Senin, 07 Januari 2013

Tahun Politik dan Masalahnya


Tahun Politik dan Masalahnya
Indria Samego ;  Profesor Riset Perkembangan Politik LIPI
SINDO,  07 Januari 2013



Bagi Indonesia, sebenarnya tiada tahun tanpa tahun politik. Sepanjang sejarahnya negeri ini tidak pernah jeda dari persoalan politik. Sebagai negara yang lahir akibat perjuangan politik,warna politik—dalam arti struggle for power—tak pernah lekang dalam sejarah pertumbuhan negara bangsa ini. 

Setiap elemen masyarakatnya harus senantiasa berjuang untuk mempertahankan diri. Politik karenanya menjadi “the only game in town”. Seolah-olah hanya yang berpolitiklah yang akan muncul dan diperhitungkan. Sementara kegiatan berekonomi, berbudaya, dan berkesenian dianggap sebagai pekerjaan sampingan,yang sifatnya pinggiran dan karenanya tak bergengsi. 

Yang menjadi masalah,apakah politik yang dimaksudkan masih primitif sifatnya atau lebih modern dan produktif? Jika yang disebut pertama, hanya mencerminkan ambisi kekuasaan dan dilakukan dengan segala macam cara. Etika, norma, dan keberadaban dalam berpolitik sama sekali diabaikan. 

Sementara yang disebut kemudian sebaliknya. Berpolitik sejatinya sebuah siasat untuk menyelesaikan perbedaan demi memperkuat persamaan. Makin majemuk suatu komunitas, makin beragam pula kepentingannya, dan hanya lewat pengelolaan perbedaan itulah kesepahaman serta persetujuan dapat dicapai. 

Meski dalam memperjuangkan harapan di atas, prosesnya tidak senantiasa berlangsung linier,damai,dan produktif, yang terpenting kemudian adalah hasil akhirnya berupa konsensus di antara sesama pihak terlibat. Akibat itu, kegaduhan menjadi sebuah keniscayaan dalam proses tersebut. 

Politik Harmoni 

Dalam konteks kepolitikan Indonesia mutakhir, kegaduhan selalu menjadi hasilnya. Akibat itu, begitu mahalnya biaya politik dan ekonomi dikeluarkan untuk itu.Hanya untuk sekadar menjaga harmoni antarpelaku politik, kepentingan rakyat banyak dikorbankan. APBN harus dipotong dan di-mark up demi memenuhi keinginan para aktor demokrasi. 

Peringatan pimpinan KPK mengenai tingginya tingkat korupsi di kalangan elite parpol menjadi bukti nyata dari demokrasi patrimonial yang tumbuh sekarang. Semua pihak saling memperjuangkan kepentingan dan memperebutkan sumber daya politik—materi dan immateri— yang kian lama makin menipis. 

Ketika Orde Baru masih kuat, proses politik itu dilakukan secara berencana dan rezim Orde Baru mampu mengaturnya. Sentralisasi kekuasaan telah melahirkan situasi yang menjauhi kemajemukan dan perbedaan. Hegemoni negara dengan ABRI sebagai ujung tombaknya telah mampu melaksanakan berbagai resolusi konflik ala Orde Baru. Di Era Reformasi, negara tidak lagi memiliki basis hukum untuk melanggengkan kekuasaannya. 

Kekuatan masyarakat atau demokrasi dari “bawah” menjadi sebuah keniscayaan politik baru. Partai politik secara bebas lahir dan berkembang. Partisipasi masyarakat secara otonom menjadi konsekuensi logis dari model demokrasi baru tersebut. Karena begitu kuatnya politik identitas, konflik lebih sering muncul ketimbang konsensus. 

Pemilihan umum dijadikan ajang pamer kekuatan. Tidak terlalu mengherankan jika kontes politik tersebut—baik dalam memilih anggota legislatif maupun pimpinan eksekutif— kerap diwarnai perselisihan. Cabang kekuasaan eksekutif masih belum menunjukkan gejala transformasi yang memihak rakyat. 

Reformasi birokrasi lebih banyak dijadikan retorika daripada dilaksanakan. Warisan lama dari politik “executive heavy” tidak mudah dihilangkan dalam waktu yang singkat. Penyalahgunaan kekuasaan dan uang untuk kepentingan diri dan golongannya masih terus berlanjut. Pelayanan publik masih tetap mahal dan jauh dari mudah. Program “de-bottle necking” Pemerintah SBY-Boediono lebih bersifat retorika ketimbang realita. 

Pada cabang kekuasaan legislatif, retorika demokrasi terdengar lebih menonjol daripada semangat untuk sungguhsungguh melaksanakan kedaulatan rakyat. Keuntungan politik (political leverage) yang dimiliki para wakil rakyat bukan diwujudkan untuk membangun politik pengawasan dan keseimbangan (checks and balances), melainkan dijadikan medium transaksi untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek para anggota DPR dan DPRD serta parpol. 

Dari tiga fungsi Dewan yang diberikan oleh aturan perundangan— legislasi, pengawasan, dan budgeting—fungsi yang disebut terdahulu tertinggal jauh di belakang. Pada tataran masyarakat memang berkembang demokrasi dari “bawah”. Namun, bukan partisipasi secara otonom yang terjadi, melainkan mobilisasi oleh kekuatan politik non-negara. Ironisnya lagi, model demokrasi terakhir ini juga bukannya tanpa biaya. 

Para aktor utamanya menggunakan jalur kekuatan sipil demi meraih kepentingan pribadinya. Semua usaha politik itu dimaksudkan untuk meningkatkan posisi tawarnya dalam konstelasi politik yang makin liberal seperti sekarang. Dalam situasi seperti ini,hanya yang memiliki kekuasaanlah yang diperhitungkan. Akibat itu, semua berlomba untuk memperoleh ruang hidup (liebensraum). 

Peristiwa konflik sosial di Sampang, Madura, perebutan tanah di Kabupaten Mesuji, Lampung, konflik penguasaan tanah untuk tambang di Sape, Bima, NTB, kerusuhan massa di Kutai,dan sejumlah kekerasan sosial di wilayah lain menjadi bukti nyata dari proses resolusi konflik yang mahal biayanya. 

2013, Tahun Hidup atau Mati 

Membuka babak baru 2013 untuk kemudian pada 2014 ketiga elemen kekuatan politik di atas akan menghadapi tahun penentuan. Terutama buat partai politik, nasibnya akan ditentukan dalam Pemilu Legislatif April 2014. Karena pemilu itu menentukan hidup atau matinya partai politik, segala macam daya akan dilakukannya. 

Secara kebetulan, partai politik di negeri kita masih sangat lemah sumber finansialnya. Karena begitu banyaknya partai politik, jumlah elite politiknya tersebar di banyak partai tersebut. Akibat itu, tak satu partai pun yang dengan mudah dapat memperoleh suara berarti dalam pemilu mendatang. 

Sebagai konsekuensi lebih lanjut, berbagai kesempatan dan sumber yang dapat meningkatkan posisi tawar politik akan diambilnya. Terutama sumber daya milik negara pasti akan dijadikan andalan utama bagi aktor parpol untuk memperebutkannya. Sebagaimana sejarah tunjukkan, rakyat akan dikalahkan dalam persaingan ini. 

Meski anggaran pembangunan terus ditingkatkan, rakyat hanya akan memperoleh bagian yang sangat minimal dibandingkan para aktor politik di atas.Anggaran proyek dengan mudah di-mark up demi memenuhi kebutuhan politik harmoni di atas. Redistribusi hasil penggelembungan dana proyek itulah yang akan mengundang kegaduhan politik. 

Bila tidak dapat dikelola dengan arif, bukan mustahil, perebutan “kue” pembangunan itu akan makin menambah gaduhnya kepolitikan Indonesia pada 2013 ini. Akhir kata, bukan karena persiapan pemilu itu yang membuat jagat politik Indonesia gaduh, melainkan karena fenomena perebutan berkah sumberdaya milik negara itulah soalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar