Kamis, 10 Januari 2013

Larangan “Ngangkang” dan Ilusi Kepatuhan


Larangan “Ngangkang” dan Ilusi Kepatuhan
Joko Wahyono ;   Analis di Center for Study of Religion and Social-Cultural Diversity UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SINAR HARAPAN,  10 Januari 2013



Setiap perda syariah yang bertendensi untuk mengontrol (baca: membatasi) kaum perempuan di ruang publik selalu memicu polemik. Tak ketinggalan juga kebijakan yang belakangan ramai diperbincangkan di media massa.

Pemerintah Kota Lhokseumawe Aceh dan Dinas Syariat Islam telah menyosialisasikan draf aturan yang berisi larangan bagi perempuan mengangkang ketika duduk di atas atau “boncengan” sepeda motor.

Selain dinilai tidak sesuai dengan syariat Islam karena menyerupai kaum laki-laki, aturan itu juga ditujukan untuk menjaga marwah (harga diri) perempuan Aceh. Secara normatif, tujuan semacam ini tentu merupakan sebuah manifestasi penegakan moralitas yang menjadi salah satu pilar utama bangsa.

Namun, secara implementatif lagi-lagi menggugah kekhawatiran akan sejumlah ancaman yang mendiskriminasikan perempuan. Di sinilah akar polemik yang menggiring banyak pengamat, kaum agamawan, politikus, akademisi, aktivis dan sejumlah kalangan lainnya larut ke dalam pusaran perdebatan yang berkepanjangan.

Seperti sudah menjadi wajah dari perda syariah, di mana setiap kali mempersoalkannya selalu berbuah kontroversi. Sudah tak terhitung berapa banyak aturan daerah berlabel syariah yang berasumsi untuk menegakkan marwah, justru berdampak pada peminggiran peran perempuan di ruang publik serta berpotensi untuk memiskinkannya. Kewajiban perempuan memakai rok dan larangan keluar malam tanpa muhrim bisa menjadi contoh.

Kenyataan ini pada dasarnya menggambarkan hubungan agama versus negara yang belum mencapai titik temu. Negara gagal mengintegrasikan berbagai macam agenda, seperti politik, ekonomi, hukum, budaya dan pendidikan dengan sistem nilai-nilai moral agama sebagai worldview yang diharapkan bisa hidup inherent di tengah masyarakat.

Kondisi ini semakin mendapat legitimasi oleh kebijakan otonomi daerah yang lahir sebagai konsekuensi logis pascabergulirnya agenda desentralisasi. Inilah yang kemudian mengilhami berbagai upaya untuk membawa syariah ke ruang publik. Tren perda syariah, seperti di Aceh ini merefleksikan gejala islamisasi, yakni usaha untuk mengonstruksi masyarakat yang islami melalui otoritas politik lokal.

Kehilangan Otoritas

Kendati demikian, harus diakui bahwa aturan larangan perempuan duduk mengangkang saat berkendaraan bermotor adalah bentuk kelatahan dalam mengartikulasikan ajaran Islam. Kelatahan ini tercermin dari pengabaian nilai-nilai esensial Islam, seperti keadilan dan ide kemanusiaan tanpa diskriminasi baik atas dasar agama, etnis, jenis kelamin yang menjadi dasar filosofi pembentukan sebuah aturan hukum.

Degradasi moral dan lunturnya marwah perempuan juga dipahami secara simplistik, yakni sebagai akibat dari penetrasi budaya “sekuler” yang mencederai kehidupan sosial perempuan. Perempuan diposisikan sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas krisis moralitas.

Di sisi lain, harus diakui pula bahwa nalar keagamaan kita masih cenderung teosentris. Segala permasalahan kemanusiaan dianggap akan selesai apabila dikembalikan kepada teks keagamaan. Nalar ini pada gilirannya juga akan memaksakan sesuatu yang pada dasarnya bersifat profan, seakan-akan harus disakralkan atas nama otoritas syariah.

Mereka seakan lupa bahwa syariah sebagai teks sifatnya tetap, sementara problem kemanusiaan merupakan akibat dari konteks yang selalu berubah. Tak heran jika perda-perda syariah itu cenderung eksklusif. Artinya, penyusunan perda syariah dilakukan secara tertutup, tanpa melalui proses dialog partisipatif dengan melibatkan elemen masyarakat, termasuk kaum perempuan, baik muslim maupun non-muslim.

Pengalaman perempuan sebagai korban juga kerap diabaikan. Padahal, perempuan memiliki seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana kaum laki-laki. Keadilan substansif bagi perempuan adalah manakala sejalan dengan prinsip kemanusiaan. Setiap kebijakan harus merepresentasikan nilai-nilai kemanusiaan itu.

Inilah yang kemudian menyebabkan perda-perda syariah berdampak diskriminatif bagi perempuan dan menimbulkan segregasi yang justru mereduksi nilai agama. Agama ditundukkan ke dalam kepentingan-kepentingan yang berdimensi temporal, lokal atau sektarian. Ajaran agama terpangkas dari nilai-nilai substansial dan ide kemanusiaan. Agama sekadar menjadi alat legitimasi bagi persoalan kehidupan yang terkadang sama sekali bersifat profan untuk kemudian disakralkan.

Kepatuhan Artifisial

Jika demikian, sebenarnya telah terjadi reduksi mendasar terhadap prinsip-prinsip syariah. Syariah yang diterapkan dalam perda bukanlah syariah, tetapi regulasi lokal yang menjadi alat politik dengan mengatasnamakan agama. Artinya, berlakunya perda karena dipaksakan melalui politik kekuasaan dan hanya akan menjadi kebijakan publik biasa dari pemerintah lokal.

Tren perda syariah kehilangan otoritas religiusnya, karena hanya menciptakan ilusi kepatuhan dan ketaatan. Ia menyimpan paradoks, karena hanya memperlihatkan simulasi perilaku religius yang mengajarkan kepalsuan dalam ketaatan. Sebuah kepatuhan artifisial yang semu dan penuh kepura-puraan. Padahal, inti kepatuhan hukum adalah ketulusan dan keikhlasan.

Harga diri kaum perempuan tidak hanya ditentukan oleh penampilan saat berkendaraan. Tak ada landasan teori yang bisa mengklaim bahwa perempuan yang duduk mengangkang kala bersepeda motor bisa serta-merta disebut sebagai perempuan amoral dan melanggar syariat Islam.

Jika benar larangan mengangkang tersebut disahkan menjadi perda syariah, belum tentu menjamin tegaknya marwah kaum perempuan. Begitu pula kepatuhan kepada aturan tersebut bukan berarti didasari oleh rasa keimanan, ketulusan dan kesadaran yang tinggi. Karena bisa jadi sekadar refleksi ketakutan masyarakat kepada aturan syariah yang dipaksakan oleh penguasa.

Dengan kata lain, kepatuhan hukum masyarakat bukan akibat dari situasi objektif yang tercipta, melainkan karena ketakutan kepada aparat pemerintah yang dipersepsikan menjalankan tugas atas nama Tuhan.

Terlepas dari itu semua, Tuhan tidak pernah menilai manusia dari sisi simbol dan retorika, apalagi klaim-klaim sepihak sebagaimana perda larangan mengangkang bagi kaum perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar