Mafia
Perburuk Citra DPR
Marwan Mas, DOSEN ILMU HUKUM DAN DIREKTUR
PUSAT STUDI KONSTITUSI UNIVERSITAS 45, MAKASSAR
PUSAT STUDI KONSTITUSI UNIVERSITAS 45, MAKASSAR
SUMBER : SUARA KARYA, 6
Maret 2012
Kehadiran mafia (mafioso) yang selalu menarik perhatian publik,
laksana ada dan tiada, meskipun begitu nyata. Begitu sulit membongkar jaringan
mafia itu lantaran para pelakonnya bermain di "ruang gelap," bahkan
mereka merupakan bagian dari pihak yang seharusnya menjaga amanah rakyat.
Mereka bersekongkol bergerak di bawah tanah, sehingga aparat penegak hukum
selalu tertinggal selangkah dari gerakan mereka.
Dalam skala yang lebih luas, mafia menggerogoti citra
penyelenggara negara, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mafia peradilan,
mafia korupsi, mafia pajak, mafia tanah, mafia anggaran DPR, dan berbagai
bentuk lainnya seolah mendapat toleransi sehingga begitu bebas bergerak.
Akibatnya, uang rakyat begitu gampang dibobol dan aparat hukum dibuat tidak
berkutik, dan tidak berani berhadapan dengan mafia yang terstruktur. Ironisnya,
mereka dilindungi oleh kekuatan politik dan kekuasaan.
Kuatnya cengkraman mafia di negeri ini, membuat perkara korupsi
yang diperiksa dan diadili di pengadilan hanya sekadar mengejar kepastian dan
mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Orang tidak lagi mencari keadilan, tetapi
kemenangan dengan segala macam cara dan difasilitasi oleh aparat penegak hukum.
Kebenaran dan keadilan hanya ada dalam buku (law in books), tidak dalam
realitas. Faktor ekonomi dan tekanan politik, menjadi kekuatan sangat
mempengaruhi aparat penegak hukum.
Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dijadikan
sasaran empuk dikorup melibatkan oknum anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR.
Ini, yang membuat citra DPR semakin terpuruk di mata publik, seperti hasil
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dipublikasikan (2/10/2011). LSI
menyimpulkan (Republika, 2/10/2011) sekitar 51,3 persen dari 1.200 responden
menilai citra politik di negeri ini terpuruk akibat korupsi dana APBN.
Politik hanya alat untuk korupsi berjamaah, untuk kepentingan
individu atau membiayai partainya. Survei ini juga menunjukkan, Banggar DPR
memegang posisi sentral dalam dugaan penyelewengan anggaran negara lintas
sektor, bahkan sasaran para mafia anggaran untuk menyelewengkan anggaran lintas
partai politik.
Dalam acara Jakarta Lawyer Club (JLC) beberapa waktu lalu, mantan
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyebutkan, dana APBN yang paling banyak
dikorup adalah anggaran untuk belanja barang (BB) dan belanja modal (BM).
Padahal, anggaran di sektor itu sangat minim dibandingkan dengan belanja
pegawai dan pembayar utang negara. Korupsi anggaran BB dan BM tentu saja akan
menyengsarakan rakyat lantaran roda pembangunan di semua sektor terhambat,
terutama pada pendanaan hajat hidup orang banyak.
Dugaan adanya mafia anggaran yang ditandai permainan fee proyek
dan diduga melibatkan oknum anggota DPR, broker atau calo baik eksekutif, dan
pengusaha harus dibongkar sampai ke akar-akarnya. Jika tidak, uang rakyat dalam
APBN dan APBD akan semakin terancam keselamatannya dari tangan-tangan jahil
ini. Realita memprihatinkan ini semakin menguatkan pandangan bahwa para mafioso
begitu kuat jaringannya, sehingga tidak bisa ditangani secara biasa. Harus ada
tindakan keras, baik penyidikan, penuntutan, maupun pada penjatuhan pidana yang
dapat menimbulkan efek jera.
Sudah waktunya rakyat melakukan "aksi nyata" melawan
para mafioso dan koruptor. Salah satu yang perlu dibangkitkan, adalah
mengembalikan konstruksi hukum pada posisi idealnya, yaitu bukan sekadar
mengagungkan keadilan prosedural, sebab yang juga penting adalah pemenuhan
keadilan substansial. Kebenaran dan keadilan harus selalu dijadikan basis dalam
memerangi para pencoleng uang rakyat. Jika setiap perkara korupsi dimainkan
laksana "mesin industri" yang bernuansa ekonomi, jangan bermimpi
negeri ini akan bebas dari cengkraman para mafioso.
Agar supaya para mafioso dan koruptor merasa jera dan tidak ditiru
oleh calon koruptor, penerapan pembuktian terbalik dan pemiskinan merupakan
sesuatu yang niscaya. Bahkan hakim bisa melakukan langkah progresif dengan
menjatuhkan "putusan pengasingan" seperti yang pernah dipraktikkan di
Amerika Serikat (AS). Hakim James Allendoerfer di negara bagian Alaska pada
tahun 1994 (The Asian Wallstreet Journal, 8/9/1994) menjatuhkan pidana kepada
dua orang pemuda secara "ekstra-sistem" dengan menyerahkannya kepada
suku Indian Thlawaa Tingit di Alaska, untuk ditangani sesuai dengan cara-cara
suku itu menghukum pelaku kejahatan.
Dua pemuda yang terbukti merampok penjual pizza dan memukulinya
dengan alat pemukul base-ball sampai tuli, oleh Suku Indian
"diungsikan" di sebuah pulau yang tidak berpenghuni. Mereka
ditinggalkan di pulau itu dengan diberi alat-alat untuk mempertahankan hidup.
Pilihan hakim Allendoerfer lantaran tidak percaya lagi pada sistem pemidanaan
yang selama ini diterapkan karena tidak menimbulkan penjeraan.
Memang putusan itu menuai protes, tetapi maksud hakim Allendoerfer
menyerahkannya kepada suku Indian agar dihukum sesuai cara suku itu, justru
membawa hasil positif. Pengasingan yang dijalani mampu menyadarkannya bahwa
hidup harus dengan usaha dan perjuangan, bukan merampok dan semacamnya yang
merugikan atau menyengsarakan orang lain.
Putusan pengasingan ini layak diterapkan kepada koruptor kelas
kakap dan mafioso yang dilakukan oleh elit politik dan kekuasaan. Ini salah
satu cara memungsikan pengadilan secara progresif ketimbang hanya menerapkan
bunyi UU. Meskipun tidak diatur dalam UU, tetapi konfigurasi putusan
pengasingan akan mengangkat harkat pengadilan melalui hasil karya sang hakim
secara maksimal (full-blown adjudication).
Akan lebih baik lagi kalau dalam revisi UU Korupsi diatur soal
putusan pengasingan dan memaksimalkan hukuman pemiskinan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar