Kamis, 10 Januari 2013

Perlukah Kita Mobil (Pribadi)?


Perlukah Kita Mobil (Pribadi)?
Daniel Mohammad Rosyid ;   Ketua Persatuan Insinyur Indonesia
Cabang Surabaya, Guru Besar Teknik Kelautan ITS
REPUBLIKA,  09 Januari 2013



Seolah diinspirasi oleh Jokowi di DKI Jakarta, banyak wali kota di Indonesia baru saja melewatkan perayaan Tahun Baru 2013 dengan berbagai car free night. Hemat saya, kita sedang bergerak dari car free night tahunan ke car free night bulanan, dan akhirnya menuju car free city (total tanpa mobil).

Kini makin jelas bahwa mobil adalah bagian dari masalah peradaban yang dengan congkak kita sebut modern ini. 

Menko Perekonomian Hatta Rajasa baru-baru ini mungkin baru tahu persis maknanya. Kecanduan pada mobil membuat kita ragu bahwa sebenarnya kita bisa hidup bermartabat tanpa mobil. Dan, kita kehilangan kepercayaan pada kaki kita sendiri untuk sekadar berjalan kaki dan bersepeda di dalam kota.

Mobil adalah gaya hidup Amerika Serikat (AS). Orang-orang AS ini begitu tergila-gila pada mobil, terutama justru yang ber-cc besar. Konsumsi BBM orang AS saat ini sekitar 7000 liter/tahun. Itu 10 kali konsumsi BBM rata-rata orang Indonesia. Adalah Jepang yang memanfaatkan dominansi gaya hidup AS ini ke pasar di seluruh dunia, termasuk Indonesia. 

Karena AS merupakan kiblat peradaban abad ke-20, kita pun ikut-ikutan mengikuti gaya hidup boros energi ini yang diidentikkan dengan modernitas, bahkan simbol sukses kelas menengah. Kita sebenarnya tidak butuh mobil. Kita hanya menginginkannya, tapi tidak membutuhkannya. Yang kita butuhkan adalah akses atau mobilitas. Mobilitas kita butuhkan untuk dua tujuan pokok, yaitu pertama, untuk berinteraksi dengan sesama untuk bekerja, berbelanja, atau hidup bermasyarakat. 

Kedua, mobilitas memiliki nilai intrinsik, yaitu agar kita hidup aktif secara fisik untuk sehat. Tuhan menciptakan kaki agar kita gunakan untuk bergerak. 
Postur tegak kita ditentukan oleh peran kaki dalam lintasan evolusi pithecantropus erectus. Begitu kita malas menggunakan kaki, kita mulai digerogoti penyakit degeneratif, seperti diabetes, darah tinggi, dan penyakit jantung. Selain itu, adalah iklan yang mengatakan bahwa kita butuh sepeda motor ataupun mobil. Dua kendaraan ini dipasarkan dengan tujuan membentuk persepsi bahwa keduanya kita butuhkan sebagai simbol modernitas. Bahkan, mobil dijadikan simbol kesuksesan kelas menengah. Di desa-desa, apalagi di pulau-pulau kecil, anak muda tidak membutuhkan sepeda motor untuk ke sekolah atau mobilitas sehari-hari jarak pendek berkecepatan rendah.

Tapi, coba kita lihat sekarang. Anak SMP kota kecil di Pulau Jawa maupun di luar Jawa malu pergi ke sekolah tanpa bersepeda motor. Kelas menengah kota malu tidak punya mobil walaupun tidak punya rumah sendiri. Jadi, mobil adalah alat angkut yang tidak efi sien. Apalagi, mobil pribadi.

Kebanyakan mobil kita menghabiskan waktu berhenti di garasi rumah, di bengkel saat dirawat, di halaman parkir kantor, mal, rumah makan, dan tempat lain, atau macet di jalan. Jika semua pemilik mobil di kota-kota besar di Indonesia memutuskan berjalan kaki atau naik sepeda di hari kerja, mereka justru akan lebih cepat sampai di kantor masing-masing dan juga lebih cepat sampai di rumah. 

Ini sebuah paradoks mobilitas: orang menyangka dengan mobil pribadi bisa lebih cepat sampai ke kantor, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Mobil bagi banyak orang bukan alat angkut, tapi sekadar simbol kelas menengah.

Jumlah korban tewas di jalan akibat kecelakaan yang melibatkan mobil tinggi sekali, sekitar 30 ribu orang/tahun. Belum yang mengalami cacat tetap. Jumlahnya lebih banyak daripada korban akibat bencana alam atau perang.

Mobil adalah mesin pembunuh manusia yang amat efektif, apalagi di tangan orang yang dipengaruhi narkoba, alcohol, ataupun mengantuk. Jalan sebagai barang publik seharus nya diperuntukkan, terutama untuk angkutan publik, bukan untuk angkutan pribadi, seperti sepeda motor dan mobil pribadi. Tapi, lihatlah nasib angkutan umum nasional kita, tidak bisa diandalkan, tidak nyaman, bahkan akhir-akhir ini justru menjadi sarang kejahatan perampokan dan perkosaan di kota besar, seperti Jakarta.

Ini bukan kesalahan angkutan umum kota, tapi kesalahan para perencana pembangunan yang menomorsatukan kendaraan pribadi dan menomorduakan angkutan umum. Mobil listrik pribadi juga tidak kita butuhkan. Yang kita butuhkan adalah bus ataupun kereta listrik.

Angkutan umum masal yang baik untuk antarkota adalah kereta api, sedangkan untuk di Jawa serta di luar Jawa adalah angkutan sungai. Tapi, angkutan kereta api dan angkutan sungai praktis mengalami stagnasi jika bukan degradasi.                     

Semua beralih ke jalan dan lebih buruk lagi moda jalan pribadi. Oleh karena itu, penting dipikirkan revitalisasi angkutan sungai dan angkutan kereta api.

Opportunity cost yang hilang akibat kecanduan mobil dan jalan ini besar sekali, terutama berupa subsidi BBM yang membebani APBN. Kesenjangan prasarana transportasi di luar Jawa dan keterbelakangan angkutan laut, sungai, penyeberangan. dan kereta api juga terjadi. Kita membutuhkan simbol modernitas baru yang bukan mobil. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar