Pendidikan
Bahasa di Sekolah Dasar
Harimurti Kridalaksana ; Pensiunan
Profesor Linguistik Universitas Indonesia; Rektor Unika Atma Jaya Jakarta
1999-2004
|
KOMPAS,
07 Januari 2013
Pengajaran Bahasa Indonesia merupakan
bagian dari pendidikan kebangsaan yang tidak tergantikan oleh bahasa mana
pun.
Pendidikan dasar bidang bahasa di SD yang
diwujudkan dengan pengajaran Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
merupakan bagian dari upaya dan proses pendewasaan anak untuk membentuk
konsep tentang dirinya dalam hubungan dengan jati dirinya dan lingkungannya.
Ia mesti membangun wawasannya dalam hubungan dengan masa kini, masa lampau,
dan masa depannya.
Pengajaran Bahasa Indonesia di SD bukan
sekadar membangun keterampilan simak-bicara, baca-tulis, yakni keempat
keterampilan bahasa pada tingkat awal. Dalam
pengajaran bahasa nasional, anak
didik dengan bahasa yang dikuasainya mesti menghayati sistem kognitif dan
emotif, sistem etik dan estetik, dan membangunnya untuk dirinya. Guru harus
membimbing anak didiknya agar mampu menyerap bahan-bahan itu secara analitis
untuk memperkaya batin si anak dan secara sintetis untuk diterapkan dalam
kehidupannya. Pada dasarnya pendidikan bahasa nasional di SD adalah
pendidikan humaniora untuk membentuk struktur batin dan perilaku pribadi
Indonesia.
Pendidikan Bilingual?
Secara teoretis, anak manusia, termasuk
anak Indonesia tentunya, punya potensi tak terbatas menyerap dan menerapkan
kemampuan lebih dari satu bahasa: katakanlah bahasa Indonesia dan salah satu
bahasa asing atau bahasa Indonesia dan salah satu bahasa warisan (bahasa
daerah). Akan tetapi, hingga kini belum ada penelitian empiris tentang
kemampuan longitudinal anak Indonesia yang biasa berbahasa asing dan
berbahasa Indonesia. Kita hanya punya informasi anekdotal tentang anak-anak
yang lancar bahasa Inggris dalam situasi informal.
Sudah tidak kita temui lagi orang Indonesia
seperti Prof Hussein Djajadiningrat atau Prof Poerbatjaraka yang kreatif
menulis karya ilmiah dalam bahasa asing, dalam hal ini bahasa Belanda.
Sekarang pada zaman globalisasi yang lebih maju ini, ketika kita mempunyai
makin banyak profesor dan ketika kita makin dijajah oleh bahasa Inggris,
jarang kita jumpai penulis Indonesia yang kreatif menulis karya berbahasa
Inggris atau bahasa asing lain.
Kita tahu ada di antara kita banyak yang
mampu berbahasa Indonesia dan dalam situasi tertentu tetap fasih berbahasa
warisan (bahasa daerah). Pertanyaannya: sampai umur berapa? Selamanyakah ajek
dan berimbang? Mampukah orang menggunakan variasi formal dan variasi informal
secara berimbang? Mampukah orang baca-tulis sampai umur lanjut?
Pertanyaan akan lebih banyak lagi tak
terjawab bila masalah bilingualisme diterapkan dalam sistem pendidikan di sekolah.
Bagaimana mungkin kita menjalankan program yang tidak didukung oleh kearifan
masa lalu dan tanpa penelitian ilmiah yang meyakinkan? Pandangan
pro-pendidikan bilingual biasanya dicarikan dukungan pada penelitian tentang
wilayah-wilayah dunia yang mempunyai sejarah, aspirasi nasional, dan situasi
sosiolinguistik yang berlainan dengan negeri kita.
Bahasa Inggris di SD?
Hiruk pikuk tentang pengajaran Bahasa
Inggris berpunca pada ketidakpuasan orang akan kinerja para mahasiswa dan
cendekiawan kita yang kemampuan bahasa Inggrisnya rendah (sehingga di
perguruan tinggi harus diselenggarakan kuliah Bahasa Inggris, padahal bahasa
ini sudah bertahun-tahun diajarkan di sekolah menengah). Banyak warga
masyarakat merasa mampu berbahasa Inggris apabila sudah bisa casciscus dalam
bahasa itu, padahal kita dituntut mampu baca dan tulis yang memadai bila
ingin maju.
Rumpang yang terjadi ini mau dilemparkan ke
pendidikan dasar, padahal semua subsistemnya tidak siap: guru tak
dipersiapkan untuk mengajar bahasa Inggris, apalagi dalam bahasa Inggris;
buku pelajaran tidak ada yang memenuhi syarat. Seperti biasa, pihak yang
lemah, yang tidak mampu bersuara atau mempertahankan diri, yakni jajaran
pendidikan dasar, dijadikan sasaran tembak dan kambing hitam segala masalah
pendidikan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar