Selasa, 06 Maret 2012

Mafia Perburuk Citra DPR


Mafia Perburuk Citra DPR
Marwan Mas, DOSEN ILMU HUKUM DAN DIREKTUR
PUSAT STUDI KONSTITUSI UNIVERSITAS 45, MAKASSAR
SUMBER : SUARA KARYA, 6 Maret 2012




Kehadiran mafia (mafioso) yang selalu menarik perhatian publik, laksana ada dan tiada, meskipun begitu nyata. Begitu sulit membongkar jaringan mafia itu lantaran para pelakonnya bermain di "ruang gelap," bahkan mereka merupakan bagian dari pihak yang seharusnya menjaga amanah rakyat. Mereka bersekongkol bergerak di bawah tanah, sehingga aparat penegak hukum selalu tertinggal selangkah dari gerakan mereka.

Dalam skala yang lebih luas, mafia menggerogoti citra penyelenggara negara, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mafia peradilan, mafia korupsi, mafia pajak, mafia tanah, mafia anggaran DPR, dan berbagai bentuk lainnya seolah mendapat toleransi sehingga begitu bebas bergerak. Akibatnya, uang rakyat begitu gampang dibobol dan aparat hukum dibuat tidak berkutik, dan tidak berani berhadapan dengan mafia yang terstruktur. Ironisnya, mereka dilindungi oleh kekuatan politik dan kekuasaan.

Kuatnya cengkraman mafia di negeri ini, membuat perkara korupsi yang diperiksa dan diadili di pengadilan hanya sekadar mengejar kepastian dan mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Orang tidak lagi mencari keadilan, tetapi kemenangan dengan segala macam cara dan difasilitasi oleh aparat penegak hukum. Kebenaran dan keadilan hanya ada dalam buku (law in books), tidak dalam realitas. Faktor ekonomi dan tekanan politik, menjadi kekuatan sangat mempengaruhi aparat penegak hukum.

Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dijadikan sasaran empuk dikorup melibatkan oknum anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR. Ini, yang membuat citra DPR semakin terpuruk di mata publik, seperti hasil Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dipublikasikan (2/10/2011). LSI menyimpulkan (Republika, 2/10/2011) sekitar 51,3 persen dari 1.200 responden menilai citra politik di negeri ini terpuruk akibat korupsi dana APBN.

Politik hanya alat untuk korupsi berjamaah, untuk kepentingan individu atau membiayai partainya. Survei ini juga menunjukkan, Banggar DPR memegang posisi sentral dalam dugaan penyelewengan anggaran negara lintas sektor, bahkan sasaran para mafia anggaran untuk menyelewengkan anggaran lintas partai politik.

Dalam acara Jakarta Lawyer Club (JLC) beberapa waktu lalu, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyebutkan, dana APBN yang paling banyak dikorup adalah anggaran untuk belanja barang (BB) dan belanja modal (BM). Padahal, anggaran di sektor itu sangat minim dibandingkan dengan belanja pegawai dan pembayar utang negara. Korupsi anggaran BB dan BM tentu saja akan menyengsarakan rakyat lantaran roda pembangunan di semua sektor terhambat, terutama pada pendanaan hajat hidup orang banyak.

Dugaan adanya mafia anggaran yang ditandai permainan fee proyek dan diduga melibatkan oknum anggota DPR, broker atau calo baik eksekutif, dan pengusaha harus dibongkar sampai ke akar-akarnya. Jika tidak, uang rakyat dalam APBN dan APBD akan semakin terancam keselamatannya dari tangan-tangan jahil ini. Realita memprihatinkan ini semakin menguatkan pandangan bahwa para mafioso begitu kuat jaringannya, sehingga tidak bisa ditangani secara biasa. Harus ada tindakan keras, baik penyidikan, penuntutan, maupun pada penjatuhan pidana yang dapat menimbulkan efek jera.

Sudah waktunya rakyat melakukan "aksi nyata" melawan para mafioso dan koruptor. Salah satu yang perlu dibangkitkan, adalah mengembalikan konstruksi hukum pada posisi idealnya, yaitu bukan sekadar mengagungkan keadilan prosedural, sebab yang juga penting adalah pemenuhan keadilan substansial. Kebenaran dan keadilan harus selalu dijadikan basis dalam memerangi para pencoleng uang rakyat. Jika setiap perkara korupsi dimainkan laksana "mesin industri" yang bernuansa ekonomi, jangan bermimpi negeri ini akan bebas dari cengkraman para mafioso.

Agar supaya para mafioso dan koruptor merasa jera dan tidak ditiru oleh calon koruptor, penerapan pembuktian terbalik dan pemiskinan merupakan sesuatu yang niscaya. Bahkan hakim bisa melakukan langkah progresif dengan menjatuhkan "putusan pengasingan" seperti yang pernah dipraktikkan di Amerika Serikat (AS). Hakim James Allendoerfer di negara bagian Alaska pada tahun 1994 (The Asian Wallstreet Journal, 8/9/1994) menjatuhkan pidana kepada dua orang pemuda secara "ekstra-sistem" dengan menyerahkannya kepada suku Indian Thlawaa Tingit di Alaska, untuk ditangani sesuai dengan cara-cara suku itu menghukum pelaku kejahatan.

Dua pemuda yang terbukti merampok penjual pizza dan memukulinya dengan alat pemukul base-ball sampai tuli, oleh Suku Indian "diungsikan" di sebuah pulau yang tidak berpenghuni. Mereka ditinggalkan di pulau itu dengan diberi alat-alat untuk mempertahankan hidup. Pilihan hakim Allendoerfer lantaran tidak percaya lagi pada sistem pemidanaan yang selama ini diterapkan karena tidak menimbulkan penjeraan.

Memang putusan itu menuai protes, tetapi maksud hakim Allendoerfer menyerahkannya kepada suku Indian agar dihukum sesuai cara suku itu, justru membawa hasil positif. Pengasingan yang dijalani mampu menyadarkannya bahwa hidup harus dengan usaha dan perjuangan, bukan merampok dan semacamnya yang merugikan atau menyengsarakan orang lain.

Putusan pengasingan ini layak diterapkan kepada koruptor kelas kakap dan mafioso yang dilakukan oleh elit politik dan kekuasaan. Ini salah satu cara memungsikan pengadilan secara progresif ketimbang hanya menerapkan bunyi UU. Meskipun tidak diatur dalam UU, tetapi konfigurasi putusan pengasingan akan mengangkat harkat pengadilan melalui hasil karya sang hakim secara maksimal (full-blown adjudication).

Akan lebih baik lagi kalau dalam revisi UU Korupsi diatur soal putusan pengasingan dan memaksimalkan hukuman pemiskinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar