Kembalikan
Sekolah Kami!
Yonky Karman ; Pengajar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
|
KOMPAS,
15 Januari 2013
Telah lama sekolah di
Indonesia bukan lagi rumah kedua yang nyaman bagi siswa. Siswa dibebani mata
pelajaran titipan yang menjemukan.
Ujian
nasional tak menghargai pengembangan proses kreatif siswa, bahkan memicu
modus kecurangan baru. Banyak sekolah di daerah krisis guru dan fasilitas.
Guru tak profesional pun dipertahankan. Harapan sederhana orangtua agar
sekolah mencerdaskan anak tak digubris.
Negara
belum berhenti menjadikan siswa sebagai obyek politik pendidikan. Sebelum
evaluasi menyeluruh, tiba-tiba kurikulum lama dianggap gagal membentuk insan
berakhlak mulia. Mengurangi jumlah mata pelajaran memang langkah yang patut
diapresiasi dan sudah lama dikritik, tetapi revisi itu lebih mengikuti selera
penguasa sebagai garda negara moralis, bukan kepentingan siswa sebagai
generasi masa depan bangsa. Bahasa Inggris dihapus dalam kurikulum wajib
sekolah dasar. Suka atau tidak, ruang publik kita disesaki bahasa asing itu.
Materi pengetahuan melimpah di dunia maya dan siap diakses. Bahasa Inggris
bukan hanya pintu masuk dunia pengetahuan yang kini nyaris tanpa batas,
melainkan juga isi gagasan. Mendesak sekali perkenalan dengan bahasa itu
sejak dini. Itu tak menghambat penguasaan bahasa Indonesia yang baik, apalagi
daya serap otak siswa seperti karet busa kering yang cepat menyerap air.
Tugas
pemerintahlah menghadirkan guru bahasa Inggris yang mengajar secara kreatif
dan menarik, seperti dilakukan dalam berbagai kursus bahasa di Tanah Air.
Bahasa sebenarnya lebih efektif saat dikaitkan dengan percakapan, seperti
bahasa dalam bahasa Jerman (Sprache)
terkait berbicara (sprechen).
Beberapa pesantren modern menjadikan satu hari dalam seminggu untuk memaksa
komunitasnya berbahasa Inggris.
Pancasila
yang sempat dikeluarkan kini hendak dimasukkan lagi sebagai mata pelajaran
tersendiri. Memang penting siswa memahami ideologi negara. Namun,
ketakmampuan penyelenggara negara mewujudkan Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara pangkal pudarnya penghayatan Pancasila. Moralitas
bangsa dirusak ulah elite politik dan penyelenggara negara korup, ditambah
toleransi negara untuk pelbagai kerusakan itu.
Berpaling
ke mata pelajaran agama bukan solusi. Sungguh tak tepat sekolah negeri justru
membangun fanatisme suatu agama dan membuat siswa agama lain enggan memasuki
sekolah yang seharusnya jadi tempat bercampurnya siswa dengan berbagai
keyakinan. Idealnya, pelajaran agama di sekolah negeri bersifat lintas agama
dan ramah terhadap semua kepercayaan. Generasi masa depan berkualitas
merupakan buah pendidikan berkualitas berbasis sekolah umum. Sekolah umum
bukan tempat mempelajari keterampilan kerja betapapun pentingnya (bukan
sekolah kejuruan), bukan tempat perdalam ilmu agama betapapun luhurnya (bukan
sekolah agama), juga bukan tempat indoktrinasi ideologi negara betapapun
mulianya (bukan sekolah ideologi).
Sekolah
tempat mempelajari pengetahuan universal sebagai bagian pengalaman hidup banyak
orang. Melampaui keterbatasan usia, pengalaman, dan lokasinya, siswa di bawah
bimbingan guru menjelajah dunia kebendaan (fisika, biologi, geografi), dunia
manusia (budaya lokal, kewargaan, ideologi negara), dan dunia abstrak
(matematika, bahasa). Semua itu dikemas ringan dalam proses pembelajaran yang
bersahabat dengan dunia anak. Sekolah adalah tempat yang seharusnya budi
pekerti siswa menjadi tercerahkan. Sekolah adalah sebuah warisan intelektual
peradaban Barat yang lebih dulu mengenal demokratisasi pengetahuan. Istilah
”sekolah” tak hanya berarti tempat belajar, tetapi kata Latin schola atau
Yunani schole juga berarti waktu luang. Kegiatan dalam waktu luang tak wajib
dan dikerjakan dengan senang, untuk memperkaya hidup dan pengalaman.
Dalam
cara pikir orang Yunani kuno, belajar hal-hal mendalam terpisah dari kegiatan
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Orang harus membereskan dulu kebutuhan
dasar hidupnya. Demikian ungkapan Latin primum vivere, deinde philosophari,
hidup dulu, barulah berfilsafat. Sekolah adalah ruang olah nalar dan hidup
siswa. Dalam lukisan ”Sekolah Atena” karya Raphael, seniman Renaisans, jari
telunjuk Plato digambarkan menunjuk ke atas (dunia abstrak) dan tangan
Aristoteles mengarah ke bawah (dunia konkret). Sekolah Plato (academia)
mengajarkan gagasan kesempurnaan penghuni dunia sana dan semua yang baik di
dunia ini hanya tiruan tak sempurna. Mengajar untuk tahu adalah membidani
kesadaran tentang kebenaran dalam diri seseorang, seperti bidan yang membantu
ibu melahirkan. Demikian metode Sokratik atau maieutik.
Sekolah
Aristoteles (lyceum) mengajarkan
yang sempurna tersua di dunia ini menyatu dengan benda konkret. Kendati
bertolak belakang dalam mendefinisikan apa yang nyata, kedua filsuf ini besar
dengan cara masing-masing. Keduanya mencerahkan peradaban Barat, teristimewa
Aristoteles untuk dunia Arab semasa Abad Pertengahan. Mereka mewariskan
kesadaran yang jadi basis perkembangan sains modern terkait kemampuan rasio
(alam dapat diselidiki) dan tanggung jawab manusia (alam harus diselidiki).
Belajar
adalah bagian dari tanggung jawab manusia sebagai makhluk rasional. Jika
proses belajar itu benar, akhlak siswa dengan sendirinya terbentuk. Belajar
menuntut kesediaan untuk belajar dari kesalahan, belajar disiplin dalam
berlogika dan menerapkan rumus (melawan mentalitas ”yang penting hasilnya”),
dan belajar tekun (melawan budaya instan). Budaya nyontek dan plagiarisme
menjadi aneh dalam kultur belajar yang sehat.
Menuntut
ilmu setinggi-tingginya tak perlu dikhawatirkan sebagai penghambat kemuliaan
akhlak. Keserakahan dan hawa nafsu yang tak terkendali adalah sumber
kerusakan moralitas bangsa. Namun, penentu kemajuan bangsa dalam jangka
panjang adalah tradisi pendidikan yang kuat.
Indonesia
harus mempersiapkan generasi masa depan berkualitas untuk menyongsong era
pasar bebas tenaga kerja yang kian kompetitif di lingkungan Komunitas ASEAN
mulai 2015. Jangan sampai untuk posisi resepsionis pun orang kita kalah dari
tenaga kerja asing hanya karena soal kemampuan berbahasa Inggris.
Daripada
tergesa-gesa menerapkan kurikulum 2013, kualitas guru untuk mendampingi siswa
belajar harus dapat prioritas. Pemerintah belum melakukan pendidikan
berkelanjutan untuk guru yang umumnya berkemampuan mengajar pas-pasan.
Sertifikasi guru baru memotivasi guru mendapat tambahan penghasilan dan
memotivasi kaum muda memilih profesi keguruan. Tersebar kabar 50 persen guru
Matematika SD di Sulawesi Utara tak paham berhitung. Kemampuan siswa kelas
VIII dalam Matematika dan Sains menurut survei internasional 2011 menurun,
bahkan berperingkat di bawah Palestina. Lalu, Kurikulum 2013 hendak
menggabungkan pengetahuan sosial dan pengetahuan alam ke pelajaran bahasa
Indonesia. Kembalikanlah sekolah
sebagai rumah masa depan anak dan bangsa! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar