Membangun ‘Benteng’
Kultural
Muhammad Zainul Majdi ; Gubernur NTB,
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Wathan
|
REPUBLIKA,
21 Januari 2013
Saya mengikuti dengan
cermat pemberitaan terkait tewasnya lima tersangka teroris dalam aksi
penggerebekan yang dilakukan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri, di
Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, awal bulan lalu. Sejauh ini,
perkembangan pemberitaan terkait hal itu memperlihatkan adanya pro dan kontra
yang muncul di masyarakat.
Di satu sisi, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
menilai, dalam upaya pemberantasan terorisme, khususnya pada Jaringan Poso, Densus 88 Antiteror Polri telah melakukan pelanggaran HAM dalam bentuk penembakan mati tersangka teroris secara tidak prosedural. Di NTB sendiri, muncul aksi elemen masyarakat yang menyatakan, aparat salah tembak terhadap dua dari lima tersangka teroris yang ditembak di Dompu.
Sebaliknya, pihak
Polri menyatakan, dalam menghadapi kelompok terorisme, mereka berhadapan
dengan kelompok yang memiliki senjata api dan bahan peledak. Dalam beberapa
upaya pemberantasan terorisme, ada juga sejumlah polisi yang meninggal. Hal
serupa terjadi di Dompu. Menurut Kapolda, penembakan terjadi karena para tersangka
melawan. Terjadi kontak senjata antara aparat dan para tersangka yang salah
seorangnya memakai jaket bom.
Dua Pendekatan
Saya mendengar dan
sepenuhnya memahami perdebatan yang terjadi.
Apa yang dikemukakan kedua pihak merupakan konsekuensi logis dari pendekatan pemberantasan terorisme yang diambil. Pihak Komnas HAM mengambil pendekatan soft power dengan strategi utama deradikalisasi. Sedang Densus Polri melakukan pendekatan hard power dengan posisi `perang' terhadap terorisme (war against terrorism). Sebagai penjaga nilai-nilai kemanusiaan, Komnas HAM terikat kewajiban agar tidak ada hak-hak kemanusiaan yang terlanggar dalam pemberantasan terorisme. Berbasis sikap ini, memang terdapat tendensi bagi Komnas HAM untuk menentang penggunaan cara-cara kekerasan (koersif) dan ofensif dalam upaya menangkal terorisme. Teroris adalah juga manusia yang kesalahan satu-satunya adalah tata nilai yang dianut dan diyakininya.
Di bawah fungsi
utamanya sebagai penjaga keamanan masyarakat, Polri menyandang beban untuk
membebaskan masyarakat dari rasa tidak aman akibat aksi-aksi kekerasan yang
dilakukan para pelaku terorisme. Teroris adalah pihak pemicu keresahan
masyarakat yang karenanya harus dibasmi. Dan, karena yang dihadapinya adalah
kelompok yang `menghalalkan' kekerasan untuk mencapai tujuan, maka sikap
tegas dan keras dianggap diperlukan.
Kedua pendekatan ini,
harus diakui, bukan tanpa kelemahan. Mengutip pandangan Kepala Pusat Studi
Keamanan dan Perdamaian UGM Drs Muhadi Sugiono MA, war against terrorism salah memahami aksi pemberantasan terorisme
semata-mata sebagai tindakan `perang', karena yang dihadapi adalah warga
negara kita sendiri. Sedang deradikalisasi mengabaikan realitas terorisme
sebagai hal kompleks dengan mereduksi sebab kemunculannya semata karena
pemahaman nilai yang salah.
Saya sendiri berpendapat,
dua pendekatan yang diambil oleh dua institusi yang berbeda ini tidaklah
layak untuk dipertentangkan, melainkan masing-masing berfungsi sebagai
perangkat komplemen untuk pihak lainnya. Untuk jangka pendek, langkah yang
diambil Densus 88 Antiteror Polri bisa dinilai perlu untuk memotong
perkembangan jaringan terorisme. Namun, kritik Komnas HAM juga diperlukan
agar aksi-aksi Polri tetap berada dalam koridor hukum dan HAM berdasarkan
prinsip kehati-hatian.
Dalam beberapa
kesempatan, saya sudah menyampaikan pentingnya masyarakat NTB membangun
semangat menjaga daerah dengan sebuah gerakan kultural. Masyarakat harus
menyadari bahwa masalah-masalah mereka, termasuk masalah keamanan, tidak bisa
sepenuhnya diserahkan kepada aparat di luar masyarakat, misalnya TNI atau
Polri.
Saya mendukung upaya
Polri memberantas terorisme di NTB. Namun, dalam beberapa kesempatan saya
juga menyerukan perlu adanya gerakan secara kultural untuk mengantisipasi
terorisme di wilayah NTB. Terorisme merupakan gerakan yang terbangun dari
dalam diri masyarakat sendiri. Karenanya, setiap strategi pemberantasan
terorisme haruslah berasal dari dalam diri masyarakat dengan cara membangun
sebuah `benteng' kultural.
Belajar dari kasus
tertembaknya lima orang tersangka teroris di Dompu, paling tidak ada dua
fungsi bangunan benteng kultural ini. Pertama, sebagai upaya menahan infiltrasi
`orang asing' di luar komunitas masyarakat yang memiliki nilai kultural
berbeda dengan warga kebanyakan (tidak semua yang tertembak adalah warga
NTB). Kedua, sebagai wahana mengukuhkan ketahanan nilai-nilai lokal yang
mampu memfilter nilai-nilai dari luar yang pro kekerasan.
Kearifan Lokal
Membentuk `benteng'
kultural bisa dilakukan lewat cara reaktualisasi, reformulasi, dan
reinternalisasi nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini tumbuh di
masyarakat. Tiga etnis besar di NTB, yaitu Etnis Samawa yang tinggal di
daerah Sumbawa bagian Barat, Etnis Mbojo dari Pulau Sumbawa Timur (Dompu dan
Bima), dan etnis Sasak penghuni Pulau Lombok memiliki kearifan-kearifan lokal
semacam itu.
Lihatlah Lawas
(ungkapan) Samawa terkait toleransi semisal, "mana tau sabarang
kayu" (walau siapapun itu), "lamin to' sanyaman ate" (jika
mampu menyamankan hati), "ba nan si sanak parana" (maka itu adalah
saudaramu).
Sedangkan, etnis Mbojo di Bima dan Dompu memiliki budaya Maja Labo Dahu atau
malu dan takut. Malu jika melakukan perbuatan tercela, seperti menyakiti
orang lain, dan takut jika perbuatannya itu tidak disukai Tuhan.
Banyak juga ungkapan
kebijakan lokal suku Sasak yang menjunjung tinggi kebersamaan hidup serta
nilai gotong-royong yang tidak membuka pintu bagi eksklusivitas. Hal itu
antara lain tecermin dari ungkapan suku Sasak, "sorong jukung leq segara, bareng onyak bareng lenge"
(mendorong perahu ke laut, baik dan buruk bersama-sama). Perselisihan bukan
budi yang utama karena "sipat anak
empaq, tao pesopok diriq" (sifat anak ikan, bisa menyatukan diri).
Banyak kearifan lokal
di masyarakat seluruh daerah Indonesia yang bisa dijadikan benteng kultural
di masyarakat. Nilai-nilai yang terbukti masih sangat relevan dikembangkan
untuk menghadapi beragam tantangan modernitas yang ada saat ini, termasuk menangkal
terorisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar