Kritik kepada
DPR Overdosis?
Hajriyanto Y Thohari ; Wakil Ketua MPR
|
SUARA
KARYA, 07 Januari 2013
Setelah reformasi
orang bebas dan merdeka bicara apa saja. Jika di awal kemerdekaan semboyannya
"sekali merdeka tetap merdeka", maka pada era reformasi slogannya
adalah "sekali merdeka, merdeka sekali!".
Tak mengherankan jika
kita menyaksikan fenomena kritisisme yang amat menonjol. Semua orang, apalagi
pengamat politik dan tokoh LSM, mau tampil kritis, kritis kepada siapa saja.
Bahkan kalau bisa, ingin tampil menjadi yang paling kritis dengan melancarkan
kritik tajam dan sekeras-kerasnya. Makin tajam makin hebat, makin keras makin
dipuji banyak orang sebagai tokoh kritis atau vokal.
Fatalnya adalah banyak
orang tidak bisa membedakan antara mengkritik dan mencaci maki. Sasaran
kritik di era keterbukaan seperti sekarang ini sebenarnya banyak sekali.
Pasalnya, hampir semua lembaga negara dan instansi pemerintah, bisa dijadikan
sasaran kritik. Banyak sekali ruang tembak untuk dijadikan sasaran tembak
kritisismenya. Tetapi, mereka biasanya akan memilih-milih sasaran kritik yang
paling kecil risikonya alias paling aman.
Nah, DPR adalah
satu-satunya sasaran yang paling empuk (karena faktanya memang banyak
kelemahannya), paling aman, dan paling tidak berisiko. Mengkritik DPR, bahkan
mencaci makinya, tidak ada risiko apa pun. Bahkan, ditelanjangi sekalipun,
DPR tidak bisa membalas apa pun. Pasalnya, DPR memang bukan entitas yang
monolitik. DPR itu tidak bisa kompak dan satu suara karena memang terdiri
dari banyak fraksi. Tak heran jika DPR terus dijadikan sansak uji coba
keberanian bagi para pengritik, tragisnya oleh seorang aktivis yang masih
ingusan sekalipun.
Lihat saja dalam kasus
pembentukan undang-undang (UU). Hampir semua kelemahan yang menyangkut UU,
apakah soal kelambanan penyelesaiannya, isinya yang banyak digugat ke MK,
banyaknya UU yang dibatalkan oleh MK karena bertentangan dengan konstitusi,
dan lain-lain, ditimpakan 100 persen sebagai kesalahan DPR. Orang lupa bahwa
setiap UU itu merupakan kesepakatan bersama antara presiden dan DPR meskipun
DPR menurut konstitusi memegang kekuasaan membentuk UU. Tak ada yang berani
menyalahkan presiden/pemerintah. Padahal setidaknya pemerintah mewakili 50
persen kesalahan itu.
Akhir-akhir ini lebih
mengherankan lagi. Lembaga semacam PPATK begitu gampang mengumumkan temuannya
dengan mengatakan bahwa 69,7 persen anggota DPR terindikasi korupsi. Padahal
itu baru temuan berupa transaksi yang mencurigakan, atau katakanlah rekening
gendut. Ada besar kemungkinan rekening gendut atau transaksi mencurigakan itu
korupsi, tapi ada kemungkinannya tidak. Transaksi itu baru mencurigakan.
Dengan pengumuman seperti itu, terciptalah opini negatif DPR. Semestinya
temuan itu dilaporkan dulu ke KPK untuk diusut lebih lanjut, bukannya
diumumkan dengan begitu saja tanpa asas praduga tidak bersalah.
DPR-lah yang selalu
menjadi sansak uji coba orang yang ingin tampil kritis. Tak mengherankan jika
kini DPR makin mengalami proses pembusukan, delegitimasi, decaying, dan
namanya hancur lebur. Padahal DPR itu lembaga negara yang sangat penting,
strategis, dan sentral dalam sistem demokrasi. Karena itu, dipilih secara
langsung (elected) oleh rakyat sama seperti presiden.
Jadi, jika kita
mencintai DPR, mari kita bangun lembaga ini menjadi lembaga yang kuat lahir
dan batin. Kritiklah DPR secara proporsional, jangan overdosis. Kritiklah DPR
secara analitiks, anggota per anggota, bukan secara kelembagaan. Pasalnya,
560 anggota itu masing-masing independen satu sama lain, tidak saling
mendominasi dan menyubordinasikan di antara mereka. Jika ada anggota yang
busuk, segera diamputasi, tetapi selamatkan hidupnya. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar