Kepemimpinan
Teruji
R William Liddle ; Profesor Emeritus Ohio State University, Columbus, Ohio, AS
|
KOMPAS,
10 Januari 2013
Dalam sistem presidensial,
sulit sekali menilai apakah seorang presiden berhasil atau tidak. Hal itu
berbeda dengan sistem parlementer, tempat perdana menteri dipilih dan
dijatuhkan oleh mayoritas anggota parlemen.
Sebaliknya,
dalam sistem presidensial, presiden dan badan legislatif nasional terpilih
dalam pemilihan umum terpisah. Salah satu tidak bisa menjatuhkan yang lain.
Saya
teringat pada realitas itu ketika Dewan Perwakilan Amerika Serikat meluluskan
rencana undang-undang pajak dalam suasana krisis, pada 1 Januari 2013,
beberapa jam sebelum pajak pendapatan kebanyakan warga akan otomatis
dinaikkan. Pada waktu yang sama sejumlah anggaran penting terancam dipotong
drastis.
Krisis
itu—dijuluki fiscal cliff, jurang fiskal—diciptakan bersama dan sengaja
oleh para pemim- pin Dewan Perwakilan dan Senat menjelang pemilu November
2012. Tujuannya memaksakan semua pihak (Dewan Perwakilan dan Senat) dan
partai (Demokrat dan Republik) menyelesaikan sengketa mereka yang telah
berlangsung sejak Pemilu 2010 ketika Dewan Perwakilan dikuasai kembali oleh
Partai Republik.
Sejak
itu kaum Republik mendesak terus supaya pajak pendapatan tidak dinaikkan buat
siapa pun, terutama pebisnis kaya, basis politik mereka. Sementara itu, kaum Demokrat,
yang merupakan mayoritas di Senat, bersama Presiden Barack Obama yang juga
Demokrat, menuntut kenaikan tarif pajak bagi semua warga yang berpendapatan
200.000 dollar AS atau lebih per tahun.
Tuntutan-tuntutan
itu mencerminkan perbedaan filsafat politik yang mendasar. Partai Demokrat
mau memperluas sendi-sendi welfare state, negara kesejahteraan, yang
didirikan pendahulu mereka. Partai Republik mau kembali kepada asas negara
kecil, tempat pasar ekonomi dibiarkan berjalan sendiri.
Versi
RUU yang diluluskan Dewan Perwakilan merupakan hasil rumusan Wapres Joseph
Biden bersama Senator Mitch McConnell, pemimpin partai minoritas di Senat.
Intinya sebuah kompromi: pajak akan dinaikkan buat semua orang yang
berpendapatan lebih dari 400.000 dollar AS. Wapres Biden adalah tokoh Partai
Demokrat yang dipilih dalam satu paket bersama Presiden Barack Obama pada
pemilu November lalu. Senator McConnell, dari Partai Republik, mewakili
Negara Bagian Kentucky dan diangkat sebagai pemimpin minoritas di Senat oleh
rekan-rekannya separtai.
RUU
itu diluluskan dulu di Senat dengan mayoritas mutlak, 89-8 suara, berkat
kerja sama Demokrat, selaku partai mayoritas, dan Republik, minoritas di
badan itu. Hasilnya dibawa ke Dewan Perwakilan, yang dipimpin oleh Speaker
(Ketua) John Boehner, tokoh Republik yang mewakili Negara Bagian Ohio.
Boehner
sendiri dianggap moderat, tetapi sejumlah besar anggotanya menganut garis
keras. Mereka telah bersumpah tak akan menaikkan pajak siapa pun dan kapan
pun. Akhirnya RUU itu lulus, 257-167 suara, berkat dukungan 172 Demokrat.
Hanya 85 anggota Dewan dari Partai Republik mendukung, sementara 151 Republik
menolak.
Siapa
yang bertanggung jawab atas keberhasilan ini? Bagi saya, dua pilihan Presiden
Obama memainkan peran penting, tetapi tidak mutlak menentukan. Pertama,
komitmen tegasnya kepada kenaikan pajak. Hal itu dicanangkan pada awal
kampanye pemilihan presiden dan diulangi berkali-kali sampai hari pemilihan.
Ketika Obama menang, diakui umum bahwa presiden terpilih diberi mandat
menaikkan pajak orang kaya. Kenyataan itu sulit ditampik Partai Republik
meski mereka masih menguasai mayoritas di Dewan Perwakilan.
Kedua,
sejumlah pilihan taktis demi takluknya penganut garis keras di Dewan
Perwakilan. Dalam hal itu Wapres Biden memainkan peran kunci. Tindakannya
mengingatkan saya kepada peran Wapres Jusuf Kalla dalam penyelesaian masalah
separatisme Aceh beberapa tahun silam. Biden diperbolehkan atau ditugasi
Obama (kita belum tahu mana yang benar) untuk berunding dengan McConnell,
sang pemimpin Republik di Senat. Hasilnya: suatu rumusan RUU yang cukup
matang untuk menarik dukungan hampir semua senator.
Konsensus
itu merupakan tekanan berat bagi kaum Republik di Dewan Perwakilan, termasuk
Boehner. Ia merasa terpaksa membiarkan seluruh Dewan menentukan apakah RUU
itu akan lulus atau tidak.
Ternyata
dalam sistem presidensial tak mudah ditebak siapa yang patut dipuji dan
dicela. Dalam kasus ini, Presiden Obama tak mungkin mencapai tujuannya tanpa
bantuan Wapres Biden dan Senator McConnell dari partai lawan. Mereka bertiga
berhasil mengakali Boehner di Dewan Perwakilan.
Ke
depan, saya semakin percaya bahwa Obama akan berhasil pada masa
pemerintahannya yang kedua. Tantangannya tentu masih berat. Namun, dia telah
membuktikan kemampuannya menciptakan visi besar serta merancang strategi dan
taktik yang tepat, mengingat kesempatan dan kendala yang dihadapinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar