Kamis, 10 Januari 2013

Menukangi Aturan Mengangkang


Menukangi Aturan Mengangkang
M Nasir Djamil ;   Anggota Komisi VIII DPR RI
REPUBLIKA,  09 Januari 2013



Aceh kembali bikin heboh. Setelah beberapa tahun lalu ada seorang bupati di Aceh mengeluarkan aturan yang melarang kaum perempuan memakai celana jins dan laki laki memelihara jenggot, kini di Kota Lhokseumawe hadir "Kangkang Style from Aceh" (istilah yang berkembang di media sosial).

Wali kota setempat menerbitkan seruan dan imbauan yang melarang kaum perempuan dewasa yang dibonceng dengan sepeda motor oleh laki-laki muhrim, bukan muhrim, suami, maupun sesama perempuan, agar tidak duduk secara mengangkang (duek phang--bahasa Aceh), kecuali dalam kondisi terpaksa atau darurat. Menurut berita yang tersiar, imbauan ini juga pernah dilakukan di kota yang sama pada paruh tahun 2004. 

Kontan saja imbauan itu menuai protes dari sejumlah aktivis perempuan di Aceh. Protes dari kaum hawa itu akhirnya mencuat ke media massa dan media sosial. Tentu saja layaknya seperti sebuah gagasan, imbauan itu menimbulkan pro dan kontra. Pihak yang kontra menilai, imbauan itu sebagai refleksi dari kegalauan menghadapi perubahan sosial yang semakin cepat. Bahkan, kata mereka, imbauan itu menunjukkan sang wali kota sepertinya tidak tahu prioritas. Intinya, dalam pelaksanaan syariat Islam, mereka menilai wali kota masih suka pakai gincu ketimbang menggunakan filosofi garam.

Di samping hal yang kontra tersebut, sejumlah pesan singkat (SMS) juga masuk ke nomor handphone milik sang wali kota. Di antaranya menulis, "Kebijakan tidak boleh mengangkang saat boncengan di motor yang ditujukan kepada perempuan Lhokseumawe telah menunjukkan sikap diskriminasi dan melukai rasa kemanusiaan terhadap perempuan. Bisa Ba pak bayangkan perempuan yang beraktivitas menggunakan fasilitas RBT (sebutan angkutan ojek di Aceh) atau dibonceng setiap harinya bersama anak atau yang lainnya. Sebagian perempuan yang dibonceng itu adalah anak-anak, ibu-ibu yang bila duduk menyamping bisa tidak seimbang dan menyebabkan kecelakaan. Belum lagi sarana transportasi umum di Lhokseumawe, seperti becak relatif mahal. Kondisi jalan di Lhokseumawe masih banyak yang rusak dan berlubang".

Sebagai anggota DPR RI asal Aceh, saya kecipratan sejumlah pertanyaan dari rekan-rekan wartawan yang memberitakan larangan duduk mengangkang ini. Memang --meminjam istilah orang Medan-- agak ngeri-ngeri sedap, saya mengomentari larangan duduk mengangkang tersebut. Sebab dalam permahaman saya, membangun kesadaran di tengah arus Westernisasi (pola hidup kebarat-baratan) dan sekularisasi (memisahkan agama dari kehidupan dunia) saat ini kurang efektif dengan menggunakan pendekatan kekuasaan. 

Kedua arus yang mengiringi masyarakat modern saat ini tentu disadari atau tidak, harus diimbangi dengan pendekatan yang lebih cerdas, berkebudayaan, dan ilmiah. Sebab, perilaku berawal dari pemahaman dan kesadaran yang dibina terus-menerus. Apalagi saat ini rakyat mengalami krisis keteladanan dari para pemegang kekuasaan.
Meminjam pandangannya Antony Zats dalam karyanya Cultural Changes in The Knowlegde, revolusi, teknologi digital, komputer, dan media massa memengaruhi 
pengetahuan peradaban dan memberi pengaruh besar terhadap kebudayaan. 
Kebudayaan tradisional dan teknologi diganti oleh kebudayaan konsumsi, kultur instan, mengutamakan kecepatan perubahan hidup, kekuasaan dan kebebasan rekonstruksi, kebudayaan yang tersamar, kebudayaan tubuh dan seksualitas, Amerikanisasi, serta pemujaan terhadap kekuasaan.

Kombinasi antara prinsip filsafat positivisme-materialisme-hedonisme menjadi cara hidup manusia modern. Cara ini bukan sesuatu yang dipaksakan, namun tumbuh dengan sendirinya menjadi pilihan hidup masyarakat, karena dianggap gampang, praktis, dan instan. Dan, pilihan cara hidup seperti terus berlangsung sampai sekarang. 

Boleh jadi, apa yang dilakukan oleh Pemkot Lhokseumawe itu bukanlah tanpa dasar. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang masih berlaku hingga sekarang, memberikan ruang untuk itu. Undang-undang yang diterbitkan semasa BJ Habibie menjadi presiden RI tersebut mendeskripsikan bahwa keistimewaan merupakan pengakuan dari bangsa Indonesia yang diberikan kepada daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan. Berangkat dari itulah, Aceh dengan undang-undang itu diberi keistimewaan untuk tiga hal, yakni penyelenggaraan kehidupan beragama, adat, dan pendidikan. 

Penyelenggaraan kehidupan beragama di Aceh diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat, dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama. Dalam hal penyelenggaraan kehidupan adat, maka Aceh dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam. 

Bagi sebagian masyarakat yang tinggal di luar Aceh, tentu bertanya, apakah duduk mengangkang itu bertentangan dengan syariat Islam dan adat Aceh? Apakah duduk mengangkang itu tidak mencerminkan kehidupan masyarakat Aceh yang religius dan menjunjung tinggi adat? Apakah duduk mengangkang telah menimbulkan problem sosial di tengah masyarakat dan meningkatkan hasrat birahi laki-laki?

Barangkali sebagian kita setuju bahwa dengan yang bukan muhrim dilarang duduk mengangkang. Lalu bagaimana dengan yang muhrim atau suami. Seperti apa yang disebut dengan kondisi terpaksa atau darurat dalam imbauan itu.
Tentu saja pertanyaan-pertanyaan di atas harus direspons dengan sejumlah data dan fakta serta histori yang jujur, bukan dengan khayalan dan rekayasa.

Karenanya, meskipun imbauan "Kangkang Style" telah ditandatangani oleh wali kota, ketua DPRD, dan Majelis Ulama Kota Lhokseumawe, bukanlah berarti aturan itu tidak bisa dikoreksi.

Kita juga berharap agar sang wali kota tidak akan menaikkan derajat imbauan ini ke tingkat peraturan daerah jika ia menilai seruannya itu tidak dipatuhi oleh kaum perempuan. Sebab, kalau perempuan yang dijadikan alasan, tentu hal itu tidak tepat. "Tapi, kalau untuk memelihara tradisi yang hidup di masyarakat suatu daerah, tidak ada masalah," ujar Menteri Dalam Negeri RI Gamawan Fauzi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar