Selasa, 15 Januari 2013

Belajar Kelautan dari China


Belajar Kelautan dari China
Rokhmin Dahuri ;  Ketua DPP PDIP Bidang Maritim dan 
Perikanan Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia
SINDO, 15 Januari 2013



Awal Juni 2005, penulis diundang memberikan kuliah umum di Shanghai Maritime University dan Shanghai Fisheries University. Kemudian 28 September 2012 tahun lalu, kembali diundang memaparkan strategi kerja sama bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kelautan antara Indonesia dan China di Guangdong Ocean University.

Awal Juni 2005, penulis diundang memberikan kuliah umum di Shanghai Maritime University dan Shanghai Fisheries University. Kemudian 28 September 2012 tahun lalu, kembali diundang memaparkan strategi kerja sama bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kelautan antara Indonesia dan China di Guangdong Ocean University.

Ada tiga hal sangat penting yang bisa menjadi pelajaran bagi kita bangsa Indonesia. Pertama, sejak dua dekade terakhir di setiap provinsi yang memiliki wilayah laut, dibangun sedikitnya satu universitas kelautan, universitas maritim, atau universitas perikanan. Kedua, fakultas pertanian justru berada di bawah naungan universitas kelautan atau universitas perikanan.Ketiga, bahwa sejak awal diberlakukannya sistem ekonomi pasar dan modernisasi China oleh Presiden Deng Xiaoping pada 1979, orientasi pembangunan kelautan menjadi platform pembangunan Negeri Tirai Bambu tersebut.

Pembangunan infrastruktur, industrialisasi, dan kawasan ekonomi khusus secara masif dan kolosal diawali dari wilayah pesisir, mulai pantai selatan seperti Kota Shenzhen dan Guangzhou hingga pantai utara seperti Shanghai dan Dalian. Pelabuhan laut kelas dunia, industri galangan kapal, elektronik, automotif, IT, perikanan tangkap, budi daya laut, bioteknologi kelautan, dan beragam industri lainnya dibangun di sepanjang wilayah pesisir.

Setelah itu, baru dibangun wilayah-wilayah darat di bagian hulu (upland areas) sesuai dengan potensi lokalnya. Lalu, antara wilayah hulu, pesisir, dan lautan dihubungkan dengan infrastruktur dan sarana perhubungan (darat, laut, dan udara) yang sangat memadai dengan kualitas internasional. Strategi pembangunan wilayah semacam “membakar obat nyamuk” (berawal dari penggir/ laut menuju tengah/darat) inilah yang membuat ekonomi China sangat efisien dan kompetitif (Zhu Rongji,2006).

Hasilnya, hanya dalam dua dekade China mampu mentransformasi dirinya, dari bangsa terbelakang dan miskin sebelum 1979 menjadi bangsa maju dan makmur sejak 2000. Pertumbuhan ekonomi rata-rata dalam 20 tahun terakhir mencapai 10% per tahun. Sejak 2011, besaran ekonomi (PDB) China menempati urutan kedua di dunia, dan diperkirakan bakal menggeser posisi jawara AS tahun depan (IMF, 2012).

Dalam bidang kelautan, China menjadi produsen perikanan terbesar (65 juta ton), produsen kapal terbesar kedua di dunia, dan kini memiliki kekuatan hankam maritim serta menguasai iptek kelautan setingkat dengan AS dan negaranegara maju lainnya. Ke depan di bawah kepemimpinan Sekjen Partai Komunis China Xi Jinping yang akan dilantik sebagai presiden Maret tahun ini menggantikan Hu Jintao, China dipastikan bakal lebih mengandalkan laut sebagai sumber pangan, energi, mineral, dan SDA lainnya.

Orientasi kebijakan ini tercermin pada agresivitas China dalam memperebutkan klaim wilayah atas Laut China Selatan berhadapan dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei. Di wilayah laut yang diperebutkan lima negara itu, terkandung sumber daya ikan sedikitnya tiga juta ton/tahun, cadangan migas yang sangat besar, dan berbagai mineral lainnya.

Pemerintah China juga mendorong dengan berbagai insentif kepada armada perikanan nasionalnya untuk menjadi “ocean-going fishing fleets” menangkap ikan di wilayah-wilayah perairan laut internasional (high seas) dan bahkan di wilayah-wilayah laut miliki negara lain. Tampaknya para pemimpin China sangat memahami, bahwa dengan terus bertambahnya jumlah penduduk, sementara lahan produksi di daratan kian menyempit, maka laut merupakan the last resort bagi kemandirian pangan, energi, dan SDA lainnya.

Lebih dari itu, fakta sejarah juga membuktikan, bahwa kekuasaan dunia pada umumnya direngkuh melalui kendali di lautan. Doktrin kelautan inilah yang dilakukan oleh Imperium Romawi, Islam, Inggris, Spanyol, Belanda, hingga pada era pasca-Perang Dunia yang menghadirkan kejayaan dan hegemoni AS.

Kerugian Abaikan Laut 

Bagi bangsa Indonesia,strategi pembangunan China yang berorientasi pada lautan (ocean-based development) seperti di atas sangatlah menarik sekaligus ironis. Pasalnya, China hanya memiliki luas laut sekitar 25% dari seluruh wilayah negaranya. Sementara Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 13.487 pulau dan 75% wilayahnya berupa laut, platform pembangunannya sejak masa kolonialisme sampai sekarang berorientasi pada daratan (landbased development).

Paradigma pembangunan berbasis daratan ini diyakini telah menyebabkan pembangunan ekonomi Indonesia kurang efisien dan berdaya saing. Begitu banyak potensi pembangunan di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut yang hingga kini belum tergarap secara optimal alias mubazir. Sedikitnya ada 11 sektor ekonomi kelautan yang dapat dikembangkan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa, yakni: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) ESDM (energi dan sumber daya mineral),(6) pariwisata bahari, (7) hutan pantai (mangroves), (8) perhubungan laut, (9) industri dan jasa maritim, (10) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil,dan (11)sumber daya nonkonvensional.

Total nilai ekonomi kesebelas sektor itu diperkirakan mencapai USD1 triliun, tujuh kali lipat APBN 2012, atau sedikit lebih besar dari PDB Indonesia saat ini. Kesempatan kerja yang bisa dibangkitkan dari sebelas sektor ekonomi itu mencapai 50 juta orang, sekitar 42% dari total angkatan kerja saat ini 120 juta orang. Sayang, sampai sekarang kontribusi seluruh sektor ekonomi kelautan terhadap PDB Indonesia baru 22%.

Padahal, negara-negara dengan potensi kelautan yang lebih kecil ketimbang Indonesia, seperti Norwegia, Islandia, Cile, Thailand, Korea Selatan, Jepang, dan China sektor ekonomi kelautannya menyumbang antara 30–60% terhadap PDB mereka. Rendahnya kinerja sektor perhubungan laut (pelabuhan, pelayaran, dan industri galangan kapal) juga telah mengakibatkan biaya logistik di Indonesia menjadi salah satu yang termahal di dunia, sekitar 20% dari total biaya produksi.

Sedangkan di negara-negara maju dan emerging economies (seperti China, Malaysia, Thailand, Qatar, Uni Emirat Arab, Afrika Selatan, dan Brasil), biaya logistik kurang dari 10% (Kementerian BUMN, 2011). Selain itu, buruknya transportasi laut juga mengakibatkan konektivitas antar satu wilayah (pulau) dengan wilayah lainnya di Nusantara ini menjadi sangat rendah.

Abainya kita terhadap pembangunan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut juga turut menyuburkan praktik illegal fishing (pencurian ikan), illegal logging, illegal mining, illegal trading, perampokan, dan kegiatan kriminal lain yang telah merugikan negara sedikitnya Rp 300 triliun setiap tahunnya (Bappenas, 2011). Yang lebih mencemaskan, berbagai kegiatan ilegal ini juga dapat menggerogoti kedaulatan NKRI.

Reorientasi Paradigma Pembangunan 

Karena kesebelas sektor ekonomi kelautan di atas dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar (450.000 orang per satu persen pertumbuhan ekonomi), membangun kelautan berarti memecahkan persoalan pengangguran dan kemiskinan, yang merupakan masalah kronis bangsa. Berkembangnya kesebelas sektor ekonomi kelautan itu juga bakal membangkitkan industri metalurgi, elektronik, mesin dan peralatan, IT, dan beragam industri serta jasa terkait lainnya.

Selain itu, akan terbangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang tersebar secara proporsional di seluruh wilayah NKRI. Oleh sebab itu,mulai sekarang kita mesti melakukan reorientasi paradigma (paradigm shift) pembangunan bangsa, dari berbasis daratan menjadi berbasis kelautan dan kepulauan. Reorientasi paradigma pembangunan ini dapat terwujud dengan melaksanakan gerakan perubahan pembangunan ekonomi dan budaya bangsa secara simultan.

Dalam bidang kebudayaan, kita tumbuh-suburkan budaya bahari bangsa, khususnya generasi muda agar lebih mencintai laut dan bangga bekerja di profesi kelautan. Dalam bidang ekonomi, penyusunan tata ruang dan masterplan pembangunan ekonomi harus berdasarkan pada potensi dan dimulai dari kawasan pesisir dan laut. Kawasankawasan ekonomi khusus (KEK) berbasis klaster industri kelautan yang inovatif dilengkapi dengan pelabuhan modern harus kita bangun di sepanjang wilayah pesisir, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), dan pulau-pulau kecil.

Pasalnya, 85% dari seluruh barang,produk,dan komoditas yang diperdagangkan di dunia diangkut dengan kapal-kapal laut, dan 45% di antaranya dengan nilai USD1.500 triliun per tahun ditransportasikan melaluiALKI (UNCTAD, 2010). Harus dipastikan bahwa semua sektor ekonomi dibangun dengan menggunakan inovasi teknologi, manajemen profesional, ramah lingkungan, dan adaptif terhadap perubahan iklim global serta bencana alam lainnya.

Selain itu,pembangunan ekonomi kelautan harus bersifat inklusif, mengutamakan rakyat dan swasta nasional. Kerja sama dengan korporasi ataupun negara asing mesti menomorsatukan kepentingan dalam negeri dan kedaulatan bangsa. Dengan demikian, pembangunan kelautan akan mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi relatif tinggi dan berkualitas secara berkelanjutan menuju terwujudnya Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat pada 2025.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar