|
Presiden SBY yang akan menerbitkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu tentang Mahkamah Konstitusi
merupakan langkah progresif (Jawa Pos, 6 Oktober 2013). Meski presiden memasuki ruang internal, MK
harus berjiwa besar dan tidak berselingkuh dengan akademikus untuk men-judicial review (JP) Perppu tersebut, seperti yang biasa selama
ini dilakukan MK. Kebesaran jiwa MK ini sebagai penebus dosa, berintrospeksi,
mau mendengarkan orang lain, dan mau dikontrol.
Dosa
pertama, MK mengadili perkaranya sendiri. MK telah membatalkan beberapa
ketentuan dalam UU No 23 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana diubah dengan UU No
8 Tahun 2011. Ketentuan yang dibatalkan MK, antara lain, pembatasan kewenangan
MK untuk mengeluarkan putusan yang bersifat ultra
petita (melampaui yang
dimohonkan) dan pembatasan usia hakim konstitusi.
Padahal, jelas sekali prinsip hukum yang menyatakan bahwa nemo judex indoneus in propria yang berarti bahwa tidak ada seorang
pun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri. Ini berarti MK
telah melanggar salah satu prinsip hukum.
Karena itu, Perppu yang dikeluarkan presiden nanti, ketika sudah disahkan
menjadi UU, tidak boleh di-JR oleh
MK karena melanggar prinsip hukum tersebut. Selama ini MK telah berselingkuh
dengan oknum akademisi tertentu yang mengaku para ahli konstitusi, dengan cara
kelompok mengajukan JR pasal tertentu UU MK yang dianggap
membatasi kekuasaan MK. MK tentu gembira dan bisa dipastikan akan membatalkan
pasal pencegah kekuasaan absolut itu.
Dosa kedua, MK ikut menjagal kewenangan lembaga Komisi Yudisial (KY)
dengan membatalkan UU No 22 Tahun 2004 tentang KY pada zaman Ketua Jimly
Asshidiqie. UU tersebut memberikan kewenangan kepada KY untuk mengawasi seluruh
hakim, baik hakim di lingkungan peradilan MA, hakim agung MA, dan hakim
konstitusi MK.
MK yang tak mau diawasi KY jelas mengkhianati dan menjagal konstitusi UUD
1945 itu. Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945 secara tegas menyatakan: KY bersifat
mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim. Alih-alih menjadi pengawal konstitusi, MK malah
menjadi penjagal konstitusi. Bahwa putusan ini membawa bencana di masa depan
sudah saya cemaskan dalam opini "Soal Vonis MK terhadap KY" di Jawa Pos, 25 Agustus 2006.
Dosa ketiga, MK telah melebihi kewenangannya dalam mengadili perkara
pengujian undang-undang dan perselisihan hasil pemilu. Pengujian undang-undang
sejatinya adalah mengoreksi undang-undang jika undang-undang tersebut
bertentangan dengan konstitusi. Jadi, MK berfungsi negative legislator, mencoret
pasal inkonstitusional. Mekanisme koreksi ini sebagai sarana checks and balances terhadap pembuat undang-undang, yakni
DPR bersama presiden.
Namun, MK memperluas kewenangannya sendiri. Contohnya, ketika MK menambah
frasa terhadap pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 yang memperluas konsep anak
luar kawin. MK sebagai negative
legislator telah memosisikan
diri menjadi positive
legislator, penulis pasal UU yang sebenarnya menjadi kewenangan DPR bersama
presiden.
Dalam putusan mengenai sengketa pilkada muncul model yang dikembangkan
sendiri oleh MK. Dari pengembangan ini muncul putusan yang memerintahkan
pemungutan suara ulang (seperti putusan pilbup Lebak yang menjadi perkara
dengan KPK). Ini sebenarnya bukan ranah MK. Muncul pula surat Akil Mochtar ke
Mendagri untuk menunda proses pengesahan dan pengangkatan pasangan calon bupati
dan calon wakil bupati terpilih Kabupaten Banyuasin. Ternyata, surat ketua MK
ini dinyatakan ilegal oleh para hakim konstitusi sendiri.
Dosa besar keempat, MK telah memilih dan mengangkat Akil Mochtar sebagai
ketua MK. Akil adalah pilihan para hakim konstitusi secara mayoritas (7 dari 9
suara). Para hakim ini harus mempertanggungjawabkan secara moral kepada rakyat
atas kejadian tertangkap tangan ketua MK oleh KPK. Para hakim konstitusi tentu
sudah sangat tahu persis siapa Akil Mochtar. Hal ini karena Akil Mochtar ketika
dipilih sebagai ketua MK, bukan orang yang baru saja masuk sebagai hakim
konstitusi, melainkan sudah menjadi hakim kontitusi sejak 2009.
Kalau kita merenungkannya, tentulah ini bukan kejadian yang tanpa dimensi
spiritual. Mata kita dibelalakkan bahwa ada lembaga negara yang tanpa kontrol
dan jika dibiarkan terus akan menjadi penguasa absolut. Hikmah dari kejadian
ini semua adalah mari kita selamatkan MK dengan cara mereposisi kedudukan dan
kewenangan MK untuk dikembalikan sesuai dengan amanat kontitusi negara. Batasi
kewenangan MK dan bentuk lembaga pengawas ekternal terhadap MK. Hanya Firaun
yang tak mau diawasi dan dibatasi kekuasaannya.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar