Narasi
Politik BBM
Makmur Keliat, PENGAJAR FISIP UNIVERSITAS INDONESIA
SUMBER : KOMPAS, 5 Maret
2012
Walau besarannya belum pasti, pemerintah
telah memutuskan untuk menaikkan harga BBM setelah harga minyak mentah di pasar
internasional menembus level 105 dollar AS per barrel. Haruskah menaikkan harga
BBM itu? Narasi politik apakah yang disampaikan oleh keputusan untuk menaikkan
harga BBM itu?
Tulisan ini berangkat dari dua asumsi
berikut. Pertama, kisaran angka yang dipaparkan pemerintah (versi Kementerian
ESDM) tentang jumlah produksi minyak (325.000 barrel per hari) dan konsumsi
minyak (390.000 barrel per hari) Indonesia harus diberi tanda kutip, yaitu
”memang benar adanya”.
Kedua, tanggapan kebijakan yang diambil
pemerintah terhadap kenaikan harga BBM di pasar internasional dikonstruksikan
sebagai ”keniscayaan jangka pendek”. Disebut ”keniscayaan jangka pendek” karena
dua alasan berikut.
Alasan pertama, ia lebih dimaksudkan untuk
mengamankan realisasi APBN 2012, khususnya besaran alokasi anggaran untuk
subsidi energi yang jumlahnya diperkirakan Rp 123,59 triliun.
Alasan kedua, bukan pertama kali harga pasar
internasional yang biasanya dipandang sebagai harga paling ”efisien” telah
mengakibatkan tekanan bagi perubahan terhadap penetapan harga BBM di pasar
domestik. Pada 2005, misalnya, pemerintah menaikkan harga BBM sebanyak dua kali
dengan rata-rata kenaikan sebesar 29 persen pada Maret dan 114 persen pada
Oktober.
Pesan yang kita tangkap, kebijakan perubahan
harga BBM tidak pernah dimaksudkan untuk mengubah secara substansial gambaran
struktural perekonomian nasional, tetapi terutama lebih bertujuan untuk
mengamankan APBN.
Mobilisasi Dana
Atas dasar dua asumsi di atas, sebenarnya
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono saat ini memiliki dua pilihan kebijakan
untuk menanggapi kenaikan harga BBM di pasar internasional. Pilihan pertama
tidak menaikkan dan pilihan lain menaikkan harga BBM. Keputusan tidak menaikkan
secara politik sebenarnya paling aman dan nyaman bagi pemerintahan koalisi SBY.
Tidak akan ada risiko gejolak politik, baik di tingkat elite maupun massa.
Argumennya, keputusan tidak menaikkan harga
BBM sesuai dengan asas hukum Pasal 7 UU APBN 2012 yang tidak memberikan opsi
untuk menaikkan harga. Ini berarti tidak akan ada ”biaya politik” yang perlu
dikeluarkan untuk ”mengebiri” pasal tersebut karena tidak ada kebutuhan untuk
mengadakan pertemuan dengan berbagai kekuatan politik yang ada di parlemen
untuk mengubahnya.
Alasan lain, kelompok yang meminta kenaikan
harga, khususnya para akademisi yang berasal dari lingkaran disiplin ilmu
ekonomi dan teknokratis, secara kuantitatif bukan merupakan kekuatan politik
besar dalam alam demokrasi saat ini. Terlebih lagi mereka bukanlah kelompok
”penderita utama” dari tingkat harga BBM yang berlaku saat ini.
Karena itu, hampir bisa dipastikan, tidak
menaikkan harga BBM tidak akan menuai protes ”parlemen jalanan”. Terlebih lagi
bukankah tidak pernah ada dalam sejarah republik ini, protes jalanan karena
harga BBM tak dinaikkan betapapun kritisnya para pengamat ekonomi mengecam
besaran subsidi yang ada.
Walau paling nyaman dan aman secara politik,
pilihan kebijakan untuk tidak menaikkan harga BBM mensyaratkan satu hal.
Persyaratan itu adalah adanya kapasitas yang efektif untuk memobilisasi sumber
pendanaan baru guna menutup disparitas harga yang semakin membesar antara harga
BBM di tingkat internasional dan harga BBM di tingkat domestik itu.
APBN 2012 dibuat dengan hitungan harga BBM
sekitar 90 dollar AS per barrel. Besaran subsidi yang dicanangkan untuk subsidi
BBM dalam APBN tentu saja tidak lagi memadai untuk mengatasi gap itu, belum
lagi memperhitungkan subsidi energi listrik yang juga sebagian besar mesinnya
menyandarkan diri pada BBM. Persoalannya kemudian adalah bagaimana memobilisasi
sumber pendanaan untuk menutup besaran subsidi BBM yang semakin membesar itu.
Dalam kaitan ini ada beberapa instrumen
kebijakan yang mungkin dapat dilakukan. Instrumen pertama, mengubah secara
mendasar kesepakatan hukum seluruh pengelolaan minyak yang telah dilakukan dan
dilaksanakan dengan pihak asing. Pilihan ini, misalnya, telah ditempuh Hugo
Chavez di Venezuela dengan membuat Undang-Undang Hidrokarbon baru pada 2001.
Sebagai akibat dari UU baru ini, penerimaan royalti negara dari sektor energi
di Venezuela meningkat dari 1 persen menjadi 30 persen. Namun, pilihan ini
hampir pasti tidak mungkin dilakukan di Indonesia, mengingat karakter koalisi
pemerintahan SBY dan bahkan semua kekuatan politik yang ada tidak pernah
mengusulkan langkah radikal ini dalam plakat partai.
Instrumen kedua, memperbesar utang. Instrumen
ini dapat digunakan dengan cara menerbitkan surat berharga atau obligasi dan
menjualnya, baik kepada BUMN maupun pihak lain. Bagi beberapa kalangan,
instrumen ini dijustifikasi atas dasar argumen rasio utang Indonesia terhadap
PDB yang relatif kecil (25,4 persen) dan lebih baik dibandingkan dengan negara
lain, seperti Argentina (40,7 persen), Brasil (65,7 persen), India (68,2
persen), Jepang (229,1 persen), dan AS (99,5 persen).
Namun, pilihan ini tidak mudah dilakukan.
Penyebabnya, penggunaan instrumen ini kemungkinan akan berdampak terhadap
pelanggaran ketentuan hukum tentang besaran defisit anggaran dalam APBN.
Seperti diketahui, UU Nomor 17 Tahun 2003 telah memaksa pemerintah melakukan
”disiplin fiskal” karena adanya ketentuan bahwa rasio defisit anggaran terhadap
PDB tidak boleh melebihi angka pagu 3 persen.
Walau tidak sepenuhnya sama, ketentuan hukum
ini sebenarnya ada kemiripan dengan Konsensus Washington yang dibuat Dana
Moneter Internasional (IMF) pada 1989 sebagai rekomendasi kebijakan ekonomi
makro terhadap negara berkembang untuk mematuhi defisit anggaran tidak melebihi
2 persen dari PDB.
Instrumen ketiga, mobilisasi dana dengan cara
memperbesar pajak. Walau rasio pajak Indonesia terhadap PDB masih termasuk
terendah di antara negara berkembang (sekitar 11,5 persen), hampir mustahil
peningkatan rasio dapat dilakukan dengan cepat dalam jangka pendek. Wajib pajak
individual yang terdaftar diperkirakan hanya 5 juta orang dan korporasi yang
terdaftar hanya sekitar 500.000.
Karena itu, mobilisasi pendanaan melalui
ekstensifikasi pajak hampir mustahil dilakukan dalam waktu cepat. Kalaupun
dilaksanakan, fokusnya adalah pada pajak ekspor, seperti yang pernah dilakukan
pada masa-masa awal setelah kejatuhan Soeharto, yakni ketika pada 1990 pajak
ekspor minyak kelapa sawit (CPO) ditingkatkan menjadi 60 persen. Namun, pilihan
ini akan berhadapan dengan kepentingan korporasi besar yang bergerak di
industri pengolahan kelapa sawit.
Instrumen keempat, meminta bantuan pinjaman
dari Bank Indonesia. Pilihan instrumen ini dimungkinkan karena cadangan devisa
Indonesia terus mengalami peningkatan. Angka terakhir yang dikeluarkan Bank
Indonesia menunjukkan bahwa cadangan devisa Indonesia mencapai angka 112 miliar
dollar AS.
Walau besaran angka cadangan devisa ini
disebutkan dapat mendanai kebutuhan impor Indonesia selama 6,4 bulan ke depan
plus pembayaran utang luar negeri pemerintah, lagi-lagi pilihan untuk
menggunakan instrumen ini telah ”dikunci” melalui ketentuan hukum.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia, yang dibuat melalui letter of intent antara
Indonesia dan IMF, telah meniadakan diskresi eksekutif yang sebelumnya
dinikmati rezim Orde Baru untuk mengambil dana dari Bank Indonesia. Pasal 56 UU
Nomor 23 itu secara jelas menyatakan bahwa Bank Indonesia dilarang memberikan
kredit kepada pemerintah.
Narasi Propasar
Narasi politik apa yang tengah disampaikan
oleh tertutupnya semua instrumen mobilisasi dana untuk mengatasi peningkatan
harga BBM di pasar internasional itu sehingga pilihan tidak menaikkan harga BBM
tidak dapat dibuat? Narasinya sangat jelas. Negara sangat lemah menghadapi
gejolak pasar global. APBN telah luntur watak namanya sebagai anggaran yang
menghubungkan negara dengan warganya.
APBN sebagai refleksi angka kuantitatif untuk
menghubungkan cita-cita politik dari kekuatan politik domestik dengan
konstituensinya juga telah berkurang maknanya. Dengan mengalihkan beban
kenaikan harga BBM kepada masyarakat, wewenang penganggaran (budgeting) DPR
yang diagungkan oleh semua kekuatan politik di institusi legislatif juga tidak
lagi bekerja sebagai variabel politik yang independen dan otonom. Ia telah
berubah menjadi variabel dependen dan ”sekutu” dari pasar global.
Keputusan pemerintah untuk menaikkan harga
BBM hanyalah sepotong cerita kecil dari narasi politik besar negara yang lemah
dan propasar itu. Dalam narasi politik besar ini pula, kata subsidi telah
menjadi tersudut menjadi kata ”kotor” yang harus dijauhi.
Begitu takutnya penguasa dengan kata subsidi
itu pula sehingga ia dimunculkan secara malu-malu dengan kalimat ”bantuan
langsung tunai”. Pertanyaan mengusik batinnya adalah masih dapatkah suatu
pemerintah disebut dengan pro-poor (berpihak kepada kelompok masyarakat miskin)
ketika kata-kata subsidi harus dijauhi, disembunyikan, dan kalau bisa
dihilangkan dari leksikon politik pembuatan APBN? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar