Semar Gugat di
Temanggung
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
|
SINDO,
21 Januari 2013
Lakon Semar Gugat, di dunia pewayangan, menggugat ketidakadilan
tatanan kenegaraan. Batara Guru, raja para desa, berbuat tidak adil terhadap
Pandawa, yang diayomi Semar. Pandawa terancam. Tapi Sang pelindung, Ki
Lurah Semar, waspada. Dia naik ke Kahyangan Suralaya, menamui Batara Guru.
Semar marah besar. Dewa-dewa kalah. Dengan senjata kebenaran, untuk
menegakkan kebenaran, dan menata keadilan, Semar siap melakukan apa saja.
Tapi Semar mengutamakan dialog dan segenap jalan damai. Dan pendeknya,
keadaan tertata baik kembali. Semar turun kembali ke dunia dan menjalankan
tugas sebagai pelindung para Pandawa. Itu kisah dunia pewayangan yang bisa
memberi kita inspirasi mengenai cara menggugat ketidakadilan di bumi.
Maka, Semar Gugat di Temanggung, ditempuh
para petani tembakau Kecamatan Tlogo Mulyo, Kabupaten Temanggung, Jawa
Tengah, dengan menekankan sifat damai. Di dalam hati setiap petani ada
gejolak kemarahan. Tapi gejolak itu tersiram air sejuk: kebutuhan akan rasa
damai dan ketertiban bersama. Ritus pelawanan macam apa yang dilakukan?
Mereka mendatangi sumber mata air, yang diteduhi pohon-pohon besar di Desa
Losari, di punggung, hingga leher Gunung Sumbing di lereng bagian timur. Itu
Kecamatan yang menghasilkan tembakau terbaik di dunia: tembakau Srintil.
Tiga ribuan warga dari dua belas desa di
kecamatan tersebut berkumpul untuk menyelenggarakan sebuah “ritus perlawanan”
pada hari Sabtu, 19 Januari 2013, dimulai pada pukul 10, dan satu jam
sesudahnya inti ritus terpenting selesai. Sumber mata air itu disebut “Tuk
Budoyo”. Kata “tuk” itu maksudnya sumber. Tapi rujukannya harus air. Jadi,
maksudnya sumber air. Atau mata air. Adapun mengapa namanya Tuk Budoyo—yang
secara harfiahsumberbudaya— tak ada warga yang tahu. Mereka hanya tinggal
menerima nama itu sejak zaman dulu secara turun-temurun dan tak ada yang
mempertanyakan perihal nama tersebut.
Di tempat yang diteduhi pohon-pohon besar
ada makam “Mbah Brojosuro”, konon trah Majapahit. Beliau orang asing yang
datang ke tempat itu pada suatu masa untuk bertapa, hingga di akhir hayatnya.
Orang menduga, mungkin beliau memang sudah tahu bahwa di situ ajalnya bakal
tiba. Masa peralihan zaman, dari zaman Majapahit ke zaman Demak, atau dari
zaman Hindu ke zaman Islam, merupakan zaman yang mencekam dalam waktu
panjang. Boleh jadi “Mbah Brojosuro” pun mencari kedamaian di tempat
terasing, yang sepi, dan nyaman itu. Ini spekulasi tentang sejarah yang tak
ada sumber tertulisnya.
Kecuali makam, ada juga sebuah petilasan
yang dikenal sebagai petilasan Cantik Yudo, yang tak diketahui kisahnya.
Ritus dilakukan di tempat teduh itu. Para sesepuh desa, rohaniwan yang paham
akan perkara ritus dan doa-doa, juga Mbah Jumbadi, kepala adat, berkumpul di
situ mencari tempat duduk masing-masing, menghadap sebongkah batu— di sana
banyak bongkahan batu—dan menyalakan “hio”, yang mengembuskan asap
bergulung-gulung, dengan aroma wangi. Yang lain membakar kemenyan biasa, yang
fungsinya sama dengan “hio” tadi.
Mereka berdoa, mohon kepada Tuhan, Allah
Yang Maha pemurah dan Pengasih, dengan menyebut segenap leluhur Eyang
Djojonagoro, juragan Dampo Awang alias Ceng Ho, Ki Ageng Makukuhan yang juga
disebut Prabu Makukuhan juga disebut Sunan Makukuhan alias Ki Ageng Kedu
alias Sunan Kedu, dan Sunan Kudus, sebagai wasilah. Mereka ini tokoh-tokoh
yang erat hubungannya dengan sejarah tembakau dan hasilhasil olahan
tembakau.
Mbah Jumbadi, ketua adat, menyediakan tumpeng
tumpeng tulak: yaitu nasi tumpeng biasa yang puncaknya berupa nasi yang
dibikin hitam, disertai ingkung ayam
putih mulus, yaitu ayam yang ketika masih hidup bulunya mulus, putih seluruhnya.
Kata tulak disitu maksudnya menolak segenap bahaya dan bencana yang mengancam
para warga seluruh desa tadi. Putih artinya suci, dan tulus: gambaran
ketulusan jiwa para warga desa-desa tersebut.
Dengan tulus mereka memohon pada Tuhan agar
diberi perlindungan dan dijauhkan dari bahaya. Jika bahaya sudah mendekat, semoga
Tuhan menjauhkannya. Ada lagi tumpeng cambah petak, lombok abang (cabai
merah), dan segenap kue-kue yang disebut jajanan pasar. Ini semua merupakan
kelengkapan ritus yang dilakukan dengan ketulusan dan jiwa yang suci. Para
rohaniwan desa, kepala adat, para pejabat desa dan kecamatan, dan seluruh
petani, hadir di tempat itu. Ada orasi para tokoh desa di panggung, yaitu
sebuah mobil truk yang dipasang tangga untuk naik dengan hati-hati dan pelan-pelan.
Orasi ini tanda modern. Tumpeng dan
sejenisnya,termasuk kemenyan, mewakili simbol-simbol tradisi. Gabungan
unsur-unsur tradisi dan modernitas ini menggambarkan kompleksitas kehidupan
desa. Mereka pada dasarnya sangat marah, jengkel, dan frustrasi melihat
tingkah laku pemerintah yang mengeluarkan PP Nomor 109, yang pada intinya
mengancam kehidupan petani tembakau. Sudah lama mereka melakukan protes,
sejak peraturan itu masih berupa rencana.
Tapi berbagai bentuk protes, usul, dan
saran tak didengar. Maka, pada hari itu mereka melakukan protes dalam bentuk
lain: mereka gugat. Semua sudah jengkel dan frustrasi menghadapi pemerintah
yang tak adil. Mereka tahu, keadilan tak mungkin diharapkan dari pemerintah.
Penguasa bumi tak bisa bertindak adil. Kini, tak ada cara lain, mereka
menggugat secara simbolis: meminta keadilan “pemerintah” langit.
Gambar Presiden, gambar Agung Laksono,
gambar Hatta Rajasa: wakil kelumpuhan, wakil ketidakmampuan, wakil
ketidakadilan, dipasang di pohon-pohon untuk—apa boleh buat—diejek, dan
dilecehkan. Gambar-gambar itu dibawa dengan rasa jengkel, dan mereka bakal
menjadi sasaran kemarahan warga. Ini memalukan. Pemimpin bangsa seharusnya
dimuliakan. Gambarnya juga dimuliakan. Tapi para petani tembakau itu
kekurangan akal dan tak menemukan cara bagaimana memuliakan mereka.
Tokoh yang adil, mengayomi dan melindungi
rakyatnya dengan segenap keadilan yang dimiliki, akan membuat rakyat merasa
bahwa mereka ada di dalam jiwa rakyat. Wali-wali, dan orang-orang suci setiap
saat dikirimi Al-Fatihah karena mereka semua hidup di dalam jiwa rakyat. Tapi
tokoh-tokoh ini bukan hanya tidak adil, melainkan dianggap merusak kehidupan
rakyat.
Mereka memanjakan kepentingan asing dan
memuliakan pedagang asing; tapi mematikan kehidupan pertanian dan perdagangan
bangsanya sendiri.Apa yang dipakai sebagai kiblat kehidupan? Takut ancaman
negara-negara asing? Dimuliakan dengan duit dalam jumlah banyak oleh para
pedagang, pelobi dan semua sekutu mereka, yang pandai membujuk dan mengubah
kiblat kehidupan mereka? Orang-orang itu tidak penting. Sama sekali tak
berguna. Maka, dengan kearifan lokal mereka yang tulus,para petani memandang
langit: rakyat— yang disimbolkan Semar— menggugat.
Semar Gugat di Temanggung adalah gugatan
keadilan pada penguasa bumi. Tapi karena mereka membisu bagai batu, mereka
pun menggugat dan meminta keadilan langit, dengan damai dan tertib. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar