Senin, 19 Maret 2012

Buruh Berjuang, di Mana Agamawan


Buruh Berjuang, di Mana Agamawan
Endang Suarini, AKTIVIS BURUH, BEKERJA DI SEBUAH PERUSAHAAN FARMASI DI SIDOARJO
SUMBER : JAWA POS, 19 Maret 2012



PASTI tidak pernah ada orangtua yang menginginkan anaknya jadi buruh..Bahkan para buruh sendiri, bisa dipastikan tidak pernah ingin menjadi buruh. Memang ada anggapan buruh identik dengan pekerjaan level bawah, dan terutama diberlakukan untuk industri manufaktur atau pekerjaan pabrik.

Di samping itu, istilah buruh bernuansa atau berbau "kiri", sebab Karl Marx memakai istilah ini untuk mengkontraskan dengan pemilik modal.Namun pada hakikatnya istilah buruh, pegawai atau karyawan mengandung makna sama karena menunjuk pada orang yang bekerja bagi orang lain dan mendapat gaji secara reguler entah harian, mingguan, atau bulanan.

Maka ada kesan kuat, menjadi buruh itu sebuah keterpaksaan.Dipaksa oleh keadaan untuk bekerja atas perintah orang lain.Lagi pula bila tidak bekerja atau mengganggur, ada sesuatu yang kurang dalam kemanusiaan kita. Kahlil Gibran menyebut, dengan bekerja, martabat manusia mencapai kepenuhannya.Idealnya, lanjut pujangga Libanon itu, bekerja adalah aktualisasi diri...

Sayang,dalam kenyataan, hari-hari ini mayoritas buruh justru menjalani pekerjaannya sebagai belenggu. Kerja bukan aktualisasi diri.Mengapa? Karena gaji buruh sedemikian rendah sehingga tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) seperti makanan, sandang dan perumahan.Atau kalau gajinya lebih tinggi, seperti para buruh migran yang harus bekerja di luar negeri, dengan majikan orang asing yang kadang bisa melakukan kekejaman sebagaimana pernah terjadi di zaman perbudakan dulu.Puluhan jenasah buruh migran tiap bulan dipulangkan ke Tanah Air.

Mengingat bekerja adalah belenggu, para buruhpun jadi amat sensitif. Dunia kerja tidak membawa sukacita.Hubungan atau relasi antara pihak manajemen yang mewakili pengusaha dengan buruh kerapkali sungguh tidak manusiawi lagi. Buruh terkesan hanya dieksploitasi untuk terus bekerja. Angka kecelakaan kerja yang cukup tinggi menjadi bukti adannya eksploitasi ini.

Seharusnya relasi antara pengusaha dan buruh itu setara, tapi yang terjadi selama ini justru berat sebelah. Pengusaha selalu melihat buruh dengan sebelah mata. Sementara banyak buruh melihat pengusaha, yang sudah menyediakan dan memberi lapangan kerja kepada mereka sebagai objek untuk terus didemo. Para buruh memang kian menderita karena ketamakan sistem kapitalisme global. Padahal Bertrand Russel pernah menulis kepemilikan modal (kapital) tidak akan berarti tanpa buruh (Russel, 1988).

Sirna karena BBM

Sebaliknya buruh tanpa lapangan kerja akan menganggur dan mengalami kondisi tanpa makna (meaningless). Hiduppun jadi kian tidak pasti.Simak saja pasca unjuk rasa yang memblokir sebuah ruas jalan tol pada Januari lalu, disusul penetapan UMK yang tidak memuaskan para pengusaha (Apindo), relasi buruh dengan pengusaha kian memburuk. Serasa ada api dalam sekam. Pengusaha seperti diungkapkan Sofjan Wanandi (ketua Apindo) menilai ada politisasi dalam demo buruh; padahal para buruh sekedar memperjuangkan upah minimum.Kini puluhan pengusaha sudah mengajukan penangguhan UMK di Banten dan Jabar, sebagian lain memilih menutup perusahaan. Nasib para buruh kian tidak pasti. Kondisi hubungan kerja terkesan hendak meniadakan satu sama lain.

Padahal bila berbicara UMK, kenaikan yang baru dirasakan buruh selama beberapa bulan ini, langsung sirna per 1 April 2012 seiring dengan kebijakan kenaikan BBM, yang memicu terjadinya inflasi. BLT pasti akan menjadi "Bantuan Langsung Tekor". Buruhpun terpaksa mengelus dada kembali. Maka di mana-mana para buruh demo menolak kenaikan BBM. Karena nasib para buruh pasti akan kian memburuk, akibat kenaikan BBM.

Apalagi pemerintah juga gagal menjadi mediator yang menjembatani kepentingan pengusaha dengan para buruh.Malah dalam beberapa hal, para oknum pejabat, justru kian menambah biaya siluman, sehingga biaya operasional perusahaan jadi membengkak dan ujung-ujungnya mempengaruhi upah buruh. Buruh adalah korban korupsi juga.

Dalam kondisi demikian, kemana para buruh harus mengadu? Ke wakil rakyat? Mereka sudah sibuk dengan agenda untuk menyejahterakan diri sendiri dan parpolnya.

Menuggu Spirit Agamawan

Boleh jadi dalam kondisi seperti ini, para tokoh tokoh agama (dari agama apapun) mungkin bisa menjadi mediator agar hubungan buruh-pengusaha ke depan bisa setara dan tidak berat sebelah.

Sayangnya harus diakui tampaknya tidak banyak tokoh agama tertarik pada isu-isu ketenagakerjaan. Banyak tokoh agama hanya suka berkutat pada masalah-masalah yang terkait dengan dogma, akidah atau ajaran agama saja. Padahal para buruh sebenarnya berharap ada tokoh seperti mendiang Pauas Yohannes Paulus II yang berani memback-up perjuangan Serikat Buruh Solidaritas dalam menghadapi rezim komunis Polandia pada akhir dekade 1980-an.

Maka penulis mengajak para tokoh agama dan segenap umat beragama untuk tidak merasa asing dengan persoalan kaum lemah, seperti para buruh. Seharusnya ada koalisi antar tokoh dan umat beragama di belakang perjuangan para buruh. Kita seharusnya bergandeng tangan dan berani menolak setiap bentuk ketidakadilan untuk siapapun, termasuk kepada para buruh, tidak peduli agama mereka apa.

Setiap ketidakadilan jelas bertentangan dengan ajaran agama dan seharusnya mengusik nurani kemanusiaan kita. Pesan agung dari setiap ajaran agama jelas memihak kaum lemah, seperti para buruh. Dan pesan ini perlu diungkapkan segera dan secara nyata agar para buruh tidak dibiarkan berjuang sendiri di tengah sistem global yang kian kapitalistik dan hari-hari yang berat seiring kenaikan BBM. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar