Jumat, 11 Januari 2013

Blusukan dan Kepemimpinan SBY


Blusukan dan Kepemimpinan SBY
Sidrataht A Mukhtar ;  Dosen Tetap Ilmu Politik Fisipol UKI dan PTIK
SINDO,  11 Januari 2013



Aksi inspeksi mendadak (sidak) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke tempat pelelangan ikan di Tanjung Pasir, Tangerang, menuai kontroversi publik. 

Sebab tradisi sidak atau blusukan seperti yang dilakukan 4 Januari 2012 lalu itu tidak biasa dalam kepemimpinan SBY selama ini. Setiap agenda dan program Presiden SBY selalu formal, terencana, sistemik, dan paradigmatik sebagaimana yang menjadi model kepemimpinan SBY selama ini. 

Transformasi 

Perubahan gaya kepemimpinan SBY sangatlah relevan bagi masyarakat Indonesia saat ini yang memandang pemerintahan dan kekuasaan secara luas dijadikan sebagai tempat untuk memperkaya diri, melayani diri sendiri, dan bahkan mengalami berbagai penyalahgunaan wewenang seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. 

Dalam sistem pemerintahan presidensialisme yang kita terapkan sejak Pemilu 2004 dan terus dilakukan pembenahan hingga kini, transformasi gaya kepemimpinan Presiden memiliki dampak yang luas bagi institusi, elite-elite penentu, dan kekuatan- kekuatan masyarakat sipil dalam membangun masyarakat Indonesia ke depan. 

Asumsinya, bila terjadi perubahan di level elite pemerintahan, akan terbuka peluang untuk membangun visi dan konsensus sosial baru dengan masyarakat. Antara para elite dengan masyarakat akan terjadi mekanisme baru dalam tata kelola publik,khususnya proses pengambilan keputusan publik yang dapat membawa kebaikan, keadilan,dan demokratis. 

Perlu diperhatikan juga perkembangan terkini dalam era informasi dan teknologi canggih terdapat mekanisme yang melintasi batas antara rakyat dengan penguasa di mana penguasa di sebagian besar level pemerintahan sudah menggunakan media informasi canggih itu seperti melalui BlackBerry, internet, group mailing list, dan media online lainnya. Hal ini berarti bahwa akses publik makin mudah semisal melakukan konsultasi publik dan akses langsung kepada elite pemerintahan yang berkuasa. 

Berdasarkan pengalaman penulis dalam mengikuti Legislative Fellow Program (LFP) di Kongres Amerika dan pemerintahan kota tahun 2010, akses publik yang cepat dan terukur dalam layanan pemerintahan dan pengambilan kebijakan publik dapat sukses dilaksanakan dengan baik karena beberapa faktor.

Pertama, antara masyarakat dan elite penguasa (pemerintah, parlemen, dan lainnya) telah sama-sama “melek” (terdidik) dalam pranata sistem politik mereka yang otonom. Kedua, suksesi dan seleksi kepemimpinan dan rekrutmen elite penguasa mereka yang dilakukan melalui mekanisme konvensi politik dan partai politik. 

Sistem politik presidensialisme dan format kepartaian mereka sangatlah mapan, aspiratif, dan demokratis sehingga proses seleksi kepemimpinan dapat dilakukan dengan tepat, profesional, dan murah. Dalam sistem Amerika Serikat, murahnya proses seleksi dan suksesi politik sangat menentukan kualitas, integritas, dan murninya keinginan kader-kader politik lokal maupun nasional. 

Di samping dana politik dikelola LSM, forum, dan lembaga fund rising yang independen dan bersih-berwibawa, yang mana dana hasil sumbangan warga tersebut betul-betul dipergunakan untuk mencari pemimpin yang berkualitas tinggi, bervisi kerakyatan, dan sebagainya. 

Bandingkan dengan pengalaman politik bangsa Indonesia yang seleksi kepemimpinan politik dan program turun gunungnya calon-calon pejabat negara (seperti presiden, gubernur,dan parlemen) efektif pada masa kampanye, sedangkan sesudah itu mereka sudah tidak memiliki waktu yang cukup untuk turun langsung ke rakyat. 

Alternatif 

Bagi SBY blusukan (sidak) merupakan alternatif dalam berinteraksi dengan masyarakat. Seiring dengan citra politik Presiden SBY dan Partai Demokrat yang semakin turun tingkat kepercayaan publiknya, maka blusukan SBY seperti yang dijelaskan Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparingga memiliki tiga strategi. 

Pertama, gaya kepemimpinan SBY akan lebih langsung dan tak berjarak dengan masyarakat. Kedua, manajemen dan kepemimpinan presiden akan berorientasi pada solusi di lapangan. Ketiga,sering berada di lapangan dan lakukan kunjungan incognito atau kunjungan mendadak. 

Ketiga strategi baru SBY di atas dilakukan menjelang masa berakhirnya periode pemerintahan SBY dan dinilai sebagai upaya untuk menyelamatkan kepentingan Partai Demokrat dalam Pemilu 2014. Selain itu untuk mengantisipasi kurang efektifnya kinerja para anggota kabinet yang berasal dari partai politik yang harus menyelamatkan kepentingan partai masing-masing dalam kontestasi politik legislatif dan Pilpres 2014. 

Perubahan gaya itu penting dalam format presidensialisme campuran seperti Indonesia. Seperti studi Scott Mainwaring (1993) yang menemukan kelemahan mendasar sistem presidensialisme yang dikombinasikan dengan multipartai. Mainwaring mengatakan sistem ini cenderung menghasilkan kelumpuhan akibat kebuntuan hubungan eksekutif-legislatif yang mengarah pada instabilitas demokrasi. 

Polarisasi ideologi partai politik dan sulitnya membangun sistem koalisi antarpartai politik sehingga menurut Mainwaring dapat merusak stabilitas demokrasi. Oleh karena itu, blusukan yang menjadi tren baru SBY tersebut patut didukung semua pihak agar meningkatkan kualitas berdemokrasi di negeri ini. 

Kita menyadari praktik demokrasi Indonesia masih baru dan membutuhkan pematangan proses berdemokrasi (to mature democracy) untuk menciptakan keadilan, rule of law, dan kesejahteraan masyarakat. Bila blusukan SBY itu dapat dilakukan dengan efektif,hal itu dapat meningkatkan optimisme dan partisipasi publik dalam memecahkan berbagai masalah bangsa,mulai dari kemiskinan, pelanggaran HAM,terorisme, konflik sosial, lingkungan hidup sampai pada upaya mengatasi korupsi, penyalahgunaan wewenang lainnya dan moralitas di kalangan elite. 

Di samping itu, blusukan SBY diharapkan menjadi inspirasi baru bagi pimpinan lembaga negara, para menteri, dan kepala daerah dalam menjalankan kepemimpinan pada tingkatnya masing-masing. Sebagian besar elite yang berkuasa di pusat maupun di daerah itu dipandang masyarakat kurang aspiratif dan memiliki relasi yang tidak sejalan dengan masyarakat. Akibatnya, kebijakan dan pelaksanaannya tidak tepat sasaran dan bahkan terkesan menghambur-hamburkan anggaran negara. 

Kita menunggu sejauh mana SBY dapat merealisasikan komitmen dan strateginya dalam membangun kedekatan dengan rakyat dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dengan cepat dan adil bagi semua sehingga presiden SBY dapat mengakhiri periode pemerintahannya dengan baik dan kepemimpinan nasional dapat dilakukan secara berkesinambungan dalam sistem presidensialisme yang berlaku di Indonesia saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar