Fluktuasi
Harga Komoditas Pertanian
Bustanul Arifin ; Guru
Besar Universitas Lampung dan Ekonom Senior Indef Jakarta
|
KOMPAS,
07 Januari 2013
Selama dua tahun terakhir, pergerakan harga
komoditas pertanian di tingkat global semakin tak menentu. Fluktuasi harga
yang sangat tajam pada periode krisis global 2008-2009 ternyata belum
menemukan tingkat keseimbangan baru. Kini, kian banyak komoditas pertanian
yang rentan terhadap kondisi perekonomian global. Komoditas pertanian yang
amat bergantung pada pasar ekspor umumnya lebih rentan dan berisiko lebih
buruk dibandingkan dengan komoditas yang mampu memiliki pangsa alternatif
pasar domestik yang lebih besar.
Penelusuran lebih mendalam dan lebih
hati-hati terhadap karakter fluktuasi harga dan sifat komoditas pertanian
serta kondisi sosial-ekonomi yang melingkupinya menjadi amat krusial.
Kebiasaan para perumus kebijakan membuat generalisasi dan melihatnya dari
permukaan, keengganan mencermati detail dan menganggap sepele, serta
kesibukan urusan politik murahan dan dimensi pencitraan tidak akan mampu
membuat fondasi pembangunan ekonomi yang lebih beradab dan berkualitas
tinggi.
Beberapa upaya penelusuran lebih rinci akan
diuraikan berikut ini, beserta jalan keluar yang ditawarkan untuk
menanggulangi dan mencegahnya di masa mendatang.
Kelompok komoditas perkebunan mengalami
penurunan harga paling signifikan selama dua tahun ini. Lesunya perekonomian
global ikut mengurangi permintaan terhadap komoditas perkebunan, memicu
kelebihan penawaran dan penurunan harga. Kelompok pangan biji-bijian, seperti
beras, jagung, kedelai, dan gandum, mengalami peningkatan walau tidak
sedrastis tahun 2008. Fenomena ”the cheap food price is over” tampak masih
berlaku, terutama karena kekeringan hebat tahun 2008 di Amerika Serikat,
Rusia, dan Turki sebagai produsen jagung, kedelai, dan gandum dunia. Harga
kelompok daging sapi, daging ayam, pakan ternak, dan udang cenderung naik
karena tingkah laku para produsen yang sulit diduga. Negara yang hanya
terbiasa menggantungkan pada pangan impor justru akan menanggung konsekuensi
ekonomi yang tidak ringan.
Penurunan harga pada kelompok perkebunan
dapat memengaruhi sistem insentif ekonomi yang tercipta dan kegairahan petani
domestik dalam meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Penurunan harga
komoditas ekspor yang terlalu lama berkonsekuensi mengganggu keseimbangan
internal dan eksternal perekonomian. Penerimaan devisa dari ekspor ini sangat
penting untuk membiayai impor barang modal, memperbesar anggaran pembangunan,
agar mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi berkualitas, menyerap lapangan
kerja, mengurangi kemiskinan, dan menciptakan lapangan kerja.
Harga rata-rata karet dunia anjlok dari
4,52 dollar AS per kilogram (kg) tahun 2011 menjadi 3,18 dollar AS per kg
tahun 2012, bahkan menyentuh di bawah 2,90 dollar AS per kg pada Desember
2012. Harga getah karet di tingkat petani mencapai Rp 15.000 per kg atau
kurang, suatu insentif negatif yang cukup berbahaya. Upaya peningkatan
produksi karet sampai 3 juta ton sekalipun belum cukup untuk memperbaiki
kesejahteraan petani karet di dalam negeri.
Dalam jangka pendek, pemerintah harus
segera melakukan diplomasi terukur dengan negara-negara produsen, khususnya
Thailand dan Malaysia, agar bersepakat mengurangi pasokan karet ke pasar
global. Strategi manajemen pasokan ini menjadi ujian awal apakah produsen
karet di negara berkembang mampu memengaruhi harga di tingkat global atau
tidak. Upaya pengembangan industri hilir karet di dalam negeri perlu segera
direalisasikan selagi sedang semangat merealisasikan rencana aksi Rencana
Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia sampai tahun
2025.
Harga rata-rata minyak sawit mentah (CPO)
dunia juga turun drastis dari 1.125 dollar AS per ton tahun 2011 menjadi
1.020 dollar AS per ton tahun 2012 dan jatuh ke kisaran 800 dollar AS per ton
pada Desember 2012. Harga minyak biji sawit (PKO) dunia anjlok sampai Rp 810
per kg, hampir setara dengan harga CPO. Akibatnya, harga tandan buah segar
sawit di tingkat petani rontok sampai Rp 700. Terlalu mahal biaya ekonomi dan
biaya sosial yang ditanggung masyarakat jika produksi CPO mencapai 24 juta
ton.
Pemerintah perlu segera meninjau ulang
kebijakan pungutan ekspor CPO, terutama jika tidak terdapat keterkaitan yang
jelas dengan pengembangan industri hilirnya. Hambatan administratif untuk
sekadar menugaskan dua perusahaan negara perkebunan melakukan investasi di
sektor hilir harus segera dihilangkan. Jika tahun 2013 pemerintah
menyia-nyiakan peluang berharga ini, momentum perbaikan ekonomi sawit juga
akan hilang. Indonesia kembali akan terjebak dalam konflik-konflik horizontal
primitif, perkelahian perusahaan swasta perkebunan dengan masyarakat
setempat, dan kontroversi berkepanjangan tentang emisi karbon dari kebun
sawit.
Sementara Malaysia terus melesat dengan industri makanan dan kosmetik
berbasis sawit serta riset dan pengembangan berteknologi tinggi dalam
pemetaan genetika varietas kelapa sawit.
Cerita yang mirip juga dialami kopi, kakao,
dan teh. Misalnya, harga kopi arabika anjlok dari 5,97 dollar AS per kg tahun
2011 menjadi 4,18 dollar AS per kg tahun 2012. Harga kopi robusta anjlok dari
2,40 dollar AS per kg tahun 2011 menjadi 2,28 dollar AS per kg tahun 2012.
Anjloknya komoditas andalan perkebunan rakyat ini juga sangat memukul basis
perekonomian pedesaan. Belum lagi cerita memilukan dari hancurnya ekonomi teh
Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir karena laju konversi kebun teh
mencapai 2,7 persen per tahun dan laju penurunan produksi teh 2 persen per
tahun. Harga rata-rata teh dunia anjlok dari 2,92 dollar AS per kg tahun 2011
menjadi 2,28 dollar AS per kg tahun 2012.
Pemerintah perlu fokus pada pengembangan
pasar domestik, industri pengolahan, industri makanan dan kuliner berbasis
kopi, kakao, dan teh. Di hulu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus
meningkatkan kualitas kopi dan kakao rakyat, membiasakan petani kopi untuk
petik merah, dan memberikan insentif harga memadai pada kakao berfermentasi.
Pemerintah wajib mencegah rencana konversi 6.000 hektar kebun teh perusahaan
negara tahun 2013 menjadi kegunaan lain. Sistem rantai nilai teh harus
diperbaiki secara total agar tidak dinikmati oleh satu-dua perusahaan teh
berskala besar. Aransemen kelembagaan dan Pasar Lelang Teh Jakarta (Jakarta
Tea Auction) wajib segera dibenahi untuk memberikan kepastian harga bagi
petani teh dan perusahaan perkebunan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar