APEC
sebagai Sales Liberalisasi
Ahmad Erani Yustika ;
Guru Besar FEB Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef
|
JAWA POS, 07 Oktober 2013
|
|
PERIODE 2005-2013
boleh disebut merupakan waktu yang hilang dalam episode ekonomi dunia. Selama
itu ekonomi dunia lebih banyak disibukkan untuk mengatasi krisis ekonomi
daripada menikmati kemakmuran. Pada 2005 ekonomi global diguncang kenaikan
harga pangan dan energi, 2008 diterpa krisis
subprime mortgage, dan 2010 dihajar
krisis fiskal di negara-negara maju.
Tiga
krisis itu nyaris tak memberikan kesempatan bernapas bagi sebagian besar negara
untuk menjalankan kegiatan ekonomi secara tenang, termasuk Tiongkok sekalipun.
Negara berkembang didikte untuk menjalankan manajemen ekonomi yang hati-hati,
tapi negara maju malah mempraktikkannya secara amburadul.
Kepentingan Nasional
Kishore Mahbubani (2013) dari National
University of Singapore (yang
pada 2005, 2010, dan 2011 masuk ke dalam top
100 global thinker versi Foreign Policy), memperkenalkan
istilah baru "the new norms" (norma baru) dunia dalam konteks
pembangunan. Yaitu, peran ilmu pengetahuan yang meningkat (modern science),
argumen yang rasional (logical reasoning), promosi pasar bebas (free-market
economics), perubahan kontrak sosial (social contract), dan
kesepakatan multilateral (multilateralism). Hampir semua negara
mengarahkan kegiatan ekonomi dengan berbasis pengetahuan dan inovasi, menggeser
praktik ekonomi berdasar tradisi. Pilihan-pilihan kebijakan dikerjakan secara
saksama sesuai dengan informasi dan penjelasan yang logis. Tak kalah penting,
kontrak sosial dibubuhkan berdasar kesepakatan antara yang mengatur dan yang
diatur. Selebihnya, pasar bebas dan kesepakatan internasional merupakan tata
kelola baru dalam menggerakkan perekonomian.
APEC (Asia-Pasific Economic
Cooperation) sejak 1989 merupakan bagian dari norma baru tersebut, bersama
IMF dan Bank Dunia sejak 1940-an, WTO 1994, dan puluhan blok perdagangan yang
didirikan dalam 20 tahun terakhir ini. APEC, seperti halnya blok perdagangan
dan misi lembaga multilateral lainnya (IMF, Bank Dunia, dan yang lain) bak salesman aktif mempromosikan tata kelola
ekonomi global dengan bersandar kepada pranata globalisasi/liberalisasi.
Argumen dari inisiatif tersebut tak semuanya salah, karena koneksi
ekonomi memang menjanjikan percepatan sirkulasi kegiatan ekonomi demi
pembesaran hasil (semisal perdagangan dan investasi). Gagasan ini pula yang
dibangun APEC, meskipun ini bukan organisasi yang punya ikatan kuat (sifatnya
hanya sukarela).
Namun, ada dua hal yang luput dari norma baru global tersebut. Pertama, tak selamanya
kepentingan nasional (national interest) mati setelah tata kelola global
(global governance) ditandatangani. Kepentingan nasional muncul bisa
dari sumber persoalan domestik masing-masing negara (akibat malpraktik
manajemen ekonomi) maupun dampak dari kesepakatan global tersebut. Bahkan, AS
dan Eropa sekalipun bisa mengisolasi ekonominya dari negara lain (misalnya,
dengan jargon: beli produk AS!), padahal merekalah pendiri gagasan liberalisasi
ekonomi. Kedua, pada saat
norma baru itu disepakati, sesungguhnya juga terjadi kecemasan atas kondisi
daya saing setiap negara. Liberalisasi secara diam-diam dianggap sebagai sumber
daya rusak ketimbang anak tangga untuk mencapai posisi ekonomi yang lebih
tinggi.
Perjamuan Saudagar
Pada KTT APEC di Bali kali ini konservatisme tata kelola ekonomi global
tersebut masih terasa. Pertumbuhan ekonomi hendak digenjot kembali untuk
memulihkan periode yang hilang di atas. Dan, untuk mempercepat koneksitas,
aneka tarif dan rintangan perdagangan/investasi akan diturunkan secara masif.
Sebanyak 1.200 pemimpin puncak korporasi besar dari negara APEC hadir.
Forum itu, bahkan, lebih mirip pertemuan para saudagar daripada persuaan
pejabat pemerintah yang hendak merumuskan regulasi.
Kesepakatan APEC bukan merupakan hal yang spesifik, karena pola yang sama
dilakukan Indonesia dalam hubungan dengan negara lain (dalam semangat
multilateralisme). Memang, sebagai forum yang mempertemukan ide-ide
antarnegara, KTT semacam ini memiliki nilai penting. Namun, interaksi itu
menjadi tak memiliki makna bagi kepentingan nasional apabila sebagian besar
agendanya dibajak oleh segelintir negara maju dan pemain swasta besar.
Indonesia mesti merumuskan peran dan agenda yang harus dimainkan dalam
forum semacam itu, agar regulasi yang disusun paralel dengan kepentingan
nasional. Ingat, urusan ekonomi suatu negara harus merepresentasikan
kepentingan anak bangsa. Di dalamnya ada petani, nelayan, pelaku UMKM,
pedagang, pekerja sektor informal, buruh, dan seterusnya. Pemerintah, secara
sadar, telah melupakan kegotongroyongan elementer ini.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar