Sabtu, 19 Januari 2013

Menghakimi Hakim Daming


Menghakimi Hakim Daming
Reza Indragiri Amriel ;  Akademisi Psikologi Forensik, 
Penerima Asian Intellectual Property Fellowship
SINDO, 19 Januari 2013
  

Publik habis-habisan mengecam gurauan Daming Sunusi. Saat menjalani uji kelayakan di DPR, calon hakim agung itu mengatakan, pelaku dan korban perkosaan sama-sama menikmati kontak seksual mereka. 

Saya melihat ada dua sisi yang perlu dilihat terkait lontaran ucapan Daming: etika dan substansi. Dari sisi etika,melontarkan kalimat—termasuk gurauan— seperti itu di ruang terhormat, apalagi ketika Daming sedang berproses menjadi hakim agung, memang tak elok. Hakim, selaku mercusuar budi pekerti, dituntut lebih oleh masyarakat untuk senantiasa menjaga lidah dan tingkah, baik ketika maupun tanpa mengenakan toga.

Secara pragmatis, ulah Daming memicu penilaian negatif yang berarti mendatangkan kerugian baginya dalam berkompetisi dengan calon-calon hakim agung lainnya. Dari segi substansi kalimat Daming, kegusaran masyarakat bisa dipahami. Pemerkosa dipersepsikan sebagai manusia durjana yang secara brutal menyakiti manusia lain lewat kekerasan seksual ekstrem. Dengan kelakuan keji macam itu, tak mungkin korban menikmati kontak seksual yang terjadi. 

Namun, tampaknya telah terbentuk persepsi tunggal tentang tindak-tanduk pelaku perkosaan yaitu selfish rapist. Tipe pemerkosa lainnya adalah unselfish rapist. Berbeda dengan selfish rapist, unselfish rapist menggunakan grooming behavior untuk melenakan korbannya. Korban, alih-alih terintimidasi laiknya pada selfish rape, justru bisa terbuai oleh pelaku. Tidak ada ancaman verbal maupun pencederaan fisik terhadap korban. 

Dalam peristiwa unselfish rape, kontak seksual menjadi kompleks untuk serta-merta dikategorikan sebagai perkosaan. Itu karena korban memberikan persetujuan (consent) atas kontak seksual yang ia alami. Baik persetujuan sebagai manifestasi rasa iba maupun terpesona. Dengan adanya persetujuan, sebutan “pelaku” dan “korban” tak lagi mutlak relevan. 

Baru belakangan si korban bisa merasa bahwa ia telah termanipulasi oleh siasat psikologis pelaku.Korban tersadar bahwa ia telah termakan grooming behavior pelaku dan hakikat dari kontak seksual yang ia lakukan adalah tanpa kesetaraan kehendak (non-consensual). Pada saat itulah, klaim mengalami perkosaan bisa saja korban angkat ke permukaan walau tetap sulit dalam pembuktian. Dikaitkan ke isi kalimat Daming, andai “saling menikmati” tetap terkesan luar biasa ekstrem, namun ada realita yang berbeda dengan persepsi khalayak luas bahwa—paling tidak—peristiwa perkosaan tidak lagi identik dengan penderitaan. 

Bias 

Mari kita tengok konstruksi sosial atau—pada tataran individual— analog dengan skema mental mengenai tindakan merendahkan perempuan. Senda gurau bertemakan ihwal dewasa,bahkan mesum,adalah kunyahan sehari-hari sangat banyak orang. Di sini tampak standar ganda: Daming dihujat karena lisannya. Begitu kencangnya serapah, sampai-sampai Daming seperti t e rp o s i s i k a n sebagai pelaku perkosaan itu sendiri.

Anehnya, ketika orang semacam Ariel “Peter Pan”meniduri istri orang dan menyetubuhi kekasihnya di luar pernikahan,caci maki masyarakat tidak segencar terhadap Daming. Tidak sedikit pula yang menganggap kelakuan Ariel sebagai sesuatu yang wajar di kalangan selebritas, dunia masa kini, dan bahkan penguat citra kelaki-lakian Ariel. Masyarakat yang berpikir sedemikian rupa jelas bias karena ulah Ariel senyatanya merupakan penistaan (bahkan sudah nyata-nyata tidak sebatas lisan dan dilakukan berulang kalipula) terhadap perempuan? Lebih jahat lagi; kendati salah satuperempuanyangtelahmengakui perbuatannya,Ariel tetap bersikukuh mengingkarinya. 

Atas dasar itu, sikap saya, saya tidak membenarkan perkosaan. Kelakar tentang perkosaan juga saya anggap tak pantas.Tapi serta-merta mendiskualifikasi Daming dari proses seleksi hakim agung, saya tak sependapat.Anggaplah Daming sudah memiliki satu poin negatif. Tapi, bagaimana dengan poin-poin Daming lainnya? 

Fakta bahwa Daming telah melalui sekian panjang tahapan seleksi menunjukkan bahwa ia memiliki kekuatan-kekuatan yang terukur oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Jika diasumsikan bahwa candaan Daming mengindikasikan tidak memadainya landasan pengetahuan psikologis yang ia punya, itu bisa diatasi dengan memperkuat perbendaharaan pengetahuannya melalui kesempatan belajar ulang. Atau, dalam arena persidangan, dapat ‘dibantu’ lewat kehadiran saksi ahli. 

Masalah Lain 

Yang menjadi kelemahan besar Daming, di mata saya, justru ketika ia berdalih latar belakang kelakarnya itu karena ia merasa tegang (cemas, gugup) selama uji kelayakan berlangsung.Itu menandakan kendali emosi Daming yang kurang baik. Saat emosi tertekan, filter kognitif menjadi tumpul, perilaku (termasuk ucapan) pun menjadi impulsif. 

Dikhawatirkan, saat menyidangkan perkara, Daming dapat sedemikian rentan dipengaruhi oleh faktor situasi. Semakin menegangkan suasana persidangan berpotensi membuat rasionalitas hakim menjadi rapuh.Kualitas putusan pun, pada akhirnya, dipertanyakan. Kekurangan pengetahuan (kognitif) hakim bisa diatasi dalam waktu relatif singkat. Tapi, kelemahan kontrol diri terhadap kecemasan membutuhkan pembenahan yang bisa makan waktu panjang.
 

2 komentar: