaan Liddle atas konteks sejarah seputar Peristiwa ’65. Dari berbagai pernyataan Liddle, kita dapat mengidentifikasi sejumlah pembacaan yang meleset dari konteks dan berpotesi menyesatkan. Konteks kelas yang dipahami Liddle, misalnya, tidak mengangkat persoalan bagaimana eksploitasi kapitalis bekerja di banyak perkebunan dan sektor-sektor ekonomi lain di Sumatera Utara dan berbagai tempat di Indonesia – sampai dengan sekarang.[3] Kemudian, Liddle juga masih terjebak dalam pola pikir dikotomis dan simplistis ala OrBa, yang memosisikan Komunis(me) sebagai musuh bersama dan menyamakan Komunisme dengan Ateisme dan sejumlah ‘isme-isme’ yang buruk lainnya seperti sinisme dan entah apa lagi, abai dengan kompleksitas sejarah yang membentuk pola pikir dan pemahaman sejarah yang simplisistis seperti itu, seakan-akan tidak pernah ada agenda-agenda anti-Kapitalis dan anti-Kolonialis yang diperjuangkan oleh Sarekat Islam (SI), sosok seperti Haji Misbach, aliansi Islam dan Komunisme yang muncul di berbagai pemberontakan petani di masa kolonial seperti di Banten, gagasan aliansi antara Islam, Komunisme dan Nasionalisme yang diusulkan oleh Tan Malaka dan Soekarno, atau bagaimana tokoh-tokoh pergerakan nasional dari segala spektrum politik memperoleh inspirasi ide-ide progresif dari Marxisme dan sejumlah pemikiran Kiri lainnya.

Terakhir, Liddle mempersoalkan klaim TAoK yang dinilai terlalu bombastis. Untuk persoalan ini, jujur, pemahaman saya agak terbatas terutama soal detail sejarah dan keanggotaan berbagai ormas vigilantis yang ada di Nusantara. Yang ingin saya persoalkan adalah implikasi pembahasan Liddle yang terpaku pada debat angka dan detail historis dari premanisme dan sejumlah gejala penyakit predatorisme politik lainnya terkesan mengecilkan dampak persoalan tersebut. Padahal sejumlah karya ilmiah sudah membahas mengenai akutnya predatorisme ekonomi-politik yang tertanam di sejarah kita. Sejarawan Hilmar Farid (2005) misalnya membahas mengenai genosida 65 sebagai upaya ‘akumulasi primitif’ (primitive accumulation) untuk melebarkan jalan bagi ekspansi kapitalisme OrBa, sosiolog Vedi R. Hadiz (2010) membahas mengenai pembajakan proses desentralisasi oleh elit-elit predatoris lokal, kemudian terdapat juga berbagai karya lainnya yang membahas mengenai berbagai kelompok-kelompok vigilantis yang didukung oleh berbagai elit dan kepentingan predatoris, dan masih banyak lagi – dan kerap kali berbagai fenomena tersebut terletak dalam aliansi tidak suci antara negara, kapital dan sektarianisme. Mungkin Pak Liddle perlu melepaskan kacamata pluralisnya yang terlampau utopis untuk lebih memahami persoalan-persoalan tersebut secara lebih realistis.

Lalu, selanjutnya?

Sejarah bukanlah persoalan yang mudah untuk ditafsirkan, apalagi jikalau kita melihat masa lalu dari kacamata masa kini. Sejarah juga tidaklah monolitik – terdapat berbagai kompleksitas dalam fragmen-fragmen sejarah.  Namun, sejarah juga soal kejujuran dan juga kemanusiaan. Hanya melalui pembacaan sejarah yang jujur – yang mengakui dengan lantang fakta genosida 65 dan dampaknya hingga sekarang, kita bisa merumuskan posisi teoretik dan praxis kita dalam melihat Peristiwa ’65.

Kita tahu ada kompleksitas sejarah seputar ’65, terutama mengenai konflik antara berbagai kelompok Islam santri dan PKI (disclaimer: saya juga seorang Muslim yang lahir dan besar dalam keluarga santri). Namun alih-alih terjebak dalam pembacaan sejarah ’65 ala OrBa – yang secara tidak langsung kembali dipromosikan oleh Liddle dalam artikelnya, kita sesungguhnya bisa bergerakmelampaui pembacaan tersebut. Dua tawaran dari kawan Windu, yaitu mengakui kontribusi elemen Kiri bangsa – termasuk PKI – dalam memperjuangkan visi politik yang emansipatoris di Indonesia dan menjauhi komodifikasi Peristiwa ’65 patut dipertimbangkan secara serius. Kemudian, tawaran dari kawan Airlangga Pribadi dalam artikelnya Kita Adalah Korban, yang meletakkan baik kelompok Islam santri dan Kiri sebagai korban dari imperialisme dan kapitalisme internasional dan menjauhi pandangan yang monolitik dan esensialis atas kelompok Islam santri dalam persaingan politiknya vis-à-vis PKI, juga merupakan terobosan atas pembacaan sejarah ’65. Tawaran-tawaran lain yang perlu kita pikirkan secara serius, apalagi jikalau kita mengaku demokratis, adalah rehabilitasi atas berbagai hak-hak korban ’65 sebagai warga negara – dan bukannya sekedar formalitas rekonsiliasi dan permintaan maaf – dan pencabutan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang larangan Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Dibandingkan dengan tawaran-tawaran yang saya sebut di atas, pembacaan sejarah ’65 ala Liddle bukan hanya ketinggalan zaman, namun saya khawatir juga menyesatkan. Begitu mengejutkan bahwa rupa-rupanya masih ada seorang ilmuwan, wabil khusus pengkaji Indonesia, yang secara tidak langsung menyodorkan pembacaan ‘utilitarian’ ala OrBa, yang meskipun implisit, dapat menjerumuskan kita ke sebuah konsekuensi logis berupa justifikasi atas pembantaian massal atas kader-kader PKI, orang-orang yang dianggap terkait dengan PKI dan ormas-ormasnya, serta penumpasan gerakan rakyat.
Oleh karena itu, saya rasa, tidaklah berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa posisi teoretik Liddle adalah seorang apologis OrBa.

Kepustakaan:

Farid, H., 2005. Indonesia’s Original Sin: Mass Killings and Capitalist Expansion, 1965–66. Inter-Asia Cultural Studies, 6(1), pp. 3-16.
Hadiz, V. R., 2010. Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia. Palo Alto: Stanford University Press.
Winters, J. A., 2011. Oligarchy. New York: Cambridge University Press.


[1] Pelabelan seperti in bukan yang pertama kalinya, bukannya tidak berdasar dan bukan sekedar gosip dunia akademik. Sebagai contoh misalnya, silahkan cek buku karya Jeffrey Winters (2011, hlm. 140), Oligarchy, di mana Winters membahas posisi teoretik Liddle yang berargumen bahwa terintegrasinya Indonesia ke dalam kapitalisme global adalah berkat ‘manajemen politik yang handal dari Presiden Suharto’ (‘the skillful political management of President Suharto’) dan karenanya menganjurkan ‘apresiasi terhadap Suharto sebagai seorang politisi’ (‘appreciation of Suharto the politician’) dan mengeluh bahwa ‘pengkaji asing dan berbagai pengamat politik Indonesia tidak terlalu tertarik untuk menghargai sang presiden atas pencapaiannya’ (‘foreign specialists and other observers of Indonesian politics have not been inclined to give the president much credit for his achivements’).
[2] Untuk pembahasan yang jernih mengenai persoalan ini, silahkan merujuk ke artikel kawan Airlangga Pribadi di tautan ini http://indoprogress.com/menuju-demokrasi-bermutu-zonder-lamunan/ Berkaca dari posisi anti-Marxis Liddle, mungkin juga kita bisa menarik kesimpulan bahwa implikasi praxis dari posisi teoretik Liddle yang anti-Marxis adalah anti-Gerakan Rakyat.
[3] Lihat tulisan kawan Windu Jusuf yang membahas mengenai hal ini dihttp://indoprogress.com/lkip/?p=55 dan film Globalization Tapes yang merupakan proyek awal Joshua Oppenheimer sebelum mengerjakan proyek film TAoK di http://www.youtube.com/watch?v=Xo2OOIMkYOE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar