Menukangi
Aturan Mengangkang
M Nasir Djamil ; Anggota Komisi VIII DPR RI
|
REPUBLIKA,
09 Januari 2013
Aceh kembali bikin
heboh. Setelah beberapa tahun lalu ada seorang bupati di Aceh mengeluarkan
aturan yang melarang kaum perempuan memakai celana jins dan laki laki memelihara
jenggot, kini di Kota Lhokseumawe hadir "Kangkang
Style from Aceh" (istilah yang berkembang di media sosial).
Wali kota setempat menerbitkan seruan dan imbauan yang melarang kaum perempuan
dewasa yang dibonceng dengan sepeda motor oleh laki-laki muhrim, bukan
muhrim, suami, maupun sesama perempuan, agar tidak duduk secara mengangkang
(duek phang--bahasa Aceh), kecuali dalam kondisi terpaksa atau darurat.
Menurut berita yang tersiar, imbauan ini juga pernah dilakukan di kota yang
sama pada paruh tahun 2004.
Kontan saja imbauan
itu menuai protes dari sejumlah aktivis perempuan di Aceh. Protes dari kaum
hawa itu akhirnya mencuat ke media massa dan media sosial. Tentu saja
layaknya seperti sebuah gagasan, imbauan itu menimbulkan pro dan
kontra. Pihak yang kontra menilai, imbauan itu sebagai refleksi dari
kegalauan menghadapi perubahan sosial yang semakin cepat. Bahkan, kata
mereka, imbauan itu menunjukkan sang wali kota sepertinya tidak tahu
prioritas. Intinya, dalam pelaksanaan syariat Islam, mereka menilai wali kota
masih suka pakai gincu ketimbang menggunakan filosofi garam.
Di samping hal yang
kontra tersebut, sejumlah pesan singkat (SMS) juga masuk ke nomor handphone milik sang wali kota. Di
antaranya menulis, "Kebijakan
tidak boleh mengangkang saat boncengan di motor yang ditujukan kepada
perempuan Lhokseumawe telah menunjukkan sikap diskriminasi dan melukai rasa
kemanusiaan terhadap perempuan. Bisa Ba pak bayangkan perempuan yang beraktivitas
menggunakan fasilitas RBT (sebutan angkutan ojek di Aceh) atau dibonceng
setiap harinya bersama anak atau yang lainnya. Sebagian perempuan yang
dibonceng itu adalah anak-anak, ibu-ibu yang bila duduk menyamping bisa tidak
seimbang dan menyebabkan kecelakaan. Belum lagi sarana transportasi umum di
Lhokseumawe, seperti becak relatif mahal. Kondisi jalan di Lhokseumawe masih banyak
yang rusak dan berlubang".
Sebagai anggota DPR RI
asal Aceh, saya kecipratan sejumlah pertanyaan dari rekan-rekan wartawan yang
memberitakan larangan duduk mengangkang ini. Memang --meminjam istilah orang
Medan-- agak ngeri-ngeri sedap, saya mengomentari larangan duduk mengangkang
tersebut. Sebab dalam permahaman saya, membangun kesadaran di tengah arus
Westernisasi (pola hidup kebarat-baratan) dan sekularisasi (memisahkan agama
dari kehidupan dunia) saat ini kurang efektif dengan menggunakan pendekatan
kekuasaan.
Kedua arus yang
mengiringi masyarakat modern saat ini tentu disadari atau tidak, harus diimbangi
dengan pendekatan yang lebih cerdas, berkebudayaan, dan ilmiah. Sebab,
perilaku berawal dari pemahaman dan kesadaran yang dibina
terus-menerus. Apalagi saat ini rakyat mengalami krisis keteladanan dari
para pemegang kekuasaan.
Meminjam pandangannya Antony
Zats dalam karyanya Cultural Changes in
The Knowlegde, revolusi, teknologi digital, komputer, dan media massa
memengaruhi
pengetahuan peradaban dan memberi pengaruh besar terhadap
kebudayaan.
Kebudayaan tradisional dan teknologi diganti oleh kebudayaan
konsumsi, kultur instan, mengutamakan kecepatan perubahan hidup, kekuasaan
dan kebebasan rekonstruksi, kebudayaan yang tersamar, kebudayaan tubuh dan
seksualitas, Amerikanisasi, serta pemujaan terhadap kekuasaan.
Kombinasi antara
prinsip filsafat positivisme-materialisme-hedonisme menjadi cara hidup
manusia modern. Cara ini bukan sesuatu yang dipaksakan, namun tumbuh
dengan sendirinya menjadi pilihan hidup masyarakat, karena dianggap gampang,
praktis, dan instan. Dan, pilihan cara hidup seperti terus berlangsung
sampai sekarang.
Boleh jadi, apa yang
dilakukan oleh Pemkot Lhokseumawe itu bukanlah tanpa dasar. Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh, yang masih berlaku hingga sekarang, memberikan ruang untuk
itu. Undang-undang yang diterbitkan semasa BJ Habibie menjadi presiden
RI tersebut mendeskripsikan bahwa keistimewaan merupakan pengakuan dari
bangsa Indonesia yang diberikan kepada daerah karena perjuangan dan
nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun-temurun
sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan. Berangkat dari itulah,
Aceh dengan undang-undang itu diberi keistimewaan untuk tiga hal, yakni
penyelenggaraan kehidupan beragama, adat, dan pendidikan.
Penyelenggaraan
kehidupan beragama di Aceh diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam
bagi pemeluknya dalam bermasyarakat, dengan tetap menjaga kerukunan hidup
antarumat beragama. Dalam hal penyelenggaraan kehidupan adat, maka Aceh dapat
menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, dan
pengembangan adat serta lembaga adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai
dengan syariat Islam.
Bagi sebagian
masyarakat yang tinggal di luar Aceh, tentu bertanya, apakah duduk
mengangkang itu bertentangan dengan syariat Islam dan adat Aceh? Apakah duduk
mengangkang itu tidak mencerminkan kehidupan masyarakat Aceh yang religius
dan menjunjung tinggi adat? Apakah duduk mengangkang telah menimbulkan problem
sosial di tengah masyarakat dan meningkatkan hasrat birahi laki-laki?
Barangkali sebagian kita setuju bahwa dengan yang bukan muhrim dilarang duduk
mengangkang. Lalu bagaimana dengan yang muhrim atau suami. Seperti apa yang
disebut dengan kondisi terpaksa atau darurat dalam imbauan itu.
Tentu saja pertanyaan-pertanyaan di atas harus direspons dengan sejumlah data dan fakta serta histori yang jujur, bukan dengan khayalan dan rekayasa.
Karenanya, meskipun imbauan "Kangkang Style" telah ditandatangani
oleh wali kota, ketua DPRD, dan Majelis Ulama Kota Lhokseumawe, bukanlah
berarti aturan itu tidak bisa dikoreksi.
Kita juga berharap
agar sang wali kota tidak akan menaikkan derajat imbauan ini ke tingkat
peraturan daerah jika ia menilai seruannya itu tidak dipatuhi oleh kaum
perempuan. Sebab, kalau perempuan yang dijadikan alasan, tentu hal itu tidak
tepat. "Tapi, kalau untuk
memelihara tradisi yang hidup di masyarakat suatu daerah, tidak ada masalah,"
ujar Menteri Dalam Negeri RI Gamawan Fauzi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar