Senin, 26 Maret 2012

Perilaku Longgar Sang Pengadil


Perilaku Longgar Sang Pengadil
Muhammad Aziz Hakim, Pengurus Pimpinan Pusat GP Ansor,
Magister Hukum Alumnus Universitas Indonesia
SUMBER : SUARA MERDEKA, 26 Maret 2012



"Amendemen terhadap UUD 1945, terutama menyangkut kekuasaan jajaran kehakiman mutlak dilakukan"

PUTUSAN majelis hakim Mahkamah Agung dalam uji materi terhadap SKB Ketua MA dan Ketua KY tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim yang mencabut 8 butir SKB Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sarat kontroversi. Imbasnya adalah batasan perilaku hakim makin longgar. Komisi Yudisial pun kehilangan pegangan untuk mengawasi perilaku hakim.

Sebuah degradasi terhadap sistem pengawasan yudisial. Agaknya, rekonstruksi pengawasan yudisial mendesak untuk segera dilakukan. Sistem pengawasan terhadap seluruh penegak hukum harus direkonstruksi. Salah satu gagasan adalah menyatukan komisi-komisi pengawasan dalam satu wadah berbentuk Mahkamah Yudisial (MY).

Saat ini, pengawasan terhadap penegak hukum dilakukan secara parsial dan tidak komprehensif. Hal ini ditunjukkan dengan tidak manunggalnya pengawasan terhadap penegak hukum dengan berdirinya berbagai komisi. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengawasi Polri, Komisi Kejaksaan meneropong kejaksaan, dan Komisi Yudisial mengawal para hakim. Kinerja tiga komisi ini bisa disebut belum memuaskan dan regulasi tiga komisi ini jauh dari memadai.

Regulasi mengenai Kompolnas menyebutkan tugasnya membantu Presiden menetapkan arah kebijakan Polri dan memberikan pertimbangan dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Penjabaran tugas Kompolnas salah satunya menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden.

Dengan demikian, Kompolnas tidak memiliki kewenangan eksekusi, lembaga ini hanya sekadar menampung keluhan dan kemudian memberikan saran kepada Presiden sebagai atasan langsung Kepolisian. Kompolnas pun bak singa bergigi ompong.

Sebatas Rekomendasi

Setali tiga uang dengan nasib Komisi Kejaksaan. Komisi ini tidak disebut secara eksplisit dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Perpres Nomor 18 Tahun 2005 menetapkan bahwa Komisi Kejaksaan bertugas melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap kinerja jaksa ataupun pegawai kejaksaan baik di pusat maupun daerah atau di dalam maupun di luar tugas kedinasan.

Dalam menjalankan kewenangannya, Komisi Kejaksaan hanya sampai pada wewenang memberikan rekomendasi kepada Jaksa Agung. Realitas ini menunjukkan bahwa komisi ini pun tidak memiliki kewenangan eksekusi. Ia hanya sebatas merekomendasikan, dan sebuah rekomendasi bisa dijalankan, tidak dijalankan, atau dimodifikasi dalam pelaksanaannya.

Hal yang sama menimpa Komisi Yudisial. Setelah beberapa kewenangannya diamputasi oleh MK melalui putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, KY tidak memiliki kewenangan mengawasi hakim agung dan hakim MK. Pengawasan terhadap perilaku hakim pun tidaklah optimal. Apalagi ketika MA membatalkan 8 butir SKB Ketua MA dan Ketua KY tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim, KY semakin tidak bergigi. Rekomendasi KY terhadap hakim yang mengadili Antasari Azhar pun dikesampingkan dan tersimpan rapi di laci MA. Berpijak pada realitas ini, maka rekonstruksi pengawasan yudisial adalah conditio sin qua non.

Ada pelajaran menarik terhadap mekanisme pengawasan yudisial di Bulgaria. Konstitusi di republik itu mengenal adanya Supreme Judicial Council (SJC) yang kewenangannya antara lain mengangkat, mempromosikan, memindah hakim, jaksa, dan hakim investigasi; menjatuhkan sanksi disiplin berupa demosi/penurunan pangkat dan pemecatan hakim, jaksa, dan hakim investigasi; dan mengatur kualifikasi hakim, jaksa, dan hakim investigasi.

Mencontoh Bulgaria

Yang berlaku di Bulgaria patut dicontoh, tentu dengan berbagai modifikasi. Pertama; urgensi MY. Menimbang bahwa pengawasan yudisial di Indonesia masih parsial dan tidak optimal maka lembaga semacam SJC patut dibentuk, dan lembaga itu adalah Mahkamah Yudisial. Secara struktur lembaga ini berada pada pucuk tertinggi atau setidaknya sama posisinya dengan MA ataupun MK. Dengan struktur demikian maka pengawasan terhadap penegak hukum lebih berwibawa.

Kedua; kewenangan MY. Kewenangan yang perlu diberikan, dan paling utama adalah pengawasan yudisial. MY berwenang mengawasi penegak hukum dari hulu sampai hilir. Artinya penyidik Polri, penyidik KPK, komisioner KPK, jaksa, hakim, hakim agung, dan hakim konstitusi menjadi garapan MY. Konsekuensinya, kewenangan pengawasan yang melekat pada Komisi Kejaksaan, Kompolnas, dan KY harus dicabut. Bahkan komisi-Komisi itu layak dibubarkan dengan adanya MY ini.

Selain itu, MY dibekali kewenangan eksekusi berupa memberikan sanksi kepada penegak hukum. Yurisdiksi MY adalah perilaku penegak hukum, bukan putusan penegak hukum. Dengan demikian, MY tidak bisa menganulir keputusan kasasi ataupun peninjauan kembali (PK) MA. Domain MY adalah mengadili hakim dan hakim agung jika disinyalir terdapat penyelewengan dalam proses persidangan kasasi dan PK.

Ketiga; keanggotaan MY, yang harus kredibel, berintegritas, dan profesional, serta memiliki pengalaman memadai. Ketua MA, Ketua MK, dan Jaksa Agung dapat menjadi anggota secara ex officio. Anggota lain, setengahnya dipilih melalui mekanisme fit and proper test DPR, dan setengahnya diusulkan oleh MA dan MK agar komposisinya lengkap untuk memutuskan perkara secara berimbang dari berbagai sudut pandang.

Gagasan mengenai MY ini memerlukan perjuangan panjang. Amendemen terhadap UUD 1945, terutama menyangkut kekuasaan kehakiman mutlak dilakukan. Signifikansinya adalah sebagai landasan konstitusional bagi MY. Tanpa melalui amendemen UUD 1945 dan tiadanya pengawasan dengan kewenangan yang luas maka sistem pengawasan yudisial jalan di tempat. Para penegak hukum pun masih enjoy untuk menyalahgunakan kewenangannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar