|
BANK Indonesia Surabaya belum lama ini
menyelenggarakan diskusi untuk membahas kesiapan Indonesia dalam menghadapi
Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA) 2015. Dari diskusi tersebut terungkap bahwa kita
masih memiliki banyak pekerjaan rumah dalam menghadapi KEA 2015 yang tinggal setahun
lagi berlaku. Mulai 2015 terjadi aliran bebas barang, jasa, investasi, dan
tenaga kerja terlatih serta aliran modal yang lebih bebas di antara negara
ASEAN.
Menyikapi hal tersebut, agar Indonesia tidak menjadi sekadar konsumen, pekerjaan rumah yang mendesak kita selesaikan adalah meningkatkan daya tahan dan daya saing ekonomi domestik. Perkembangan beberapa waktu terakhir ini menunjukkan bahwa daya tahan perekonomian Indonesia masih belum kukuh. Kita masih mengidap beberapa penyakit struktural. Salah satunya adalah defisit transaksi berjalan yang tinggi, mencapai negatif USD 9,85 miliar pada triwulan II-2013 dan defisit neraca pembayaran negatif USD 2,48 miliar.
Meski perekonomian dunia lesu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih relatif tinggi, sekitar 5,8 persen untuk 2013. Namun, pertumbuhan tersebut hampir 70 persen didorong sektor konsumsi yang sebagian besar dipenuhi produk impor. Di sisi lain, ekspor Indonesia masih bergantung pada produk primer yang harganya fluktuatif. Akibatnya, impor melonjak tinggi melebihi ekspor.
Konsekuensinya, kita kemudian membutuhkan lebih banyak valuta asing untuk membiayai impor tersebut. Ekonomi Indonesia menjadi rentan terhadap gejolak eksternal. Ketika dana asing keluar atau inflasi meningkat, nilai tukar rupiah tertekan. Meski bank sentral AS, The Fed, menunda rencana untuk menghentikan kebijakan pelonggaran moneter (tappering), nilai tukar rupiah belum mengalami dampak penguatan yang terlalu signifikan.
Dalam kaitan dengan daya saing, kita juga masih harus bekerja keras. Catatan World Economic Report 2012 menunjukkan bahwa daya saing Indonesia masih berada di bawah Thailand, Malaysia, dan Singapura atau di posisi ke-50 di antara 144 negara.
Pertemuan pemimpin Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Nusa Dua, Bali, 7-8 Oktober 2013, bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk berbenah diri. Sebagai tuan rumah penyelenggaraan APEC tahun ini, Indonesia berpeluang mengajukan usul yang bisa berdampak pada transformasi perekonomian kita.
Di bidang keuangan, Indonesia mengusulkan langkah memperluas akses keuangan bagi rakyat atau inklusi keuangan. Hal itu penting dalam upaya mendorong pelaku usaha di Indonesia, khususnya pengusaha kecil dan menengah (UMKM), untuk memanfaatkan akses pembiayaan perbankan serta lembaga keuangan. Saat ini baru 10 persen saja penduduk Indonesia yang memiliki rekening bank. Bila jumlah itu ditingkatkan ke depan, tentu sektor UMKM berpeluang tumbuh.
Hal lain yang perlu ditindaklanjuti dari sidang APEC adalah ketahanan pangan. Upaya memperkuat ketahanan pangan perlu melibatkan swasta dan pemberdayaan petani.
Pentingnya ketahanan pangan tersebut terlihat jelas dari karakteristik inflasi di Indonesia saat ini. Inflasi yang berasal dari kenaikan harga barang makanan menjadi faktor dominan dalam pembentukan inflasi di Indonesia. Inflasi pangan hampir selalu berada di atas inflasi administered prices dan inflasi inti. Permasalahan klasik umumnya menjadi penyebab. Mulai produksi yang berkurang, permasalahan distribusi, infrastruktur, hingga urusan tata niaga. Kebijakan impor bisa mengobati masalah kenaikan harga pangan, namun hanya secara temporer.
Bila agenda-agenda itu bisa disepakati dan diimplementasikan, harapan bagi ketahanan dan daya saing ekonomi Indonesia akan semakin besar. Banyak pihak yang berharap sidang APEC di Nusa Dua kali ini tidak berakhir dengan keputusan normatif, namun membumi dan menyasar pada permasalahan riil di lapangan.
Kita harus bisa memanfaatkan APEC sebaik-baiknya. Dalam dunia yang mengglobal saat ini, kita hidup dalam ketergantungan dan kerja sama dengan negara lain. APEC adalah sebuah kelompok yang memiliki potensi ekonomi besar. Sebanyak 21 anggota ekonomi APEC menyumbang 56,4 persen dari USD 58 triliun produk domestik bruto dunia. Anggota APEC juga berkontribusi 43,7 persen dari nilai perdagangan dunia USD 38 triliun. Itu merupakan potensi besar yang bisa dimanfaatkan Indonesia.
Di sisi lain, kita tetap perlu menyelesaikan permasalahan jangka pendek saat ini dengan menjaga momentum stabilitas ekonomi agar tidak goyah. Di sisi moneter dan stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia berupaya mengantisipasi berbagai potensi risiko yang muncul dari tekanan perekonomian saat ini berupa tingginya inflasi, defisit transaksi berjalan, dan faktor eksternal lainnya.
Selain menaikkan suku bunga kebijakan BI rate, Bank Indonesia baru saja mengeluarkan ketentuan baru tentang loan to value (LTV)/financing to value (FTV) untuk kredit kepemilikan properti dan kredit konsumsi beragun properti serta penyempurnaan giro wajib minimum (GWM) sekunder dan GWM loan to deposit ratio (LDR).
Upaya menyelesaikan masalah jangka pendek tanpa kehilangan orientasi pada permasalahan jangka panjang merupakan pekerjaan rumah yang harus kita kerjakan sekarang juga. Menghadapi Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 dan berlangsungnya sidang APEC, kita kembali memiliki momentum yang tepat untuk terus melakukan transformasi perekonomian. ●
Menyikapi hal tersebut, agar Indonesia tidak menjadi sekadar konsumen, pekerjaan rumah yang mendesak kita selesaikan adalah meningkatkan daya tahan dan daya saing ekonomi domestik. Perkembangan beberapa waktu terakhir ini menunjukkan bahwa daya tahan perekonomian Indonesia masih belum kukuh. Kita masih mengidap beberapa penyakit struktural. Salah satunya adalah defisit transaksi berjalan yang tinggi, mencapai negatif USD 9,85 miliar pada triwulan II-2013 dan defisit neraca pembayaran negatif USD 2,48 miliar.
Meski perekonomian dunia lesu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih relatif tinggi, sekitar 5,8 persen untuk 2013. Namun, pertumbuhan tersebut hampir 70 persen didorong sektor konsumsi yang sebagian besar dipenuhi produk impor. Di sisi lain, ekspor Indonesia masih bergantung pada produk primer yang harganya fluktuatif. Akibatnya, impor melonjak tinggi melebihi ekspor.
Konsekuensinya, kita kemudian membutuhkan lebih banyak valuta asing untuk membiayai impor tersebut. Ekonomi Indonesia menjadi rentan terhadap gejolak eksternal. Ketika dana asing keluar atau inflasi meningkat, nilai tukar rupiah tertekan. Meski bank sentral AS, The Fed, menunda rencana untuk menghentikan kebijakan pelonggaran moneter (tappering), nilai tukar rupiah belum mengalami dampak penguatan yang terlalu signifikan.
Dalam kaitan dengan daya saing, kita juga masih harus bekerja keras. Catatan World Economic Report 2012 menunjukkan bahwa daya saing Indonesia masih berada di bawah Thailand, Malaysia, dan Singapura atau di posisi ke-50 di antara 144 negara.
Pertemuan pemimpin Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Nusa Dua, Bali, 7-8 Oktober 2013, bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk berbenah diri. Sebagai tuan rumah penyelenggaraan APEC tahun ini, Indonesia berpeluang mengajukan usul yang bisa berdampak pada transformasi perekonomian kita.
Di bidang keuangan, Indonesia mengusulkan langkah memperluas akses keuangan bagi rakyat atau inklusi keuangan. Hal itu penting dalam upaya mendorong pelaku usaha di Indonesia, khususnya pengusaha kecil dan menengah (UMKM), untuk memanfaatkan akses pembiayaan perbankan serta lembaga keuangan. Saat ini baru 10 persen saja penduduk Indonesia yang memiliki rekening bank. Bila jumlah itu ditingkatkan ke depan, tentu sektor UMKM berpeluang tumbuh.
Hal lain yang perlu ditindaklanjuti dari sidang APEC adalah ketahanan pangan. Upaya memperkuat ketahanan pangan perlu melibatkan swasta dan pemberdayaan petani.
Pentingnya ketahanan pangan tersebut terlihat jelas dari karakteristik inflasi di Indonesia saat ini. Inflasi yang berasal dari kenaikan harga barang makanan menjadi faktor dominan dalam pembentukan inflasi di Indonesia. Inflasi pangan hampir selalu berada di atas inflasi administered prices dan inflasi inti. Permasalahan klasik umumnya menjadi penyebab. Mulai produksi yang berkurang, permasalahan distribusi, infrastruktur, hingga urusan tata niaga. Kebijakan impor bisa mengobati masalah kenaikan harga pangan, namun hanya secara temporer.
Bila agenda-agenda itu bisa disepakati dan diimplementasikan, harapan bagi ketahanan dan daya saing ekonomi Indonesia akan semakin besar. Banyak pihak yang berharap sidang APEC di Nusa Dua kali ini tidak berakhir dengan keputusan normatif, namun membumi dan menyasar pada permasalahan riil di lapangan.
Kita harus bisa memanfaatkan APEC sebaik-baiknya. Dalam dunia yang mengglobal saat ini, kita hidup dalam ketergantungan dan kerja sama dengan negara lain. APEC adalah sebuah kelompok yang memiliki potensi ekonomi besar. Sebanyak 21 anggota ekonomi APEC menyumbang 56,4 persen dari USD 58 triliun produk domestik bruto dunia. Anggota APEC juga berkontribusi 43,7 persen dari nilai perdagangan dunia USD 38 triliun. Itu merupakan potensi besar yang bisa dimanfaatkan Indonesia.
Di sisi lain, kita tetap perlu menyelesaikan permasalahan jangka pendek saat ini dengan menjaga momentum stabilitas ekonomi agar tidak goyah. Di sisi moneter dan stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia berupaya mengantisipasi berbagai potensi risiko yang muncul dari tekanan perekonomian saat ini berupa tingginya inflasi, defisit transaksi berjalan, dan faktor eksternal lainnya.
Selain menaikkan suku bunga kebijakan BI rate, Bank Indonesia baru saja mengeluarkan ketentuan baru tentang loan to value (LTV)/financing to value (FTV) untuk kredit kepemilikan properti dan kredit konsumsi beragun properti serta penyempurnaan giro wajib minimum (GWM) sekunder dan GWM loan to deposit ratio (LDR).
Upaya menyelesaikan masalah jangka pendek tanpa kehilangan orientasi pada permasalahan jangka panjang merupakan pekerjaan rumah yang harus kita kerjakan sekarang juga. Menghadapi Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 dan berlangsungnya sidang APEC, kita kembali memiliki momentum yang tepat untuk terus melakukan transformasi perekonomian. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar