Perlukah Kita
Mobil (Pribadi)?
Daniel Mohammad Rosyid ; Ketua Persatuan Insinyur Indonesia
Cabang Surabaya, Guru Besar Teknik Kelautan ITS
|
REPUBLIKA,
09 Januari 2013
Seolah diinspirasi oleh Jokowi di
DKI Jakarta, banyak wali kota di Indonesia baru saja melewatkan perayaan
Tahun Baru 2013 dengan berbagai car
free night. Hemat saya, kita sedang bergerak dari car free night
tahunan ke car free night bulanan,
dan akhirnya menuju car free city
(total tanpa mobil).
Kini makin jelas bahwa mobil adalah bagian dari masalah peradaban yang dengan
congkak kita sebut modern ini.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa
baru-baru ini mungkin baru tahu persis maknanya. Kecanduan pada mobil membuat
kita ragu bahwa sebenarnya kita bisa hidup bermartabat tanpa mobil. Dan, kita
kehilangan kepercayaan pada kaki kita sendiri untuk sekadar berjalan kaki dan
bersepeda di dalam kota.
Mobil adalah gaya hidup Amerika Serikat (AS). Orang-orang AS ini begitu tergila-gila
pada mobil, terutama justru yang ber-cc besar. Konsumsi BBM orang AS saat ini
sekitar 7000 liter/tahun. Itu 10 kali konsumsi BBM rata-rata orang
Indonesia. Adalah Jepang yang memanfaatkan dominansi gaya hidup AS ini ke
pasar di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Karena AS merupakan kiblat peradaban
abad ke-20, kita pun ikut-ikutan mengikuti gaya hidup boros energi ini yang
diidentikkan dengan modernitas, bahkan simbol sukses kelas
menengah. Kita sebenarnya tidak butuh mobil. Kita hanya menginginkannya,
tapi tidak membutuhkannya. Yang kita butuhkan adalah akses atau mobilitas. Mobilitas
kita butuhkan untuk dua tujuan pokok, yaitu pertama, untuk berinteraksi
dengan sesama untuk bekerja, berbelanja, atau hidup bermasyarakat.
Kedua,
mobilitas memiliki nilai intrinsik, yaitu agar kita hidup aktif secara fisik
untuk sehat. Tuhan menciptakan kaki agar kita gunakan untuk bergerak.
Postur tegak kita ditentukan oleh
peran kaki dalam lintasan evolusi pithecantropus
erectus. Begitu kita malas menggunakan kaki, kita mulai digerogoti
penyakit degeneratif, seperti diabetes, darah tinggi, dan penyakit jantung.
Selain itu, adalah iklan yang mengatakan bahwa kita butuh sepeda motor
ataupun mobil. Dua kendaraan ini dipasarkan dengan tujuan membentuk
persepsi bahwa keduanya kita butuhkan sebagai simbol modernitas. Bahkan,
mobil dijadikan simbol kesuksesan kelas menengah. Di desa-desa, apalagi di
pulau-pulau kecil, anak muda tidak membutuhkan sepeda motor untuk ke sekolah
atau mobilitas sehari-hari jarak pendek berkecepatan rendah.
Tapi, coba kita lihat sekarang.
Anak SMP kota kecil di Pulau Jawa maupun di luar Jawa malu pergi ke sekolah
tanpa bersepeda motor. Kelas menengah kota malu tidak punya mobil walaupun
tidak punya rumah sendiri. Jadi, mobil adalah alat angkut yang tidak efi
sien. Apalagi, mobil pribadi.
Kebanyakan mobil kita menghabiskan
waktu berhenti di garasi rumah, di bengkel saat dirawat, di halaman parkir
kantor, mal, rumah makan, dan tempat lain, atau macet di jalan. Jika semua pemilik
mobil di kota-kota besar di Indonesia memutuskan berjalan kaki atau naik
sepeda di hari kerja, mereka justru akan lebih cepat sampai di kantor
masing-masing dan juga lebih cepat sampai di rumah.
Ini sebuah paradoks mobilitas:
orang menyangka dengan mobil pribadi bisa lebih cepat sampai ke kantor, tapi
yang terjadi justru sebaliknya. Mobil bagi banyak orang bukan alat angkut,
tapi sekadar simbol kelas menengah.
Jumlah korban tewas di jalan akibat kecelakaan yang melibatkan mobil tinggi
sekali, sekitar 30 ribu orang/tahun. Belum yang mengalami cacat tetap.
Jumlahnya lebih banyak daripada korban akibat bencana alam atau perang.
Mobil adalah mesin pembunuh
manusia yang amat efektif, apalagi di tangan orang yang dipengaruhi narkoba,
alcohol, ataupun mengantuk. Jalan sebagai barang publik seharus nya
diperuntukkan, terutama untuk angkutan publik, bukan untuk angkutan pribadi,
seperti sepeda motor dan mobil pribadi. Tapi, lihatlah nasib angkutan umum
nasional kita, tidak bisa diandalkan, tidak nyaman, bahkan akhir-akhir ini
justru menjadi sarang kejahatan perampokan dan perkosaan di kota besar,
seperti Jakarta.
Ini bukan kesalahan angkutan umum kota, tapi kesalahan para perencana pembangunan yang menomorsatukan kendaraan pribadi dan menomorduakan angkutan umum. Mobil listrik pribadi juga tidak kita butuhkan. Yang kita butuhkan adalah bus ataupun kereta listrik.
Angkutan umum masal yang baik
untuk antarkota adalah kereta api, sedangkan untuk di Jawa serta di luar Jawa
adalah angkutan sungai. Tapi, angkutan kereta api dan angkutan sungai praktis
mengalami stagnasi jika bukan degradasi.
Semua beralih ke jalan dan lebih buruk lagi
moda jalan pribadi. Oleh karena itu, penting dipikirkan revitalisasi angkutan
sungai dan angkutan kereta api.
Opportunity
cost yang hilang
akibat kecanduan mobil dan jalan ini besar sekali, terutama berupa subsidi
BBM yang membebani APBN. Kesenjangan prasarana transportasi di luar Jawa dan
keterbelakangan angkutan laut, sungai, penyeberangan. dan kereta api juga
terjadi. Kita membutuhkan simbol modernitas baru yang bukan mobil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar