Sabtu, 12 Oktober 2013

Atut dan Demokrasi Poliarki

Atut dan Demokrasi Poliarki
Fransisca Ayu Kumala  Aktivis dan Pemerhati Sosial
SINAR HARAPAN, 12 Oktober 2013


Pascapenangkapan TB Chaeri Wardana alias Wawan oleh KPK beberapa waktu lalu, Ratu Atut disebut-sebut berkaitan erat dengan upaya suap yang dilakukan Wawan terhadap Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar.

Ratu Atut merupakan politikus perempuan pertama di Indonesia yang menjadi Gubernur Provinsi Banten, yang pertama kali dilahirkan pascareformasi. Sosok perempuan cantik ini sejak awal tidak pernah membayangkan garis tangannya jatuh ke dunia politik. Apalagi ia hidup dan tumbuh di zaman yang belum terpisah dengan kodrati perempuan yang harus manut pada maskulinitas. Itu sebabnya, oleh adiknya, TB Chaeri Wardana, ia disuruh memikirkan ulang keputusannnya banting setir dari pengusaha ke dunia politik.

Apalagi kultur masyarakat di Banten masih kuat menjunjung tinggi feodalisme yang bersinggungan dengan tradisi patriarki. Jika tidak memiliki prinsip kuat, Atut bisa kecemplung dalam perangkap politik kotor yang mencederai kredibilitas nama keluarga besarnya. Ini ditambah lagi dengan resistensi ulama Banten yang tidak setuju perempuan menjadi imam, karena sama saja dengan merampas hak-hak pria sebagai pemimpin.

Namun, berbekal keinginan membuktikan perempuan bisa menjadi pemimpin, perempuan kelahiran Ciomas, Serang, Banten ini tetap mengadu peruntungan kekuasaan. Dengan menembus batas-batas nilai dan paham konvensional masyarakat, lulusan akademi perbankan dan mantan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Banten ini mampu mencapai impiannya. Citra kepamongan yang kuat dan bakat kepemimpinannya yang segurat dengan garis kelembutan dan tutur kata berwibawa, menjadi magnet meraih simpati publik Banten. Ia pun melenggang menjadi pemimpin Provinsi Banten, bahkan kini memasuki dua periode.

Kemampuannya membongkar tradisi sosial dan meyakinkan publik Banten lewat kiprahnya di dunia kekuasaan, juga tak bisa dilepaskan dari pengaruh nama besar Ayahnya, Alm Tubagus Chasan Sochib yang terkenal intelek berpengaruh maupun jawara lokal dan menguasai jaringan politik-birokrasi di Banten. Lahirnya Provinsi Banten juga tidak terlepas dari peran penting sosok ini. Kini, Ratu Atut dan pamor dinastinya dihimpit ujian. Sejumlah indikasi penyimpangan kekuasaan disebut-sebut mewarnai kepemimpinan Ratu Atut. Meski harus dibuktikan lagi, eksistensi politik Ratu Atut bisa-bisa gulung tikar. Artinya karier Ratu Atut bakal mengikuti preseden negatif karier perempuan lainnya yang sempat menanjaki dunia birokrasi-politik, tetapi dengan cepat terjungkal lemah dalam pelukan badai korupsi.

Dahulu, filsuf dan sosiolog Jean Baudrillard pernah mengatakan, dalam masyarakat yang sarat dengan ciri kapitalisme, kekuasaan dan modal/ materialism telah menjadi harga mati untuk menentukan status sosial seseorang dalam masyarakat. Tanpa menjadi homo economicus, seseorang akan “digugat” eksistensinya dan akan terkucil dari kehidupan sosial. Ketidakampuan seseorang memengaruhi keputusan hukum di meja pengadilan yang sudah telanjur dikeroyok para mafia berduit akan semakin menegasikan rakyat jelata dari keadilan. Negara tanpa sadar menciptakan semacam jerat modal di hampir semua gatra kehidupan, sehingga hanya yang kaya dan punya banyak uang saja yang bisa mereguk pendidikan dan kesehatan berkualitas.

Sebaliknya, menurut Boudrilliar, era kapitalisasi yang menjamurkan pesan-pesan materialisme di masyarakat tanpa sekat saat ini, di sisi lain memberikan kans bagi siapa saja masuk ke dalamnya atas nama kebebasan. Nilai kebebasan kemudian diterjemahkan kaum hawa modern sebagai entry point untuk membangun sikap, posisi tawar, dan tujuan eksistensinya di dunia sosial. Berlakulah aksioma, bahwa hanya perempuan cantik dan ayu saja yang akan menguasai jagat modal dan informasi. Politik fetishism (tubuh) menjadi area menggiurkan kaum perempuan untuk menaklukkan mesin kapital, termasuk laki-laki. Soal kapabilitas, moralitas, kejujuran tidak lagi penting.

Daulat Pasar
Namun, satu-satunya dunia yang paling monumental untuk mengasah prestise dan padanan hegemoni patriarkal saat ini tidak lain dunia politik. Di dunia inilah pembentukan citra, kepentingan, dan arus modal terbuka sangat lebar. Dunia kekuasaan bisa menghadirkan kewibawaan, pengaruh, fulus, sekaligus skandal cinta terlarang para perempuan modis di samping lelaki.

Kebesaran dinasti Banten yang kini “dikemudikan” Ratu Atut lewat kerajaan politiknya bisa jadi proyeksi dari kebebasan yang dicita-citakan tadi. Namun, kebebasan berbeda substansial dengan yang diperjuangkan RA Kartini (1879-1904). Meski RA Kartini juga adalah keluarga bangsawan, yaitu anak Bupati Demak, P Ario Tjondronegoro IV, yang kemudian berhasil menjadi Bupati Rembang, keistimewaan silsilah dan perkenalannya dengan pendidikan modern dan nilai Barat dipergunakan untuk mengobarkan spirit kesadaran emansipasi, memerdekakan kaum hawa yang tertindas.


Pada masanya, budaya Jawa pada tidak membuka ruang bagi perempuan untuk mengekpresikan kebebasannya. Kartini mengumpamakan “perempuan Indonesia seperti boneka kayu, yang berbicara kalau hanya perlu, sekali saja dengan cara berbisik lembut sehingga semut pun tak dapat mendengarnya” (Kartini, 2000:17).

Kini, kekebasan yang terjadi di alam demokrasi justru berpotensi menenggelamkan rasionalitas dan akal sehat, karena syahwat politik liberalisasi yang kejam. Mahalnya biaya politik untuk dicalonkan partai sebagai pemimpin daerah menunjukkan kebebasan dalam kapitalisme adalah kebebasan bersyarat yang tidak mungkin dipenuhi semua strata sosial, sehingga daulat rakyat harus kalah oleh daulat pasar (Priyono 2008), sebagaimana simbol demokrasi saat ini.

Kehilangan Pijakan
Kebebasan ini hanya menggelincirkan tujuan hidup dan politik seseorang, pada perebutan sumber daya yang tidak habisnya karena basis kesadaran moral yang sudah terkikis oleh pemujaan diri berlebihan (narsisme). Tokoh Boedi Oetomo, Soeriokoesomo pun pernah mengatakan, “Democratie zonder wijsheid is een ramp voor ons allen” (demokrasi tanpa kebijaksaan adalah bencana). Demokrasi yang digembor-gemborkan dengan mengabaikan pembangunan mentalitas membuat ia kehilangan pijakan, sehingga lebih berpihak pada orang-orang yang kuat lewat kultur survival of the fittest.

Atas nama demokrasi, kebebasan gender digelorakan dalam ruang politik. Namun, tidak dijalankan dalam semangat edukatif dan visioner sehingga gedung politik hanya menampilkan politikus-politikus perempuan yang tanggung dan rentan kerdil jiwanya, saat berhadapan dengan rimba raya kekuasaan yang diskenario pemodal.

Ratu Atut dalam hal ini menjadi bagian dari perilaku demokrasi tersebut, sekaligus juga korban dari lubang racun godaan politik modal yang diciptakan watak demokrasi poliarki (segelintir orang kaya) yang menjadikan modal sosial sebagai alat memperluas kekuasaan dan kekayaannya (Widyoko, 2013). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar