Kembali ke
Khitah
Sulastomo ; Koordinator Gerakan Jalan Lurus
|
KOMPAS,
16 Januari 2013
Laporan diskusi panel
Kompas (8/1) cukup menarik. Temanya, ”Menyusun Konsensus Baru”. Hasilnya?
Dalam laporan itu dibahas peran negara, cita-cita keadilan sosial,
pengelolaan sumber daya alam, cita-cita negara kesejahteraan, pengentasan
rakyat miskin, dan ketenagakerjaan. Semuanya sebenarnya sudah merupakan
pembicaraan sejak negara ini didirikan.
Mengesankan
karena konsensus baru itu merupakan otokritik, menyadari kondisi bangsa yang
masih jauh dari cita-cita pendiri bangsa ini. Konsensus baru itu, dengan demikian,
merupakan ajakan untuk kembali ke cita-cita UUD 1945, ajakan untuk kembali ke
khitah buat apa negara ini didirikan.
Perjalanan
bangsa ini, meski telah memasuki 67 tahun merdeka, selalu mengalami gelombang
pasang surut yang sering drastis sehingga jalannya penyelenggaraan negara
tidak konsisten. Hal ini sudah tentu berdampak pada pencapaian tujuan
bernegara yang kurang optimal.
Tatanan
kenegaraan kita pernah menganut sistem parlementer yang kehidupan politiknya
sangat dinamis, kabinet jatuh bangun dalam hitungan bulan, sehingga
melahirkan instabilitas politik dan pergolakan daerah yang hendak memisahkan
diri.
Pemilu
pertama di era itu (1955) yang dianggap pemilu paling demokratis berujung
pada dibubarkannya produk pemilu itu sendiri (Konstituante) pada 1959 melalui
Dekret Presiden, yang juga memberlakukan kembali UUD 1945. Sebabnya,
kegagalan Konstituante menyepakati dasar negara. Sejak itu, secara formal
Indonesia berdasar Pancasila dan UUD 1945 meski wujudnya terbagi di era Orde
Lama dengan demokrasi terpimpin (1960-1965) dan di era Orde Baru dengan
demokrasi Pancasila (1967-1998).
Pada
1998, Indonesia memasuki era reformasi disertai perubahan UUD 1945 pada 2002.
Sejak itu kita memasuki era baru, demokratisasi, otonomi daerah, serta
keterbukaan ekonomi dan politik. Apa yang kemudian terjadi?
Diskusi
panel Kompas dengan jelas menggambarkan khususnya di bidang ekonomi betapa
kita sekarang prihatin dengan kondisi sumber daya alam, kesenjangan ekonomi
yang semakin lebar, sehingga koefisien Gini mencapai 0,41 di tengah
pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Semua itu melahirkan kesadaran perlunya
membangun konsensus baru yang ternyata sejalan dengan aspirasi yang
menginginkan untuk kaji ulang UUD 1945 perubahan. Rupanya, segala sumber
keprihatinan itu dinilai dari perubahan UUD 1945 yang memberi legitimasi
keadaan sekarang.
Reformasi,
dengan kata lain, perlu diluruskan kembali sebab bila kondisi seperti
sekarang terus berlanjut, Indonesia masa depan benar-benar menjadi Indonesia
baru yang tidak sesuai dengan cita-cita buat apa negara ini didirikan.
Kondisi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya kita sekarang
seakan-akan telah memperoleh legitimasi sehingga sudah sistemik. Tentu akan
sangat tidak mudah membangun konsensus baru sebagaimana disampaikan dalam
diskusi panel Kompas. Pendekatan
Yang
diperlukan sekarang adalah menyadari pencapaian kita sejak era Reformasi.
Benar, pertumbuhan ekonomi kita cukup tinggi. Namun, siapa yang menikmati
pertumbuhan ekonomi itu kalau ternyata kesenjangan sosial semakin melebar
yang ditunjukkan oleh koefisien Gini 0,41? Siapa yang menguasai sumber daya
alam, pasar Indonesia yang begitu besar, bahkan bursa saham kita? Kalau asing
telah menguasai semua itu, siapa yang lebih menarik keuntungan dari Indonesia
yang sangat menggiurkan bagi investor dan pasar barang/jasa apa saja itu? Hal
ini juga ditunjukkan dengan terjadinya defisit neraca perdagangan kita untuk
kali pertama sejak 50 tahun yang lalu.
Meskipun
perubahan UUD 1945 masih menggunakan nama UUD 1945, kondisi yang disampaikan
dalam laporan diskusi panel Kompas
Tujuan
negara kita tersua dalam Pembukaan UUD 1945.
Butir-butir
dalam UUD 1945 sebenarnya sejalan dengan konsensus baru sebagaimana
disampaikan diskusi panel itu. Sayang, Pasal 33 tentang Perekonomian Nasional
belum terumuskan dalam satu kebijakan yang dilandasi UU. Karena itu, ada
baiknya DPR atau pemerintah menyampaikan inisiatif terbentuknya UU tentang
perekonomian nasional. Hal ini diperlukan agar arah perekonomian Indonesia
tidak terombang-ambing oleh globalisasi, yang akan melahirkan Indonesia baru
yang tidak sesuai dengan cita-cita buat apa negara ini didirikan.
Hal
ini diyakini bahwa dengan kembali ke khitah ke UUD 1945, perekonomian
Indonesia akan justru mampu tumbuh lebih tinggi dengan pemerataan yang
semakin baik sehingga wujud keadilan sosial, wujud negara yang adil dan
makmur semakin didekati. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar