Senin, 07 Oktober 2013

Empat Dosa Besar MK

Empat Dosa Besar MK
M Hadi Shubhan  ;  Dosen Filsafat Hukum pada Program Doktor Ilmu Hukum (S-3) di Fakultas Hukum Universitas Airlangga
JAWA POS, 07 Oktober 2013



 Presiden SBY yang akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu tentang Mahkamah Konstitusi merupakan langkah progresif (Jawa Pos, 6 Oktober 2013). Meski presiden memasuki ruang internal, MK harus berjiwa besar dan tidak berselingkuh dengan akademikus untuk men-judicial review (JP) Perppu tersebut, seperti yang biasa selama ini dilakukan MK. Kebesaran jiwa MK ini sebagai penebus dosa, berintrospeksi, mau mendengarkan orang lain, dan mau dikontrol.

Dosa pertama, MK mengadili perkaranya sendiri. MK telah membatalkan beberapa ketentuan dalam UU No 23 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana diubah dengan UU No 8 Tahun 2011. Ketentuan yang dibatalkan MK, antara lain, pembatasan kewenangan MK untuk mengeluarkan putusan yang bersifat ultra petita (melampaui yang dimohonkan) dan pembatasan usia hakim konstitusi.

Padahal, jelas sekali prinsip hukum yang menyatakan bahwa nemo judex indoneus in propria yang berarti bahwa tidak ada seorang pun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri. Ini berarti MK telah melanggar salah satu prinsip hukum. 

Karena itu, Perppu yang dikeluarkan presiden nanti, ketika sudah disahkan menjadi UU, tidak boleh di-JR oleh MK karena melanggar prinsip hukum tersebut. Selama ini MK telah berselingkuh dengan oknum akademisi tertentu yang mengaku para ahli konstitusi, dengan cara kelompok mengajukan JR pasal tertentu UU MK yang dianggap membatasi kekuasaan MK. MK tentu gembira dan bisa dipastikan akan membatalkan pasal pencegah kekuasaan absolut itu. 

Dosa kedua, MK ikut menjagal kewenangan lembaga Komisi Yudisial (KY) dengan membatalkan UU No 22 Tahun 2004 tentang KY pada zaman Ketua Jimly Asshidiqie. UU tersebut memberikan kewenangan kepada KY untuk mengawasi seluruh hakim, baik hakim di lingkungan peradilan MA, hakim agung MA, dan hakim konstitusi MK. 

MK yang tak mau diawasi KY jelas mengkhianati dan menjagal konstitusi UUD 1945 itu. Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945 secara tegas menyatakan: KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Alih-alih menjadi pengawal konstitusi, MK malah menjadi penjagal konstitusi. Bahwa putusan ini membawa bencana di masa depan sudah saya cemaskan dalam opini "Soal Vonis MK terhadap KY" di Jawa Pos, 25 Agustus 2006.

Dosa ketiga, MK telah melebihi kewenangannya dalam mengadili perkara pengujian undang-undang dan perselisihan hasil pemilu. Pengujian undang-undang sejatinya adalah mengoreksi undang-undang jika undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi. Jadi, MK berfungsi negative legislator, mencoret pasal inkonstitusional. Mekanisme koreksi ini sebagai sarana checks and balances terhadap pembuat undang-undang, yakni DPR bersama presiden.

Namun, MK memperluas kewenangannya sendiri. Contohnya, ketika MK menambah frasa terhadap pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 yang memperluas konsep anak luar kawin. MK sebagai negative legislator telah memosisikan diri menjadi positive legislator, penulis pasal UU yang sebenarnya menjadi kewenangan DPR bersama presiden. 

Dalam putusan mengenai sengketa pilkada muncul model yang dikembangkan sendiri oleh MK. Dari pengembangan ini muncul putusan yang memerintahkan pemungutan suara ulang (seperti putusan pilbup Lebak yang menjadi perkara dengan KPK). Ini sebenarnya bukan ranah MK. Muncul pula surat Akil Mochtar ke Mendagri untuk menunda proses pengesahan dan pengangkatan pasangan calon bupati dan calon wakil bupati terpilih Kabupaten Banyuasin. Ternyata, surat ketua MK ini dinyatakan ilegal oleh para hakim konstitusi sendiri.

Dosa besar keempat, MK telah memilih dan mengangkat Akil Mochtar sebagai ketua MK. Akil adalah pilihan para hakim konstitusi secara mayoritas (7 dari 9 suara). Para hakim ini harus mempertanggungjawabkan secara moral kepada rakyat atas kejadian tertangkap tangan ketua MK oleh KPK. Para hakim konstitusi tentu sudah sangat tahu persis siapa Akil Mochtar. Hal ini karena Akil Mochtar ketika dipilih sebagai ketua MK, bukan orang yang baru saja masuk sebagai hakim konstitusi, melainkan sudah menjadi hakim kontitusi sejak 2009. 

Kalau kita merenungkannya, tentulah ini bukan kejadian yang tanpa dimensi spiritual. Mata kita dibelalakkan bahwa ada lembaga negara yang tanpa kontrol dan jika dibiarkan terus akan menjadi penguasa absolut. Hikmah dari kejadian ini semua adalah mari kita selamatkan MK dengan cara mereposisi kedudukan dan kewenangan MK untuk dikembalikan sesuai dengan amanat kontitusi negara. Batasi kewenangan MK dan bentuk lembaga pengawas ekternal terhadap MK. Hanya Firaun yang tak mau diawasi dan dibatasi kekuasaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar