Kontestasi
Perda Syariah
Donny Syofyan ; Dosen Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas
|
REPUBLIKA,
10 Januari 2013
Edaran pelarangan perempuan mengangkang saat diboncengkan di
sepeda motor mulai ditempel di tempat-tempat umum di Lhokseumawe, Aceh.
Edaran itu berlaku tiga bulan sebelum diteken menjadi peraturan wali kota.
Sebagaimana diketahui, dalam pidatonya untuk menyambut Tahun Baru, Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya mengumumkan rencananya untuk memberlakukan perda yang akan melarang wanita dari duduk mengangkang saat berboncengan sepeda motor dengan alasan bahwa hal demikian memancing pengendara laki-laki melakukan kejahatan. Lebih lanjut ia mengungkapkan, hal tersebut untuk melindungi perempuan dari kondisi yang tidak diinginkan.
Tidak pelak rencana pemberlakukan perda ini menghebohkan banyak
pihak di republik ini. Resistensi terbesar muncul dari kalangan aktivis HAM,
kaum feminis, dan Islam liberal. Dalam sebuah program di TV One, Ulil Abshar
Abdalla, pentolan Jaringan Islam Liberal, mempertanyakan syariat yang
melarang perempuan pakai celana jins dan duduk mengangkang di motor.
Hematnya, tak ada hukum atau fikihnya. Tidak ada syariat Islam yang mengatur
soal duduk mengangkang, seperti halnya tidak ada hukum yang mengatur
perempuan naik unta mengangkang atau tidak.
Sekilas apa yang diutarakan Ulil atau tokoh-tokoh Islam liberal
boleh jadi memiliki logika tersendiri. Bagi kelompok ini, perda syariah atau
qanun bukanlah syariat itu sendiri. Jika syariat sebagai jalan menuju Tuhan
seharusnya lentur, apalagi qanun yang diproduksi oleh kecenderungan politik
yang tidak sehat.
Dalam banyak gagasan dan pemikiran mereka, kalangan Islam liberal tersebut
kerap berdalih bahwa penerapan syariat di banyak daerah merupakan wujud
betapa Islam tidak bisa memainkan peran pembebasannya dan tidak bisa
mengurusi yang substansial dalam agama. Karena itulah, yang diurus pasti yang
teknis-partikular, semisal aurat, jilbab, sampai larangan duduk mengangkang.
Hanya, perdebatan ini sejatinya meninggalkan kesalahpahaman yang meluas
tentang hakikat perda tersebut.
Banyak yang tidak memahami pokok persoalannya. Sebetulnya, yang
dipersoalkan tentang perempuan yang duduk mengangkang di belakang pengendara
sepeda motor adalah dalam relasinya dengan yang bukan muhrim.
Cara duduk demikian dianggap tidak santun dan etis karena memungkinkan persentuhan
dada perempuan dan punggung laki-laki. Keadaan demikian bukan saja merangsang
munculnya berahi bagi yang binal, melainkan memberikan pandangan yang tidak
elok bagi masyarakat yang melihatnya.
Ketidaknyaman publik ini mendorong pemerintah daerah untuk
mengeluarkan peraturan yang mencegah terjadinya kemungkinan yang tidak baik.
Seyogianya perda pelarangan perempuan mengangkang saat diboncengkan di sepeda
motor di Lhokseumawe atau Aceh ini juga dibarengi dengan perda-perda lain
yang menyentuh isu-isu yang tak kalah dahsyatnya melahirkan penyakit masyarakat,
misal perda larangan berpacaran. Sebab, apa bedanya naik becak motor dan
mobil dengan pacar yang bukan muhrimnya? Lebih parah kalau naik mobil
karena bisa lebih merapat dan melakukan hubungan layaknya suami-istri di
mobil. Jadi, di samping pengaturan masalah mengangkang sebaiknya juga
mengatur persoalan muda-mudi yang pacaran, apalagi yang naik motor dan mobil.
Benar bahwa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dihadapkan
oleh hal yang
tak kalah peliknya. Berdasarkan data yang dirilis oleh Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) pada 2012 lalu, ditemukan
bahwa Aceh adalah provinsi terkorup ke-2 setelah DKI Jakarta dengan kerugian
negara Rp 669,8 miliar dan 620 kasus. Karenanya, pendekatan syariah
holistik seharusnya juga bekerja ke arah sana, misalnya dengan melahirkan
perda syariah antikorupsi atau perda syariah menyangkut kesejahteraan ekonomi,
pendidikan, dan kesehatan untuk kaum perempuan. Qanun seharusnya juga perlu
bergerak progresif mengadvokasi perempuan-perempuan tertindas atau yang
menjadi korban, seperti dalam banyak kasus pemerkosaan.
Pola pikir pemerintah dan politisi harus diubah dari
kecenderungan mengendalikan perempuan pada membujuk masyarakat untuk
mengakhiri budaya mengambinghitamkan korban (perempuan) dan menekan laki-laki
untuk menahan diri dari melakukan tindakan perkosaan. Ada kebutuhan mendesak
untuk hal demikian mengingat kita kini tengah melakukan sebuah kezaliman besar
kepada perempuan dengan melemahkan mereka dalam banyak hal selaku korban.
Sebaliknya, kerap pelaku pemerkoaan yang sebenarnya dibiarkan
begitu saja.
Para pelaku sadar bahwa sebagian besar kasus perkosaan tersebut tidak mencapai pengadilan karena stigma sosial yang melekat pada korban dan keluarga mereka jika mengajukan laporan.
Benar bahwa kecelakaan sepeda motor bukan disebabkan cara duduk
yang dibonceng, melainkan karena kedisiplinan berkendara. Namun demikian, Aceh
lebih mengerti apa yang dibutuhkannya. Tak perlu orang luar reaktif mencibir
kebijakan di sana. Perbaiki saja diri sendiri, apa sudah benar berkendara,
apa sudah benar aurat dijaga. Itulah masalah sebenarnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar