Jumat, 16 Maret 2012

Dapatkah RUU Pemilu Mencapai Sasarannya?


Dapatkah RUU Pemilu Mencapai Sasarannya?
Poltak Partogi Nainggolan, Doktor Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Albert-Ludwigs-Universitaet Freiburg, Jerman, Kepala Bidang Pengkajian P3DI Setjen DPR
SUMBER : SINAR HARAPAN, 16 Maret 2012



Menilai sejauh mana sebuah RUU dapat mencapai tujuannya sudah dapat dilakukan sejak dini dengan melihat Naskah Akademik (NA)-nya. Mengapa demikian? Ini karena NA telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari RUU yang kelak menjadi UU.

Tanpa NA, sebuah RUU pun tidak boleh diajukan, apalagi dibahas. Ketentuan ini diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baru diloloskan akhir tahun lalu. Ketentuan itu dibuat untuk memperbaiki kualitas UU yang dibentuk.

Dalam NA RUU Pemilu, sejak awal sudah dapat dinilai, betapa alasan amendemen disiapkan terburu-buru. Selain dijumpai beberapa salah tulis, tidak hanya untuk istilah asing, tetapi juga bahasa Indonesia.

Karena ia dinamakan NA, yang keberadaannya diatur UU, maka kesalahan atau keteledoran dalam penyusunan tidak boleh dibenarkan. Karena itu, NA harus dipersiapkan cermat, apalagi dalam penggunaan data empiris dan penyebutan sumbernya.

Sebagai sebuah pendekatan akademis, NA RUU Pemilu tidak memadai. Kemampuan memahami masalah si penyusunnya terhadap sumber-sumber studi tampak terbatas. Misalnya, untuk penjelasan atas persyaratan konsolidasi demokratis dari Juan Linz dan Alfred Stepan, serta Larry Diamond, yang menggunakan sumber sekunder.

Sementara buku Linz dan Stepan (1986, 1996, Problems of Democratic Transition and Consolidation, Baltimore: Johns Hopkins University Press) dan Diamond (1999, Developing Democracy: Toward Consolidation, Johns Hopkins University Press), tidak dipelajari dan dikutip langsung.

Data dan studi komparatif pun tidak ada. Padahal ini diperlukan untuk menyajikan pilihan kebijakan sebelum merekomendasikan kebijakan dalam RUU amendemen ini.

Anehnya, penyusun NA ini, seperti tampak dalam bagian “Maksud dan Tujuan,” begitu yakin bahwa dengan adanya RUU amendemen ini, transisi demokratis Indonesia dapat segera diakhiri, dan tahap konsolidasi tercapai pasca-pemilu 2014.

Problem Presidensialisme

Dengan NA seperti ini, masalah konsolidasi direduksi dengan upaya menerapkan pemilu sistem proporsional terbuka atau tertutup, menciptakan 3-6 atau 3-8 kursi parlemen per dapil, dan menetapkan ambang batas parlemen 3-5 persen.

Padahal, para pemikir politik di negeri demokrasi maju pun sudah mengalami kebuntuan untuk bisa menjawab mengapa beberapa negara gagal mengakhiri transisi. Dengan sendirinya “demokratisasi gelombang keempat” tidak menjamin konsolidasi, tetapi dapat berakhir ke kekacauan dan terciptanya negara gagal.

Secara kritis, seharusnya diketahui hambatan konsolidasi demokratis terletak tidak hanya di persoalan pemilu, namun juga pada pilihan sistem pemerintahan dan kepartaian, yang dapat menghasilkan sistem politik yang tidak jelas antara presidensial dan parlementer.

Singkatnya, kombinasi sistem presidensial dengan sistem banyak partailah yang menjadi persoalan klasik, karena gagal menghasilkan pemerintahan yang efektif, kuat, dan stabil, yang dapat mengantar pada konsolidasi. Debat akademis yang bermula dari pengalaman empiris negara demokrasi baru yang muncul lebih 2 dasawarsa ini, belum selesai.

Tahun 1990, Linz dalam Debatte ueber presidentialismus und parlamentarismus telah memulai debat kritis soal pilihan presidensialisme atau parlementarisme. Linz bersama Valenzuela (1991) kemudian melihat kaitan sistem presidensialisme dan demokrasi mayoritas yang menjadi penyebab kegagalan demokrasi presidensial.

Jadi, sejak lama para teoritisi politik, demokrasi, dan perubahan sosial telah melihat sistem presidensialisme tidak cocok diterapkan dengan sistem banyak partai. Karena itu, upaya memperbaiki sistem pemilu bukanlah solusi tunggal yang ampuh mengatasi stagnasi demokrasi.

Carothers (2002) juga telah mengingatkan bahwa sukses demokratisasi tergantung pada tujuan dan kepentingan dan perilaku para elite politik. Sementara warisan dan kondisi ekonomis, sosial, dan kelembagaan tidak berpengaruh signifikan.

Perkawinan praktik sistem presidensialisme dan parlementarisme yang diterapkan Indonesia telah membawa negeri ini ke wilayah abu-abu (Merkel, 2004), menuju negara gagal, akibat kompleksitas masalah yang muncul.

Parlemen (DPR) telah muncul sebagai “superbodi” yang sangat asertif (Feoly, 2001). Ketidakberdayaan pemerintah diperparah pembusukan politik akibat KKN yang tidak dibasmi konsisten pasca-pergantian rezim 1998.

Sebagai “superbody”, parlemen menghambat kerja pemerintah, sebab presiden hanya didukung kekuatan terbatas di parlemen. Apalagi, jika presiden terpilih kepemimpinannya lemah, walaupun ia telah menang mutlak dalam pilpres.

Berbeda dengan di Indonesia, di AS, kehadiran dua jenis pemilu yang berbeda, yakni pileg dan pilpres, tidak menimbulkan kompleksitas tinggi bagi sistem presidensialisme, sebab ia tidak menganut sistem banyak partai.

Ukuran demokratisasi sukses dijalankan, tidak lagi cukup dengan terpenuhinya prosedur minimum, seperti pemilu yang jujur, kompetisi elite yang bebas, dan eksisnya masyarakat sipil dan penegakan hukum, seperti dikatakan Dahl (1971).

Ia harus diperluas dengan upaya memperbaiki hubungan konstituen dengan wakilnya, terutama proses artikulasi dan perjuangan kepentingan mereka pascapemilu. Jadi, demokrasi tidak sekadar prosedural, tetapi juga substansial.

Permasalahan pokok terletak pada sistem presidensialisme yang diterapkan dengan struktur politik banyak partai. Sistem ini tidak signifikan menghasilkan tingkat partisipasi politik yang tinggi dan demokratisasi yang lebih baik.

Ia menciptakan kontestasi antara institusi presiden dan parlemen, karena legitimasi yang berbeda dan ganda (Mainwaring dan Soberg, 1997).

Kombinasi sistem ini menghasilkan presiden minoritas dan pemerintahan yang terbelah, karena sulit memperoleh dukungan partai-partai lain di parlemen dan bergantung pada koalisi yang rapuh (kasus Setgab). Akibat sistem ini muncul konflik berkelanjutan antara presiden dan parlemen, yang menciptakan demokrasi yang tidak stabil (Linz dan Valenzuela, 1994).

Politikus Mengambang

Belajar dari pengalaman Amerika Latin, para pengamat transisi telah melihat kombinasi sistem presidensialisme dengan banyak partai menciptakan banyak politikus mengambang (Canaghan, 1994), tidak hanya massa mengambang seperti masa Orba.

Secara empiris, kebanyakan negara demokratis baru di Amerika Latin pada Gelombang Kedua telah memilih sistem presidensial, sehingga militer mudah memanfaatkan situasi untuk menjaga kepentingannya lamanya.

Legitimasi demokratis yang ganda telah menyebabkan kegagalan demokrasi presidensial di Amerika Latin. Presiden terputus hubungannya dari institusi legislatif, sedangkan peran institusi legislatif independen dari presiden.

Sistem ini juga memiliki kelemahan mengikuti ketentuan zero sum game: pemenang meraih semuanya, yang kalah kehilangan semuanya.

Sementara absennya mekanisme konflik yang jelas dalam peraturan pemilu akan menimbulkan “implikasi mayoritarian”, yang menyebabkan 60 persen warga tanpa perwakilan politik! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar