Sabtu, 19 Januari 2013

Belajar dari Fenomena Lima Tahunan


Belajar dari Fenomena Lima Tahunan
Moh Adib Khumaidi ;  Ketua Bidang Organisasi PB Ikatan Dokter Indonesia (2012–2015), Ketua Komite Penanggulangan Bencana PB Ikatan Dokter Indonesia (2003–2006)
SINDO, 19 Januari 2013
  
Musibah. Siapapun pasti tidak menghendaki kedatangannya. Tapi itulah yang dialami masyarakat DKI Jakarta khususnya dan daerah penyangga Jakarta (Bekasi, Tangerang, Depok) serta di beberapa wilayah di Indonesia. 

Tepatnya dalam satu pekan ini yang diperkirakan sampai bulan Februari 2013. Musibah itu bernama banjir. Memang banjir bukan merupakan kejadian aneh bagi Jakarta. Bahkan orang mengatakan bahwa banjir sudah menjadi langganan bagi masyarakat Jakarta. Namun banjir yang datang sekarang ini merupakan siklus lima tahunan seperti halnya tahun 2002 dan 2007. Kita hanya berharap dan berdoa semoga tahun ini tidak seperti tahun-tahun tersebut. 

Menurut sejumlah ahli, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan sering terjadinya banjir di Jakarta.Pertama,letak geografis Jakarta yang dilalui aliran 13 sungai atau kali.Kedua, hampir separuh dari wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut pasang.Ketiga,terhambatnya aliran sungai akibat penyempitan sungai karena bantaran sungai dijadikan tempat hunian liar, pendangkalan sungai, penutupan/pembetonan/pengecoran saluran air serta rendahnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan. 

Keempat, pembangunan yang sangat pesat di sekitar Jakarta mengakibatkan terjadinya peningkatan debit air sampai melampaui batas maksimum. Hal ini diperparah oleh penggunaan air tanah secara berlebihan yang mengakibatkan terjadinya peningkatan debit air sampai melampaui batas maksimum. Kelima,curah hujan yang terus-menerus di daerah Bogor dan Jakarta serta terjadinya pasang laut yang mengakibatkan seluruh kali meluap. Hal ini diperparah adanya kerusakan pada beberapa tanggul sungai/kanal. 

Jika kita introspeksi dan belajar dari pengalaman pada tahun 2002 dan 2007 tersebut, perlu dilakukan upaya-upaya antisipasi terutama terhadap penanggulangan masalah kesehatan. Banjir akan mengakibatkanterjadinya pencemaran lingkungan yang cukup parah. Luapan air dari got-got dan sungai-sungai menyebarkan sampah dan limbah lain ke segala penjuru. 

Resapan air menyebabkan naiknya isi penampungan tinja (septik tank) sampai meluap dan mengirim tinja ke mana-mana. Pencemaran lingkungan ini jelas cukup besar dampak negatifnya bagi kesehatan masyarakat Jakarta. Belajar dari pengalaman pada tahun 2002 dan 2007, banjir menyebabkan timbulnya banyak masalah kesehatan masyarakat di kalangan penduduk. Data pada tahun 2002 dan 2007 menunjukkan bahwa banyak penduduk yang terserang penyakit. 

Di antaranya yang menonjoladalahpenyakitpenyakit diare, kulit, mata, gastritis, pneumonia, dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Dari data ini, penyakit yang tampak menonjol dan muncul belakangan (pascabanjir) adalah demam berdarah dan leptospirosis. Masalah kesehatan tidak berkurang seiring dengan menyurutnya banjir. Data tahun 2002 dan 2007 menunjukkan justru pada saat banjir mulai surut, jumlah penderita penyakit semakin bertambah. 

Hal ini terjadi baik untuk pasien rawat jalan maupun pasien rawat inap. Dan bila diperhatikan dari data tersebut, ternyata sebagian besar yang menderita penyakit adalah anak-anak. Diare merupakan penyakit yang sangat menonjol, hal ini dapat dimaklumi mengingat sebagian besar penderita adalah bayi dan anak-anak yang masih sangat rentan terhadap serangan diare. Di samping itu lingkungan dan kondisi tempat penampungan pengungsi selama dan pascabanjir yang buruk akan sangat mendukung penularan dan mewabahnya diare di kalangan pengungsi. 

Pengelolaan sampah dan pembuangan kotoran telah menyebabkan pencemaran lingkungan. Terjadinya kerusakan dan pencemaran sarana penyediaan air bersih akan menyebabkan kesulitan untuk memperoleh air bersih bagi keperluan minum dan memasak makanan. Tempat pengungsian yang sempit dan terbatas akan sangat memungkinkan penularan bibit penyakit. 

Kondisi di atas tentunya akan menimbulkan pertanyaan apa yang harus dilakukan. Terutama dalam penanganan masalah kesehatan saatbanjirdan pascabanjir. Dalam konteks kesisteman tentang sistem penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi tentunya pemerintah harus melakukan penyusunan rencanacadangan (contingency plan) sehingga dapat melahirkan sistem penanganan banjir subsektor kesehatan.

Di dalamnya termasuk sistem pelayanan kesehatan, sistem komando lapangan, sistem logistik obat, dan sistem pelaporannya. Rapat koordinasi lintas sektor yang juga melibatkan unsur di luar pemerintah (unsur masyarakat ) perlu dilakukan secara rutin. Tugas-tugas penanggulangan bencana tidak bisa sendiri-sendiri, tapi perlu dilakukan secara bersama, terintegrasi dalam satu komando dan terkoordinasi. 

Permasalahan kesehatan pada korban banjir tidak hanya menyiapkan infrastruktur pelayanan kesehatan seperti puskesmas atau rumah sakit saja,tetapi perlu juga didukung dengan pos-pos kesehatan (mobile clinic) yang tersebar di pos-pos pengungsian. Tujuannya agar dapat melakukan pemilahan (triage) masalah kesehatan sekiranya perlu dilakukan rujukan/perawatan ke puskesmas atau rumah sakit. 

Sistem rujukan yang tegas perlu dilakukan pada segenap pelayanan kesehatan mulai dari tingkat pelayanan primer melalui pos-pos kesehatan, puskesmas dan tingkat layanan sekunder/tersier jika memang diperlukan untuk merujuk ke rumah sakit. Upaya ini juga sebagai langkah deteksi dini (screening) untuk penyakitpenyakit yang berpotensi menjadi wabah. 

Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular dilakukan terutama terhadap penyakit-penyakit diare, demam berdarah, leptospirosis, dan lain-lain. Perbaikan kualitas air melalui distribusi air bersih, pengelolaan sampah, penyuluhan perilaku hidup bersih dan sehat serta memutus mata rantai penularan dari penyakit yang bersangkutan. Upaya-upaya perbaikan higienitas dan sanitasi perseorangan dan lingkungan juga perlu dilakukan. 

Termasuk di dalamnya: penyuluhan tentang cuci tangan, ketersediaan MCK yang bersih serta pengadaan air bersih. Selain itu tak kalah pentingnya yang perlu diperhatikan adalah asupan gizi pada para pengungsi korban banjir terutama pada anak-anak dan balita. Pemberian makanan pelengkap ASI pada bayi serta asupan gizi yang lengkap dan seimbang. 

Pengalaman adalah guru terbaik. Kata-kata bijak ini sangat tepat kita gunakan dalam merenungi musibah yang telah melanda kita saat ini. Tanpa bermaksud mencari kambing hitam, berkaca pada pengalaman tahun 2002 dan 2007, ada lima hal yang perlu menjadi bahan pelajaran bagi kita semua dan tentu dengan harapan ini tidak akan terjadi lagi di kemudian hari. 

Pelajaran pertama adalah kesiapan kita,baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah termasuk segenap instansi di dalamnya, swasta, dan tentunya warga/masyarakat sendiri. Pelajaran kedua adalah koordinasi. Para ahli manajemen selalu mengatakan melakukan sesuatu secara bersama-sama sangat ditentukan oleh kesatupaduan. Pelajaran ketiga adalah hubungan koordinatif antarsegenap unsur sektoral, lintas sektoral maupun dengan unsur masyarakat. Pelajaran keempat adalah sumber daya, baik sumber daya infrastruktur, manusia, dan sebagainya. 

Pelajaran kelima adalah antisipasi masalah sehingga tidak terjadi kesan “kecolongan” dengan timbulnya penyakit “tidak terduga”. Bila kita lebih lama merenung, mungkin akan lebih banyak dan lebih panjang lagi deretan pelajaran yang bisa kita dapat.Tapi pelajaran ini menjadi penting untuk kita kaji lebih lanjut sebagai bekal kita untuk saat ini dan antisipasi masa mendatang.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar