Jumat, 11 Januari 2013

Beberapa Kearifan dari Sejarah


Beberapa Kearifan dari Sejarah
Toeti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA,  11 Januari 2013



KETIKA Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turba (turun ke bawah) mengadakan peninjauan, masyarakat berkomentar bukan kebiasaan Presiden melakukan turba. Serta-merta ada komentar, itu mirip gebrakan Jokowi agar bisa mengerti dan dimengerti penduduk Jakarta. Namun seperti kata pembantu Presiden, jangan tindakan kedua tokoh itu disamakan.

Turba oleh pemimpin bukan gejala baru. Bahwa presiden melakukannya mengingatkan kita pada dongeng-dongeng dari zaman dulu yang mengisahkan kebiasaan raja-raja untuk ‘mendo-mendo’ atau berpura-pura menjadi orang biasa--dengan berpenampilan, bersikap, dan berperilaku seperti rakyat jelata--supaya mereka bisa bebas berdialog dengan rakyat. Dari pertemuanpertemuan semacam itu, para raja belajar tentang berbagai masalah dan kesulitan yang dihadapi rakyat.

Di masa Orde Baru, secara berkala Pak Harto pun mengadakan pertemuan-pertemuan terbuka di lapangan dengan para petani. Tujuannya belajar dan mengajar. Mungkin Pak Harto member perhatian pada pembangunan bidang pertanian karena pengalamannya, selain mayoritas penduduk Indonesia memang hidup dari bertani. 

Adapun pertimbangan-pertimbangan kebijakan ekonomi-politik di masa pemerintahannya diperoleh dari para pembantunya yang dikenal dengan sebutan Berkeley Mafia. Hasil seluruh kebijakan ekonominya itu nantinya membuat Pak Harto mendapat sebutan Bapak Pembangunan.

Bung Karno lain lagi. Dengan kawan-kawan yang memiliki ideologi serupa, dia diakui sebagai tokoh yang membentuk identitas bangsa, dilandasi falsafah Pancasila yang disarikan dari budaya Indonesia. Kepekaan rasa dan kepeduliannya di bidang seni budaya Indonesia membuatnya dekat dengan kalangan budayawan. Selama pemerintahannya, Istana Negara sering menghadirkan pertunjukan budaya Indonesia. Idealnya, modernisasi yang kita jalankan pun tidak mengabaikan budaya sendiri, sesuai dengan yang tercantum dalam asas-asas Pancasila. Tarik ulur antara pikiran-pikiran berakar budaya asli dan modernisasi itulah yang sering menimbulkan ketidakserasian dalam masyarakat yang heterogenitas dan pluralismenya demikian tinggi.

Tertib Sosial dalam Abad Informasi

Ketika kita sibuk menjalankan evolusi dari lembaga-lembaga sosial lama ke demokrasi modern, sambil mencari sistem sosial dan ekonomi-politik terbaik untuk bangsa, dunia disibukkan dengan kedatangan abad informasi yang memberi masyarakat dunia gagasangagasan tentang kebebasan dan demokrasi. Tiba-tiba kita dihadapkan pada kenyataan tentang ketidakmampuan kita memenuhi harapan sesuai dengan yang dijanjikan abad informasi. Kita pun tidak mampu mencegah banjir informasi yang memperkaya daya pikir dan imajinasi. Pengaruhnya tidak bisa ditolak.

Faktanya, kultur individual isme sebagai hasil modernisasi, di satu pihak, memang meningkatkan inovasi dan pertumbuhan ekonomi seperti yang kita alami sekarang. Namun, di pihak lain, itu telah merongrong ikatan-ikatan kekeluargaan dan kerukunan masyarakat. Itulah yang membuat kita kadang-kadang ragu dan mempertanyakan rasa kebangsaan dan kenegaraan dalam paham demokrasi. Dalam menjalankan bisnis dan perdagangan, misalnya, di mana batas-batas antara demokrasi dan individualisme?

Rasanya proses modernisasi telah mengganggu ketertiban sosial yang telah kita kenal sebelumnya. Kita juga menyadari tertib sosial tidak akan tercipta lewat mandat dari atas. Semua bergantung pada bagaimana kita, masyarakat, mengorganisasinya. Namun, seperti kata Francis Fukuyama, gangguan terhadap tertib sosial akibat gegap gempita abad informasi akan teratasi. Pada dasarnya manusia ialah makhluk sosial yang memiliki naluri untuk membangun aturan-aturan moral yang mengikat satu sama lain. Manusia juga rasional. Rasionalitas tersebut membuatnya secara spontan menciptakan cara untuk bekerja sama. Di zaman modern ini, kita antara lain harus bangga mampu menciptakan hukum yang mengatur jalannya demokrasi. Mudah-mudahan hukum di negeri ini berjalan sesuai dengan harapan.

Bangunan Sistem Politik

Tahun 2013 disebut sebagai tahun politik. Sampai terbentuk pemerintahan baru pada 2014, kita akan melihat partai-partai politik yang lolos persyaratan akan sibuk mengerahkan suara rakyat agar wakil-wakil mereka terpilih menjadi para pemimpin negeri ini--apakah di legislatif, yudikatif, atau di eksekutif. Menurut perkiraan, uang kampanye akan membanjir ke masyarakat untuk membayar suara mereka. Ujung-ujungnya, yang paling mampu berkampanye menjual gagasan yang kena di hati rakyatlah yang akan diusung menjadi pemimpin--apakah individu-individu atau partaipartai politik.

Umumnya rakyat jelata tidak peduli siapa atau partai mana yang menang asalkan para calon bisa meyakinkan bahwa rakyat bisa hidup sejahtera. Di situlah nilai kampanye dalam pemilu. Akan tetapi, bagaimana rakyat bisa yakin bila mereka tidak mendapatkan pendidikan politik, bahkan tidak mengenal siapa yang harus mereka pilih? Sehebat apa pun, sepandai apa pun, dan secerdas apa pun, sang calon tidak akan berhasil bila tidak mampu meyakinkan peserta pemilu. Siapa pun bisa berkampanye. Namun, pilihan rakyat akan jatuh kepada yang berhasil merebut hati mereka, dengan cara apa pun.

Maka yang akan terjaring bukan selalu hasil idealisasi elite atau partai politik. Deretan jajaran pemimpin merupakan refleksi selera rakyat. Waktu akan membuktikan apakah partai-partai politik cukup jeli dan peduli memberikan pendidikan politik kepada rakyat dan para calon. Karena itu, bukan sematamata salah peserta pemilu atau jajaran pimpinan yang terpilih bila kinerja mereka kemudian tidak seperti yang diharapkan. Partai-partai politik sepatutnya ikut bertanggung jawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar